Laman

Wednesday, October 05, 2011

NILAI GERAK PROGRESI DAN REGRESI JUNG DALAM NOVEL MISTERI MAYAT YANG BERPINDAH KARYA S. MARA GD DAN ALTERNATIF PEMBELAJARANNYA DI SMA


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan sebuah dunia rekaan yang berdasarkan atas realitas dalam kehidupan manusia dan melalui perlakuan kebiasaan sebagai cerminan tingkah lakunya. Seperti yang diungkapkan oleh Suharianto, (1982: 14), bahwa karya sastra adalah pengungkapan kehidupan yang dipadukan dengan imajinasi dan kreasi seorang pengarang serta cerita dukungan pengalaman dan pengetahuannya atas kehidupan tersebut. Melalui sarana cerita tersebut pembaca secara tidak langsung dapat belajar, merasakan dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang sengaja ditawarkan pengarang. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkan kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya.
Karya sastra memiliki berbagai macam bentuk, salah satunya yang berupa novel. Pada prosesnya, suatu novel menyimpan konflik dengan serangkaian peristiwa dan permasalahan yang lebih kompleks. Walaupun terkadang di dalam ceritanya dibubuhi dengan khayalan dan bersifat rekaan, sesuatu yang tidak ada juga tidak terjadi sungguh-sungguh, sehingga tidak perlu dicari kebenarannya di dalam kehidupan nyata. Seperti pendapat Sudjiman (1992: 53), yang menyatakan bahwa dalam karya sastra khususnya novel, merupakan prosa rekaan yang menyuguhkan tokoh dalam
menampilkan serangkaian peristiwa serta latar belakang secara tersusun. Hal ini dikarenakan apa yang diceritakan dalam novel, biasanya menyangkut proses perjalanan manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial yang memiliki kejiwaan yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Di dalam novel yang mengandung proses kehidupan manusia, novel Misteri Mayat yang Berpindah hadir sebagai objek penelitian yang mengarahkan pada nilai gerak progresi dan regresi, sehingga hal yang dapat diteliti adalah melalui tema, tokoh, penokohan dan latar. Jika dilihat melalui tema, yang mengutamakan unsur keteguhan hati tokoh utama, jelas jika pada tema tersebut mengandung unsur nilai gerak progresi yang merupakan unsur maju ke arah yang lebih baik. Sedangkan jika ditindaklanjuti masalah tokoh dan penokohan, maka yang menjadi dasar nilai gerak progresi adalah dari kehidupan sang tokoh utama dan pada tokoh-tokoh pembantu lebih banyak menggunakan nilai gerak progresi. Sedangkan dipandang dari unsur latar, maka banyak tempat yang mengarahkan pada cakupan nilai gerak progresi dan regresi pada novel tersebut.
Dalam kriteria kepaduan tersebut unsur novel tersebut, sering terkait dengan proses kejiwaan masing-masing tokoh. Fenomena-fenomena kejiwaan yang dimiliki oleh tiap individu itulah yang dapat diaplikasikan ke dalam bentuk sebuah karya sastra. Sebagai karya yang dihasilkan untuk pembaca atau masyarakat, karya sastra membutuhkan pemahaman untuk mengetahui ekspresi dari sudut pikiran subjek. Seperti teori (Sumardjo, 1991: 3-4) yang menyatakan bahwa karya sastra adalah karangan khas yang memiliki dunia tersendiri. Proses kepribadian dalam karya sastra mempunyai pengaruh yang besar terhadap kejiwaan melalui penceritaan tokoh-tokohnya, yang dapat berpengaruh terhadap perilaku pembaca. Dalam karya sastra, banyak ditemui perilaku yang mengacu pada gerak maju maupun mundur dari para tokoh, atau yang sering disebut dengan gerak progresi dan regresi, yang mampu memberikan kesan yang berbeda pada tiap tokohnya. Pengungkapan penceritaan dari tiap tokoh, mampu menciptakan efek imajinasi bagi pembaca, yang mampu diaplikasikan dalam realitas kehidupan nyata.
Kepribadian individu dalam mencapai gerak progresi atau gerak regresi pada tingkatan kehidupan, merupakan hasil batin yang mengenai dan dikenai oleh daya dari luar individu. Seperti yang diungkapkan oleh Carl Gustav Jung, seorang pencipta teori tentang kepribadian psikologi yang berasal dari keluarga cendekiawan di Kerewil (Kanton Thurgau), Swiss, yang mengungkapkan bahwa kepribadian adalah seluruh pemikiran, perasaan dan perilaku nyata baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Sebagai penulis, Jung sangat produktif. Banyak teori yang diungkapkan, yang terdiri atas tiga bagian yaitu rangka struktur, dinamika serta perkembangan kepribadian. Sedangkan bila dikaitkan pada novel, maka hubungan kepribadian tersebut acap kali muncul sebagai fungsi pokok dalam kehidupan sang tokoh. Walaupun, banyak dampak yang akan terjadi antara penuangan cerita pengarang dengan efek yang didapat pada pembaca, yang pasti ide-ide itu memiliki tujuan yang jelas. Dalam hal kepribadian psikologi, banyak dilihat dari adanya gerak progresi dan regresi pada masing-masing tokohnya. Oleh karena itu, proses gerak kejiwaan pada tiap tokohnya, dapat tercermin dalam karya sastra.
Di dalam dunia Indonesia, dikenal banyak pengarang yang telah menghasilkan karya sastra dengan penyentuhan proses kehidupan yang mencakup kejiwaan para tokohnya. Diantaranya S. Mara Gandhi, salah seorang sastrawan Indonesia yang karya-karyanya banyak dimuat di dalam berbagai novel, diataranya adalah Misteri Pembunuhan di Kakek Bodo (1987), Misteri Rahasia Seorang Suami (1989), Misteri Mega-Mega di Langit (1991), Misteri Empat Wajah Anastasia (1992), Misteri Dian Yang Padam (1993), Misteri Kematian Cassanova (1998), Misteri Kunci Tak Bertuan (1999), Antara Dua Cinta (2003), Cina Seorang Playboy (2004), dan Misteri Mayat Yang Berpindah (2005). Dalam penelitian ini, mengambil judul novel “Misteri Mayat Yang Berpindah
Novel Misteri Mayat yang Berpindah, karangan S. Mara Gd, merealisasikan tindakan tokohnya seperti dalam kehidupan nyata. Dalam novel tersebut, bila dihubungkan dengan penokohan, pengarang memberikan proses kejiwaan yang bermacam-macam di dalamnya. Psikologi kepribadian yang terdapat di dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd, terkait dengan para tokohnya memiliki dampak psikologis yang beragam. Sebagai contoh, ketabahan dan kekuatan yang dimiliki pada tokoh utama, yang pada akhirnya dia dapat melewati segala rintangan kehidupan, bahkan dapat memilih keputusan yang lebih baik di antara konflik batin yang dirasakan, sehingga terkait dengan nilai progresi dalam dirinya. Selain itu juga, tokoh yang dimainkan oleh pemeran pembantu tokoh utama, yang pada dasarnya memiliki proses regresi yang terlihat pada kepribadian para tokoh yang kembali pada perkembangan fase awal, yaitu fase perkembangan yang telah dilewati dan ditinggalkannya, setelah mengalami proses kejiwaan yang menekannya.
Bila dikaitkan dengan pembelajaran sastra di sekolah, maka novel tersebut sebagai salah satu karya sastra yang merupakan bahan pembelajaran di SMA, karena novel mengemukakan suatu permasalahan kehidupan secara bebas. Salah satu kelebihan novel sebagai bahan pengajaran sastra adalah cukup mudahnya karya tersebut dinikmati siswa sesuai dengan tingkat kemampuannya masing–masing secara perorangan dan tujuan yang dicapai dalam pengajaran novel adalah meliputi peningkatan kemampuan membaca baik secara ekstensif maupun intensif (Rahmanto,1988:66). Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pangajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit dipecahkan di dalam dunia pendidikan terutama pengajaran di SMA.
Karya sastra novel tersebut mengkaji tentang realitas kehidupan manusia yang mengandung nilai-nilai di dalamnya. Jika dikaitkan dengan gerak progresi dan gerak regresi, maka di dalam novel tersebut merupakan suatu bentuk psikologi yang masuk pada unsur ekstrinsik. Sehingga psikologi tersebut dapat diajarkan di SMA melalui pembelajaran novel kelas XI Semester 1, dengan Kompetensi Dasar yaitu menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan. Sehingga melalui pembelajaran gerak progresi dan regresi dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd ini diharapkan siswa mendapatkan pengalaman yang bernilai positif, menambah wawasan, mengetahui hal-hal yang patut untuk dijadikan sebagai pembelajaran bagi kehidupan siswa.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini bentuk sastra novel, dikaji dan diarahkan pada Nilai Gerak Progresi dan Regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd dan Alternatif Pembelajarannya di SMA kelas XI semester 1.
  1. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam skripsi ini adalah:
  1. Bagaimanakah nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd?
  2. Bagaimanakah alternatif pembelajaran nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd di SMA?
  1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
  1. Mendeskripsikan nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd.
  2. Mendeskripsikan alternatif pembelajaran nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd di SMA.




  1. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat, yang berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis.
  1. Manfaat Teoritis
  1. Dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan dalam mengapresiasikan karya sastra, khususnya nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd, ditinjau dari teori Carl Gustav Jung.
  2. Penelitian ini diharapkan dapat memperkuat teori Carl Gustav Jung dalam bentuk phyche atau kepribadian yang berkenaan dengan masalah gerak progresi yang ada di dalam diri seseorang.
  3. Dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan dalam pengajaran karya sastra, khususnya nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd, di SMA.
  1. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian bermanfaat sebagai penumbuh kesadaran pembaca untuk mampu mengendalikan nilai gerak progresi dan regresi secara individual agar mampu mengantisipasi segala bentuk perubahan hidup secara sadar, seperti yang tercermin di dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah, karya S. Mara Gd.
  1. Penegasan Istilah
Penegasan istilah diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman dan kemungkinan salah penafsiran. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Novel
Novel selain karya fiksi, juga mengungkapkan aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Menurut Suhariyanto (1982: 26), mengungkapkan bahwa novel merupakan karya sastra yang berbentuk prosa dengan mengungkapkan suatu cerita serta memuat unsur-unsur nilai yang otentik pada masing-masing tokoh.
  1. Nilai
Menurut Fudyartanta (2005: 92-93), nilai merupakan intensitas. Jika menempatkan nilai tinggi pada ide atau perasaan tertentu, hal ini berarti bahwa ide atau perasaan itu dianggap penting. Sebaliknya, jika sesuatu tidak begitu bernilai, energi yang dipakai untuk mencapainya juga akan sedikit. Nilai mutlak suatu ide atau perasaan tidak dapat ditentukan, kecuali nilai relatifnya. Cara yang sederhana untuk menentukan nilai-nilai relatif energi psikis adalah dengan mengamati kegiatan seseorang dalam periode waktu tertentu dan dengan cara menanyakan sesorang apakah menyukai suatu hal melebihi hal lainnya. Urutan pilihan atau preferensi dapat untuk menentukan urutan nilai energi psikisnya. Nilai-nilai terikat kepada pengalaman, dan nilai-nilai yang merupakan bagian struktur self, dalam beberapa hal adalah nilai-nilai yang dialami langsung oleh organisme dan dalam beberapa hal adalah nilai-nilai yang diintroyeksikan atau diambil dari orang lain, tetapi dialaminya secara langsung.
  1. Gerak
Menurut Sumadi Suryabrata (1982: 174-175), Gerak itu mempunyai arah. Tiap gerak atau kerja itu pasti mempergunakan energi. Pribadi merupakan pandangan sebagai sistem energi. Energi yang menyebabkan kerja psikologis disebut dengan energi psikis. Sistem gerak pada manusia dapat berpindah dari satu daerah ke daerah lain, sehingga terdapat komunikasi yang maksimal antara berbagai komponen kepribadian. Jika terdapat tingkah laku individu dalam taraf yang seperti ini, maka penyesuaiannya terhadap juga baik, tetapi jika hal sebaliknya terjadi, maka kemungkinan proses interaksi terhadap diri sendiri maupun lingkungan tidak akan terjaga dengan baik.
  1. Progresi
Gerak energi dalam kepribadian itu mempunyai arah, maka gerakannya dapat dibedakan menjadi 2, yaitu arah gerak progresi dan regresi. Pada arah gerak progresi, menurut Yusuf dan Nurihsan (2008: 87), merupakan gerak ke kesadaran dan berbentuk proses penyesuaian yang terus menerus terhadap tuntutan kehidupan sadar. Kondisi energi tersebut didistribusikan secara seimbang ke dalam seluruh kepribadian. Apabila gerak progresi dalam kesadaran bertambah, maka energi dalam ketidaksadaran akan berkurang. Oleh karena itu, agar terjadi proses kepribadian yang seimbang harus ada unsur kesadaran secara menyeluruh dalam masing-masing individu pribadi manusia.
  1. Regresi
Menurut Yusuf dan Nurihsan (2008: 87), gerak regresi disebabkan oleh kegagalan penyesuaian secara sadar dan terbangunnya ketidaksadaran melalui kompleks. Hal ini mengakibatkan individu kembali pada fase perkembangan yang telah dilewatinya atau menderita neurosis. Ketidaksadaran pribadi terdiri dari pengalaman yang disadari tetapi kemudian ditekan, dilupakan dan diabaikan serta pengalaman yang terlalu lemah untuk menciptakan kesan sadar pada pribadi seseorang. Ketidaksadaran pribadi berisi hal yang teramati, terpikirkan, dan terasakan di bawah ambang kesadaran. Tetapi jika, proses penyesuaian diri tidak dapat dikembalikan secara baik, ketidaksadaran tersebut akan muncul sebagai gerak regresi.
  1. Metode Penelitian
Selain memerlukan seperangkat teori untuk menganalisis objek penelitian, suatu penelitian selalu memerlukan metode unutk memudahkan kerja penelitian. Metode diperlukan untuk metode unutk memudahkan kerja penelitian. Metode diperlukan agar dapat mengupas objek yang diteliti, begitu juga yang berbentuk karya sastra. Metode adalah cara yang teratur dalam berpikir secara sistematis untuk mencapai tujuan objek penelitian. Untuk menganalisis nilai gerak progresi dan regresi dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah, penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu mendeskripsikan objek penelitian, melalui kajian analisis kepustakaan dengan pendekatan psikologi, serta penggunaan sumber data.
  1. Metode Kualitatif Deskriptif
Penggunaan metode kualitatif deskriptif, karena yang diteliti adalah karya sastra yang berupa novel yang bersifat imajinatif. Data yang diambil bukan berbentuk angka-angka, akan tetapi kata-kata yang berbentuk pencatatan. Data yang digunakan adalah data-data yang bersifat deskrit. Data deskrit adalah data-data yang mendeskripsikan status dan peran tokoh perempuan dalam keluarga, masyarakat dan lingkungan pekerjaan. Dalam jenis data ini, terkandung rincian data yang lebih detail (Sugihastuti-Suharto, 2005: 22). Sedangkan menurut Kutha Ratna (2009: 53), metode deskriptif merupakan sebuah metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Dengan cara menguraikan dan memberikan pemahaman dan penjelasan terhadap fakta-fakta yang muncul dari sebuah penelitian.
  1. Kajian Analisis Kepustakaan
Menurut Ambarini dan Nazla (2010: 7), metode analisis merupakan suatu cara dalam bentuk sistem analisis dengan objek karya sastra berupa penelitian yang berisi konsep untuk menuntun tindakan konvensional ilmiah serta relevan, sesuai kesepakatan yang ada, keilmuan dan sesuai dengan jaman. Unsur pembangun dalam tindakan ilmiah merupakan sebuah perangkat yang penting sebagai unsur pembangun dalam diri, diantaranya pandangan hidup, pembentukan diri oleh lingkungan, fenomena pengalaman, serta ragam perilaku.
Menurut Ambarini dan Nazla (2010: 11), kajian pustaka merupakan sebuah konsep dasar tindak penelitian yang telah disebutkan sebagai catatan ilmiah yang berkaitan dengan penelitian. Secara umum tindak penelitian ini akan melibatkan objek, metode, pendekatan, teori, fenomena sebagai bagian hipotesis. Kajian pustaka ini dilakukan untuk mengetahui karya-karya perlu diadakan penelitian kembali, baik dengan orang-orang yang terkenal dalam suatu bidang pengetahuan, subjek penelitianya diambil dari beberapa referensi sebagai acuan. Adapun acuan yang digunakan yaitu buku-buku yang membicarakan masalah sastra, ilmu sastra, dan buku-buku dari disiplin ilmu lainya yang mendukung masalah yang sedang diteliti.
  1. Pendekatan Psikologis
Pendekatan merupakan rancangan atau kebijakan dalam memulai atau melaksanakan suatu pekerjaan/kegiatan, yang memberi arah dan corak kepada metode di dasarkan pada asumsi yang berkaitan (sebagai pedoman).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologis. Karya sastra sebagai dunia pengalaman yang merupakan tiruan kesemestaan. Pendekatan psikologis bertumpu pada karya sastra dengan menganalisis seperangkat asumsi tentang kualitas tingkah laku manusia dalam interaksinya dengan Tuhan, diri sendiri maupun lingkungannya.


  1. Variabel Penelitian
Menurut Siswantoro (2005:62), mengatakan bahwa variabel merupakan pusat kajian yang memfokus pada perumusan judul agar lebih spesifik. Dengan adanya variabel, masalah akan menjadi jelas dan dapat dianalisis menggunakan konsep teori tertentu. Sehingga, di dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang akan diteliti, yaitu:
    1. Nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd.
    2. Alternatif Pembelajaran dalam nilai gerak progresi dan regresi Jung di SMA.
  1. Sumber Data
Sumber data diperoleh berdasar atas data kualitatif yang diperoleh melalui data dalam bentuk bahan tertulis. Data dari buku-buku yang membicarakan masalah sastra, ilmu sastra, psikologi dan buku-buku dari disiplin ilmu lainnya yang mendukung masalah yang sedang diteliti, terutama yang berkaitan dengan nilai gerak progresi dan regresi di dalam teori Carl Gustav Jung yang mengacu pada psikologi kepribadian.
  1. Langkah-langkah Penelitian
  1. Pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
  1. Membaca novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd

secara cermat untuk memahami isinya.
  1. Mencatat tokoh dan penokohan yang muncul dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd
  2. Mencatat Nilai Gerak Progresi dan Regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd.
  3. Menarik simpulan dan hasil analisis dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd.
  1. Analisis data
Data terdapat dalam poin yang dianalisis dan diklasifikasikan berdasarkan pembagian nilai-nilai gerak progresi dan regresi dalam novel sehingga dapat menunjukan suatu telaah kritik sastra.
  1. Pemaparan hasil analisis data
Data yang telah dianalisis tersebut kemudian dipaparkan. Hasil analisis dijadikan sebagai dasar pengambilan simpulan.
  1. Sistematika Penulisan
Sistematika skripsi yang berjudul fanatisme novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd dan pembelajarannya di SMA adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Pada bab ini diuraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, dan metode penelitian, sumber data, dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II Landasan Teori. Pada bab ini diuraikan pengertian novel, unsur-unsur novel, pengertian nilai, pengertian gerak progresi dan gerak regresi, Pengertian Psikologi Kepribadian C.G Jung, Nilai Gerak Progresi, Regresi Jung dalam Karya Sastra serta pembelajaran sastra di SMA.
Bab III Analisis nilai gerak progresi dan regresi dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd dan Alternatif Pembelajarannya di SMA.
Bab IV Penutup, yang berisi simpulan dan saran.


BAB II
LANDASAN TEORI
  1. Pengertian Novel
Karya sastra yang sering disebut novel merupakan karya fiksi yang mempunyai unsur pembangun pada peristiwanya. Menurut “The American College Dictionary” (melalui Tarigan, Henry Guntur, 2000: 164), bahwa novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif, dalam panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Sedangkan di dalam buku Ibrahim, Syukur (1987: 182), mengatakan bahwa novel pada dasarnya merupakan sebuah cerita atau laporan mengenai kejadian atau suatu pengalaman. Sehingga, di dalam novel dapat dikemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara riil, detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.
  1. Unsur-unsur Novel
Novel mempunyai unsur-unsur pembangun. Dalam sebuah novel, unsur-unsur pembangunnya saling terkait dan hadir bersama-sama dalam membentuk sebuah cerita. Sedangkan unsur dibagi menjadi 2 macam, meliputi unsur intinsik dan ekstrinsik.
        1. Unsur Dalam (Intrinsik)
Unsur dalam merupakan unsur yang membentuk karya satra tersebut, seperti penokohan, tema, alur, pusat pengisahan, latar dan juga bahasa. Sedangkan menurut pendapat dari Harjito (2006: 2), faktor intrinsik adalah faktor yang membangun cerita rekaan dari dalam, dari dirinya sendiri. Unsur tersebut menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur yang secara faktual akan dijumpai jika pembaca membaca karya sastra. Dan unsur intrinsik sebuah novel merupakan suatu bentuk unsur yang secara langsung turut serta dalam membangun novel.
        1. Unsur Luar (Ekstrinsik)
Unsur ekstrinsik merupakan segala unsur yang berada di luar suatu novel yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, yang meliputi faktor ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosial, faktor kepribadian, faktor politik dan faktor tata nilai yang dianut oleh masyarakat. Menurut Harjito (2006: 1), menyatakan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur luar yang turut mempengaruhi kehadiran dalam cerita rekaan. Tetapi secara langsung, unsur tersebut tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.
Namun, di dalam penelitian ini tidak semua unsur yang akan dibahas. Penelitian ini akan mengkaji tentang unsur ekstrinsik yang ada pada masing-masing berlakuan tokohnya. Hal ini dikarenakan unsur tersebut berkaitan langsung dengan analisis nilai gerak progresi dan regresi dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd.
Untuk menguraikan gerak progresi dan regresi dalam novel tidak semua unsur digunakan, adapun unsur yang digunakan yaitu tokoh dan penokohan, latar.
  1. Tokoh dan Penokohan
  1. Tokoh
Menurut Harjito (2007: 4), tokoh ialah pelaku rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dipelbagai peristiwa. Sedangkan menurut Sudjiman (melalui Harjito, 2007: 5), tokoh utama adalah tokoh yang memegang peran pimpinan dalam sebuah cerita. Protagonis merupakan tokoh yang baik dan biasanya menarik simpati pembaca, antagonis merupakan penentang utama atau tokoh lawan.
Menurut Grimes (melalui Harjito, 2007: 5), tokoh bawahan adalah tokoh yang kurang begitu penting kedudukannya dalam cerita, tapi kehadirannya diperlukan untuk menunjang dan mendukung tokoh utama.
Untuk menentukan tokoh utama ada empat cara (Saad melalui Harjito, 2007: 5), yaitu; (1). Tokoh yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, (2). Tokoh yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan, (3). Tokoh utama juga dapat dilihat dari judul cerita.
  1. Penokohan
Menurut Harjito (2007: 6) penokohan adalah cara pengarang dalam menampilkan seorang tokoh. Penokohan dalam sebuah cerita dibagi menjadi dua yaitu penokohan anatik dan dramatik. Analitik
yaitu pengarang menampilkan watak dan perangai secara langsung. Dramatik yaitu pengarang menawarkan kepada pembaca untuk menyimpulkan sendiri bagaimana sifat sang tokoh, karena pengarang menyebutkan secara tersirat mengenai perangai sang tokoh.
Menurut Luxemburg (melalui Harjito, 2007: 6-7), untuk mencirikan tokoh dapat diketahui melalui; (1). Pengulangan, dapat berbentuk tingkah, perkataan maupun hobi, (2). Akumulasi, menggabungkan data-data tentang tokoh yang tercecer, (3). Kemiripan dan pertentangan, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain.
Menurut Prihatmi (melalui Harjito, 2007: 7), perwatakan/karakter/penokohan dapat dilihat dari; (1). Cakapan, (2). Pikiran tokoh, (3). Stream of consciousness, (4). Lukisan perasaan tokoh, (5). Perbuatan Tokoh, (6). Sikap tokoh, (7). Pandangan tokoh satu kepada tokoh lain, (8). Lukisan fisik, lukisan latar.
Menurut Oemarjati (melalui Harjito, 2007: 7), stream of consciousness mencakup monolog dan soliloqui. Monolog adalah cakapan batin yang menjelaskan kejadian-kejadian yang sudah terjadi dan yang sedang terjadi. Soliloqui merupakan cakapan batin yang menjelaskan hal-hal yang akan terjadi. Berkait dengan alur, jika cerita beralur gerak balik atau sorot balik secara otomatis sang tokoh bermonolog. Jika tokoh ber-foreshadowing, sang tokoh melakukan soliloqui.
  1. Latar
Menurut Harjito (2007: 10), latar merupakan segala sesuatu yang berfungsi sebagai petunjuk, keterangan, acuan yang berkait dengan waktu, ruang, suasana terjadinya sebuah peristiwa. Latar terbagi menjadi latar sosial dan latar material. Latar sosial merupakan sebuah gambaran keadaan masyarakat, adat istiadat, cara hidup, termasuk bahasa. Sedangkan latar material merupakan wujud suatu tempat secara fisik, misalnya bangunan atau nama daerah.
Menurut Keraf (2007: 148), latar merupakan sebuah tempat tertentu yang digunakan sebagai tempat tokoh melakukan tidak-tanduk dalam sebuah cerita. Latar dapat digambarkan secara hidup-hidup dan terperinci, dapat pula digambarkan secara sketsa, sesuai fungsi dan perannya pada tindak-tanduk yang berlangsung. Latar dapat berfungsi sebagai unsur yang penting dalam kaitannya dengan tindak-tanduk yang terjadi, atau hanya berperan sebagai unsur tambahan saja. Pada bagian tertentu mungkin peranan latar menjadi kurang penting bila dibandingkan dengan latar pada bagian yang lain. Demikian latar juga dapat menjadi unsur penting ketika dapat membentuk suasana pada suatu kurun waktu tertentu.
Menurut Hudson (melalui Harjito, 2007: 10), latar dibedakan menjadi latar sosial dan latar material. Ditambahkan oleh Sudjiman (dalam Harjito, 2007: 10-11), latar dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu latar sosial, latar tempat dan latar waktu. Tiga unsur pokok latar adalah sebagai berikut:
  1. Latar Tempat
Latar tempat disebut juga sebagai latar material, merupakan wujud suatu tempat secara fisik, yang menyaran pada lukisan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur-unsur tempat yang dipergunakan dapat berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas, misalnya bangunan atau nama daerah. Unsur latar merupakan bagian keseluruhan karya yang dapat jadi dominan dan koherensif.
  1. Latar Waktu
Perlu dibedakan antara waktu cerita dan waktu penceritaan. Waktu cerita berhubungannya dengan latar, kapan terjadinya suatu peristiwa dalam cerita. Waktu penceritaan berkaitan dengan waktu/ halaman yang dibutuhkan pengarang dalam menceritakan sesuatu. Pengetahuan dan persepsi terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita.
  1. Latar Sosial
Latar sosial ialah mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat istiadat, cara hidup, termasuk bahasa.
Dari ketiga latar tersebut, dalam penelitian ini yang akan dicari dan diperlakukan untuk menentukan gerak progresi dan regresi adalah latar waktu dan tempat.
  1. Pengertian Nilai
Definisi nilai sering dirumuskan dalam konsep yang berbeda-beda. Seperti dinyatakan Kurt Baier (melalui Mulyana 2004: 8), seorang sosiolog menafsirkan nilai dari sudut pandangnya sendiri tentang keinginan, kebutuhan, kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada wujud tingkah lakunya yang unik. Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya, definisi ini dikemukakan oleh Gordon Allport (melalui Mulyana 2004: 8), sebagai seorang ahli psikologi kepribadian. Bagi Allport, nilai terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan. Karena itu keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah pada wilayah ini merupakan hasil dari serentetan proses psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya. Jadi dapat dikatakan bahwa nilai berkaitan dengan sikap. Sikap lebih spesifik sedangkan nilai lebih luas dan bahkan dapat mencakup beragam sikap. Sikap merupakan seperangkat respon sedangkan nilai dapat menunjukkan suatu kompleks yang utuh dari seperangkat respon yang muncul.
  1. Pengertian Gerak Progresi dan Regresi
              1. Pengertian Gerak Progresi
Ketika manusia menjadi lebih efisien dalam memuaskan kebutuhan dasar dan kebutuhan biologisnya, mereka mempunyai energi lebih banyak untuk mengembangkan minat kultural. Kepribadian bukanlah sistem yang tertutup sama sekali, pertambahan dan pengurangan energi terhadapnya adalah mungkin dan ini akan mengganggu keseimbangan. Walaupun keseimbangan kekuatan yang permanen dalam kepribadian tidak pernah tercapai, tetapi hal ini merupakan keadaan ideal yang selalu dituju oleh distribusi energi. Keadaan ideal yang dituju ini adalah diri yaitu kondisi arah gerak energi yang didistribusikan secara seimbang dalam seluruh kepribadian diri. Menurut Suryabrata (1982: 174), bahwa gerak energi itu mempunyai arah, dan arah geraknya dapat dibedakan antara arah gerak progresi dan regresi. Gerak progresi adalah gerak ke kesadaran dan berbentuk proses penyesuaian yang terus menerus terhadap tuntutan-tuntutan kehidupan sadar dunia luar maupun kebutuhan-kebutuhan ketidaksadaran. Biasanya gerak progresi disebut gerak maju. Dalam progresi normal, kekuatan-kekuatan penghalang dipersatukan secara selaras dan koordinatif oleh proses-proses kejiwaan. Menurut Fudyartanta (2005: 107), mengatakan bahwa jalan maju atau progresi, yakni ego secara sadar dapat menyesuaikan diri secara memuaskan. Pada progresi normal, daya-daya yang berlawanan dipersatukan dalam suatu arus proses psikis yang terkoordinasi dan harmonis.
              1. Pengertian Gerak Regresi
Selain berpengaruh pada gerak regresi, kepribadian juga mengarah pada gerak regresi atau gerak mundur, yang menurut Suryabrata (1996: 174), bahwa gerak regresi terjadi apabila dengan gagalnya penyesuaian secara sadar dan karenanya terbangunkan ketidaksadaran-misalnya lewat kompleks-kompleks terdesak terjadilah penumpukan energi yang berat sebelah dan berakibat bahwa isi-isi ketidaksadaran menjadi terlalu penuh energi dan kekuatannya bertambah besar. Hal ini dapat berakibat individu kembali kepada fase perkembangan yang telah dilewatinya, atau menderita neurosis, atau bila terjadi pembalikan total dimana ketidaksadaran masuk ke kesadaran maka orang yang bersangkutan akan menderita psikosis. Sedangkan menurut Fudyartanta (2005: 107), bahwa jika gerak maju terganggu oleh situasi yang menghambat, maka libido tidak dapat disalurkan dalam nilai-nilai yang berorientasi ekstravert atau berorientasi kepada lingkungan. Akibatnya, libido mengadakan regresi ke dalam ketidaksadaran dan menyalurkan dirinya ke dalam nilai-nilai yang introvert. Artinya, nilai-nilai ego yang objektif ditransformasikan ke dalam nilai-nilai subjektif. Jadilah regresi sebagai antitesis dari progresi, mundur menjadi lawan dari maju.
  1. Pengertian Psikologi Kepribadian C. G. Jung
Carl Gustav Jung, seorang pencipta teori psikologi kepribadian yang berasal dari keluarga cendekiawan, yang lahir pada tanggal 26 Juli 1875 di Kesswyl, Lake Costance, Canton Thurgau, Swiss. Dalam memandang manusia, Jung menggabungkan pandangan teleologi dan kausalitas. Dia memandang bahwa tingkah laku manusia itu ditentukan tidak hanya oleh Sejarah individu dan rasi (kausalitas) tetapi juga oleh tujuan dan aspirasi individu (teleologi). Menurut Jung, masa lampau individu sebagai aktualitas maupun masa depan individu sebagai potensialitas sama-sama membimbing tingkah laku individu (Yusuf dan Nurihsan, 2008: 72). Sedangkan menurut Fudyartanta (2005: 61), bahwa dasar teori Jung adalah kepribadian manusia dipandang sebagai prospektif, dalam arti bahwa Jung melihat ke depan ke arah garis perkembangan sang pribadi di masa depan dan retrospektif, dalam arti, ia mempertahankan masa lampau. Dalam hal ini, Jung menyatakan bahwa: “Orang hidup dibimbing oleh tujuan-tujuan maupun sebab-sebab.” Jung menganggap, bahwa ada perkembangan yang konstan dan seringkali kreatif, pencapaian arah kesempurnaan dan kepenuhan, serta kerinduan lahir kembali. Jadi dasar-dasar kepribadian bersifat arkhaik, primitif, bawaan, tidak sadar dan mungkin universal. Sebagai seorang ahli psikologi, Jung sangat produktif. Banyak teori yang diungkapkan, yang pada intinya terdiri dari tiga bagian, yaitu rangka struktur, dinamika serta perkembangan kepibadian (physhe). Dan yang berkaitan dengan analisis novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd, adalah berdasar pada dinamika kepribadian. Karena pembentukan dinamika kepribadian yang berkembang menjadi prinsip-prinsip interaksi dan fungsi/tujuan penggunaan energi psikis. Nilai psikis dapat dilihat dari ukuran banyaknya energi psikis yang tertanam dalam salah satu unsur kepribadian dan suatu ide atau perasaan itu dapat memainkan peran penting dalam mengarahkan tingkah laku. Selain memiliki nilai, energi psikis juga memiliki tujuan dan arah gerak yang dapat diraih melalui gerak progresi dan regresi.
  1. Nilai Gerak Progresi, Regresi Jung dalam Karya Sastra
Jika dilihat dari beberapa uraian tentang gerka progresi dan regresi, kesannya bahwa progresi itu mempunyai nilai positif dan regresi mempunyai nilai negatif. Namun demikian itu seluruhnya tidak benar, karena menurut Jung baik regresi maupun progresi dibutuhkan oleh individu. Selanjutnya Jung menjelaskan bahwa progresi terjadi atas dasar keharusan individu menyesuaikan diri terhadap dunia luar. Adapun regresi terjadi atas dasar keharusan individu menyesuaikan diri ke dalam diri sendiri. Kedua gerak energi progresi dan regresi adalah bentuk yang seharusnya ada pada kejadian psikis yang wajar. Progresi dan regresi hanya alat atau fase dalam bekerjanya energi. Regresi merupakan pertanda bahwa ada sesuatu yang tidak sesuaidalam diri individu, tetapi dapat juga merupakan jalan untuk dapat memperkaya jiwa dengan cara memanggil gambaran yang ada dalam ketidaksadaran ke dalam kesadaran (Yusuf dan Nurihsan, 2008: 87). Sedangkan menurut Fudyartanta (2005: 107), bahwa Jung masih yakin, perkembangan regresi tidak selamanya menghasilkan sesuatu yang secara tetap buruk, atas penyesuaian diri. Bahwa regresi dapat juga membantu ego menemukan jalan untuk mengatasi rintangan yang dihadapinya dan bergerak maju. Hal ini dapat terjadi, karena ketidaksadaran pribadi dan kolektif berisi pengetahuan dan kebijaksanaan masa lampau individual dan ras, yang telah direpresikan (diabaikan). Ego melakukan regresi dengan maksud untuk menemukan pengetahuan yang berguna dalam ketidasadaran, yang selanjutnya memungkinkan untuk mengatasi kegagalannya. Gerak progresi dan regresi dalam karya sastra berhubungan dengan ilmu jiwa, yang dapat diartikan sebagai penyelidikan jiwa pengarang sebagai tipe/individu, proses penciptaan, tipe-tipe jiwa dan norma-norma dalam karya sastra serta mempengaruhi sastra terhadap pandangan masyarakat. Tingkatan jiwa ini hanya dapat dicapai oleh manusia berupa perasaan, akal. Bila terjelma dalam karya sastra berupa renungan moral, batin, sikap dan pertimbangan pikiran.
  1. Pembelajaran Sastra di SMA
Karya sastra novel merupakan salah satu materi kajian mata pelajaran bahasa Indonesia di SMA yang di dalamnya mengacu pada sistem pembelajaran. Pembelajaran adalah penguasaan atau pemerolehan pengetahuan tentang suatu subjek atau sebuah ketrampilan dengan belajar, pengalaman, atau instruksi (Brown, 2008: 8). Sedangkan Rahmanto (1993: 15), berpendapat bahwa pembelajaran karya sastra bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak. Sebagai salah satu karya sastra, novel merupakan salah satu materi kajian mata pelajaran bahasa Indonesia di SMA. Melalui Kompetensi Dasar menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia (standard isi 2006, SMA kelas XI), materi nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd dapat diajarkan pada siswa. Novel memungkinkan siswa dalam membacanya, hanyut dalam keasyikan. Novel-novel seperti ini jelas dapat dijadikan sarana pendukung untuk memperkaya bacaan para siswa disamping itu juga dijadikan sebagai sarana pendukung bahan pengajaran oleh para guru sastra. Dengan adanya novel akan dapat membina minat membaca siswa secara pribadi dan lebih lanjut akan dapat meningkatkan semangat mereka untuk menekuni bacaan secara lebih mendalam. Namun tingkat kemampuan tiap-tiap individu tidaklah sama. Ini dapat menimbulkan masalah di kelas. Di satu pihak, guru harus berusaha meningkatkan kemampuan membaca para siswanya yang masih rendah, di pihak lain guru tidak ingin kemampuan membaca siswanya yang telah maju terhalang. Oleh karenanya, untuk menyajikan pengajaran novel, guru dituntut luwes dan menggunakan strategi kerja kelompok yang baik. Tujuan pokok yang perlu dicapai adalah meliputi peningkatan kemampuan membaca baik secara ekstensif maupun intensif. Untuk mencapai tujuan tersebut ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, meski prinsip itu dalam situasi tertentu perlu dimodifikasi palaksanaannya. Berikut ini terdapat beberapa teknik pengajaran novel:
              1. Pemilihan edisi buku
Buku-buku yang dicetak dengan kertas yang baik dan cetakan yang bermutu biasanya lebih enak untuk dibaca. Sehingga pemilihan buku layaknya dapat diperhatikan.
              1. Mengawali pembicaraan dengan menyenangkan
Sebagai seorang guru yang tidak hanya mengajarkan nili-nilai edukatif pada siswa, juga bersifat komunikatif, layaknya seorang guru mampu menunjukkan atau membacakan bagian-bagian yang menarik dari buku yang akan menjadi pokok bahasan sehingga pada prinsipnya siswa tertarik untuk membacanya lebih lanjut.
        1. Memberikan penahapan belajar
Untuk menyajikan novel kadang memerlukan waktu yang jauh lebih panjang. Oleh karena itu, dalam membuat persiapan guru hendaknya menentukan penahapan penyajian sebaik-baiknya. Setelah guru menunjukkan bagian-bagian yang menarik dari novel tersebut, guru memberikan penahapan untuk dibaca oleh siswa menjadi beberapa bab, sehingga dapat disajikan dengan lancar.
        1. Membuat cerita lebih hidup
Ada beberapa cara yang dapat diterapkan untuk membuat cerita lebih hidup, diantaranya dengan memutar film setelah siswa membaca buku aslinya. Selain itu dapat pula dengan memberi kesempatan pada siswa untuk merekonstruksi adegan dari buku dengan cara-cara tertentu sehingga inti adegan itu menjadi lebih jelas.
        1. Membuat catatan ringkas
Novel memang biasanya panjang dan kompleks, sehingga diperlukan suatu catatan ringkas untuk membantu siswa dalam mengingat kesan-kesan yang didapat dari membaca novel. Catatan itu dapat berupa daftar nama tokoh yang penting serta memberikan komentar di dalam novel tersebut.
        1. Pengkajian Ulang
Dengan mengkaji menggunakan metode diskusi setelah membaca seluruh isi novel, diharapkan dapat memperjelas kesan siswa tentang novel yang mereka pelajari dan bisa juga digunakan untuk memperbaiki kesan-kesan yang keliru.
Selain tekhnik pengajaran novel, di dalam karya sastra juga harus ada beberapa perencanaan pengajaran yang pada dasarnya dapat meningkatkan sistem pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan, diantaranya:
  1. Materi Ajar
    1. Pengertian materi ajar
Bahan merupakan inti atau pokok materi. Bahan adalah sesuatu yang akan disajikan kepada anak. Bahan pelajaran hendaknya sebagai gabungan dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap, bahan sebagai dasar kegiatan belajar siswa (Ngatmini, 2010:121).
Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa materi ajar (instructional materials) adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai peserta didik dalam rangka memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan. Materi ajar menempati posisi yang sangat penting dari keseluruhan kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran dapat mencapai sasaran. Sasaran tersebut harus sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dicapai oleh peserta didik. Artinya, materi yang ditentukan untuk kegiatan pembelajaran hendaknya materi yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta tercapainya indikator (Ngatmini, 2010:122).
    1. Jenis-jenis materi ajar
Jenis-jenis materi ajar (Ngatmini, 2010:122) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
  1. Fakta yaitu segala hal yang berwujud kenyataan dan kebenaran, meliputi nama-nama objek, peristiwa, sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, nama bagian atau komponen suatu benda, dan sebagainya.
  2. Konsep yaitu segala yang berwujud pengertian-pengertian baru yang bisa timbul sebagai hasil pemikiran, meliputi definisi, pengertian, ciri khusus, hakikat, inti atau isi dan sebagainya.
  3. Prinsip yaitu berupa hal-hal utama, pokok, dan memiliki posisi terpenting, meiputi dalil, rumus, adagium, postulat, paradigma, teorema, serta hubungan antarkonsep yang menggambarkan implikasi sebab akibat.
  4. Prosedur merupakan langkah-langkah sistematis atau berurutan dalam mengerjakan suatu aktivitas dan kronologi suatu sistem.
  5. Sikap atau nilai merupakan hasil belajar aspek sikap, misalnya nilai kejujuran, kasih sayang, tolong-menolong, semangat dan minat belajar dan bekerja.
    1. Prinsip-prinsip Pengembangan Materi
Prinsip-prinsip yang dijadikan dasar dalam menentukan materi ajar (Ngatmini, 2010:123) adalah
  1. Relevansi artinya kesesuaian.
  2. Konsisten artinya keajegan.
  3. Adequacy artinya kecukupan.
  1. Pendekatan
    1. Pengertian pendekatan
Pendekatan adalah seperangkat asumsi tentang hakikat bahasa, hakikat belajar bahasa dan hakikat mengajarkan bahasa. Pendekatan merupakan cara pandang, filsafat atau segala sesuatu yang diyakini kebenarannya, sehingga ingin diwujudkan (Ngatmini, 2010:73).
    1. Jenis-jenis pendekatan
Dalam pembelajaran, terdapat beberapa pendekatan (Ngatmini, 2010:74-80).
  1. Pendekatan Kooperatif (cooperative learning) merupakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa mendasarkan diri pada perspektif filosofi John Dewey ( melaui Ngatmini, 2010:75). John Dewey dalam mendukung diusulkan oleh para psikolog perkembangan dan kognitif kontemporer. Cooperative learning mendorong interkasi antara siswa dan guru atau siswa dengan siswa, mendorong pengalian dan ekplorasi ide oleh siswa.
  2. Pendekatan Problem Based Learning merupakan kegiatan pembelajaran yang guru berperan meyodorkan berbagai masalah, memberi pertanyaan dan menfasilitasi infestigasi dan dialog.
  3. Pendekatan Classrom Discussion (Diskusi kelas) merupakan prosedur yang digunakan untuk mendorong pertukaran verbal diantara siswa-siswanya. Diskusi sebagai situasi yang guru dan siswa atau siswa dan siswa lainnya saling bercakap-cakap dan berbagi ide dan pendapat.
  4. Pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning) sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa yang mampu menyerap palajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya (Ngatmini, 2010:10).
  1. Strategi
    1. Pengertian strategi
Secara harafiah berarti tipu muslihat untuk mencapai suatu maksud. Menurut Ely (melalui Ngatmini,2010:73) strategi pembeajaran adalah cara yang dipilih untuk menyampaikan materi ajar dalam lingkungan pembelajaran tertentu. Jadi strategi pembelajaran adalah kegiatan pembelajaran yang dipilih guru yang memberi kemudahan siswa unutk dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.
    1. Jenis-jenis strategi
Strategi pembelajaran aktif (Ngatmini, 2010:87-93) diantaranya sebagai berikut:
  1. Strategi pembelajaran aktif dengan Jigsaw
Sebagai strategi yang menarik jika meteri yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan meteri tersebut tidak mengharuskan urutan penyampaian. Kelebihan strategi ini dapat melibatkan seluruh siswa dalam belajar dan sekaligus mengajarkan kepada orang lain.
  1. Strategi berpasangan
Adalah strategi yang digunakan untuk mengulang materi yang telah diberikan sebelumnya. Namun demikian, materi baru pun tetap adapat diajarkan dengan strategi ini dengan catatan siswa diberi tugas mempelajari topik yang diajarkan terlebih dahulu, sehingga masuk kelas mereka sudah memiliki bekal pengetahuan.
  1. Strategi pembelajaran Sinergis
Adalah strategi yang mengabungkan dua cara belajar yang berbeda. Strategi ini memberikan kesempatan kepada siswa utnuk saling berbagai hasil belajar dari metari yang sama dengan cara yang berbeda dengan membandingkan catatan.
  1. Strategi Teks Acak
Merupakan strategi pembelajaran dengan menghadirkan teks yang di acak untuk memahami materi yang ada pada teks tersebut. Teks acak dapat digunakan untuk pembalajaran bahasa, seperti membaca pemahaman atau berbicara. Dalam hal ini lebih memungkinkan aktifitas siswa atau mahasiswa.
  1. Student Team-Achievement Divisions (STAD)/Tim Siswa kelompok Prestasi (Slavin, 1995)
Langkah-langkah :
      1. Membentuk kelompok yang anggotanya = 4 orang atau lebih secara hiterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku dll).
      2. Guru menyajikan pelajaran
      3. Guru memberikan tugas kepada keompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok. Anggotanya tahu menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
      4. Guru memberi kuis atau pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu.
      5. Memberi evaluasi.
      6. Kesimpulan.
  1. Media
    1. Media
Media berasal dari kata medium (bahasa latin) berarti perantara. Media merupakan segala sesuatu yang membawa pesan atau informasi dari suatu sumber untuk disampaikan kepada penerima (Ngatmini, 2010:104). Media dalam arti luas adalah setiap orang, bahan, alat, peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memunginkan siswa untuk menerima pengetahuan, keterampilan, sikap. Dengan kata lain media sebagai perantara fisik untuk menyampaikan isi pembelajaran, seperti buku, video, suara guru dll. Media atau alat adalah sesuatu yang digunakan guru untuk mengkomunikasikan pesan kepada siswa.
    1. Jenis media
Jenis-jenis media pembelajaran (Ngatmini, 2010:105) dapat dikelompokkan sebagai berikut :
  1. Media visual, media ini dapat dibedakan menjadi
  1. Media yang tidak diproyeksikan : buku teks, modul, foto, bagan.
  2. Media yang diproyeksikan : transparasi, slide, TV (alatnya seperti OHP)
  1. Media audio : kaset, rekorder dll
  2. Media audio visual : TV, VCD
  3. Media berbasis komputer : multimedia pembelajaran interaktif (CAI / Central Audio visual Interactive)
  4. Multimedia kit : media pembelajaran yang lengkap atau komplit/satu set media.
  1. Metode
      1. Pengertian metode
Metode berasala dari Greka, metha dan hodos. Metha artinya melalui atau melewati, hodos berarti cara atau jalan. Metode diartikan sebagai jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu (Ngatmini, 2010: 94). Metode ini berfungsi sebagai salah satu alat untuk menyajikan bahan pelajaran dalam rangka pencapaian tujuan pengajaran. Jadi metode adalah prosedur pembelajaran atau rencana yang menyeluruh untuk menyajikan bahan ajar secara teratur atas dasar prinsip tertentu sesuai dengan pendekatan yang melandasinya.
      1. Jenis-jenis metode
        1. Metode Ceramah (Lecture atau Lecturing)
Metode ceramah adalah sebuah bentuk interaksi melalui penerangan dan penuturan secara lisan oleh seseorang terhadap sekelompok pendengar (Ngatmini, 2010:95). Setiap guru yang mengajar pasti memiliki tujuan yang akan dicapai, maka metode ceramah masih penting untuk dilakukan.
        1. Metode Demonstrasi
Metode demontrasi digunakan jika seorang pengajar memperlihatkan sesuatu proses pada seluruh kelompok anak (Ngatmini, 2010:96).
        1. Metode Eksperimen
Metode eksperimen jika guru mencoba mengerjakan sesuatu serta mengamati proses dan hasil percobaan. Dengan eksperimen anak dapat aktif melakukan sendiri atau mengamati orang lain yang bereksperimen (Ngatmini, 2010:97).
        1. Metode Pemberian Tugas
Pemberian tugas dilaksanakan dengan tujuan dan petunjuk yang jelas. Tujuan pemberian tugas untuk memberi latihan, meningkatkan pemahaman, dan rasa tanggung jawab untuk mandiri (Ngatmini, 2010:97).
        1. Metode Karya Wisata
Metode karya wisata digunakan dengan tujuan untuk memperluas cakrawala, wawasan siswa tentang alam. Karya wisata dipandu oleh seorang atau beberapa orang guru untuk mengunjungi tempat tertentu dengan maksud belajar (Ngatmini, 2010:97).
        1. Metode Kerja Kelompok
Metode ini dipilih untuk memupuk kegotong royongan antar siswa. Setiap kelompok diberi tugas dan tanggung jawab tersendiri. Dengan kelompok dapat dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan, sehingga dasar pengelompokkannya dapat beragam (Ngatmini, 2010:97)
        1. Metode Tanya Jawab
Kegiatan utama metode tanya jawab adalah bertanya dan menjawab pertanyaan dari siswa atau dari guru (melalui Darmawang,dkk, 2008 : 110).
        1. Metode Diskusi
Gilstrap dan Martin (melalui Darmawang,dkk, 2008 : 112) mengatakan bahwa Metode diskusi merupakan suatu kegiatan dimana sejumlah orang membicarakan secara bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah, atau untuk mencari jawaban dari suatu masalah berdasarkan semua fakta yang memungkinkan.
        1. Metode Penemuan
Metode penemuan merupakan format interaksi belajar mengajar yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan informasi tanpa bantuan atau bimbingan guru (Darmawang,dkk, 2008 : 122).
  1. Evaluasi
Untuk dapat menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan dan pengajaran perlu diadakan usaha atau tindakan penilaian atau evaluasi. Penilaian atau evaluasi pada dasarnya adalah memberikan pertimbangan atau harga atau nilai berdasarkan kriteria tertentu (Sudjana, 2004:111).
Dalam pembelajaran perlu diadakannya penilaian baik untuk siswa dan guru itu sendiri. Penilaian bagi siswa berfungsi untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pengajaran, dalam hal ini adalah tujuan instruksional khusus. Dengan fungsi ini dapat diketahui tingkat penguasaan bahan pelajaran yang seharusnya dikuasai oleh para siswa (Sudjana, 2004:111). Dengan kata lain dapat mengetahui hasil belajar yang dicapai para siswa. Penilaian bagi guru berfungsi untuk mengetahui keefektifan proses belajar mengajar yang telah dilakukan guru (Sudjana, 2004:111). Dengan fungsi ini guru dapat mengetahui berhasil atau tidaknya ia mengajar. Rendahnya hasil belajar yang dicapai siswa tidak semata-mata disebabkan kemampuan siswa tetapi juga bisa disebabkan kurang berhasilnya guru mengajar

BAB III
ANALISIS NILAI GERAK PROGRESI DAN REGRESI JUNG DALAM NOVEL MISTERI MAYAT YANG BERPINDAH KARYA S. MARA GD DAN ALTERNATIF PEMBELAJARANNYA DI SMA

  1. Analisis Gerak Progresi dan Regresi
  1. Unsur-unsur Intrinsik Novel
  1. Tokoh
  1. Tokoh Utama
Untuk menemukan tokoh utama dalam novel ini dapat ditentukan dengan cara menentukan tokoh yang selalu berkaitan dengan tema, tokoh yang selalu berkaitan dengan tokoh lain, dan tokoh yang dalam penceritaannya memerlukan waktu paling banyak.
  1. Tokoh yang paling banyak berhubungan dengan tema
Berdasarkan kaitannya dengan tema novel, yaitu seorang perempuan yang dihadapkan pada satu persatu kematian keluarganya dengan kematian yang beragam. Berikut kutipannya:
41
Beribu bayangan muncul lagi dalam benak Julia, menari-nari hilang dan pergi seperti slide iklan di bioskop. Hari ini dia berdiri di sini untuk mengantarkan kepergian adiknya ke alam baka. Adiknya merupakan orang kelima yang terdekat dengannya sudah mendahuluinya.
Konyol! Satu demi satu orang-orang yang terdekat dengannya meninggalkannya. Satu persatu keluarganya pindah ke alam baka. Transmigrasi. (Gandhi, 2005: 11)

Dari kutipan diatas menjelaskan bahwa Julia Takra mengantar kepergian salah satu keluarganya, setelah sebelumnya dia telah mengantarkan orang-orang yang dicintainya pergi ke alam baka.
Julia mengambil napas dalam.
“Rengkuhlah dia ke dalam pelukanmu, Jul. Kau sendiri telah kehilangan anakmu. Sekarang Melani kehilangan ibunya. Anggaplah dia sebagai anakmu sendiri.”
“Akan kupikirkan,” kata Julia berdiri dari duduknya. (Gandhi, 2005: 32)

Dari kutipan diatas menjelaskan bahwa setelah kematian keluarganya secara terus menerus, masih tersisa keluarganya yang lain yang pantas untuk dikasihi, yaitu keponakannya, Melani. Dan Emil Musa, adik iparnya berharap agar Julia mau untuk memberikan kasih sayang sepenuhnya kepada Melani seperti anaknya sendiri sabagai pengganti anaknya yang telah pergi meninggalkannya akibat kecelakaan.
“Jul, demi Melani. Pikirkan dulu. Aku tidak minta komitmen apa-apa darimu, cuma bahwa kau bersedia memikirkannya. Kalau bukan demi aku, ya demi Melani. Kau mencintainya. Aku tahu kau mencintainya. Tolong pertimbangkanlah lagi demi Melani.”
“Oke, oke, aku pikirkan,” kata Julia menghela napas dalam.
“Pikirkanlah selama waktu yang kaubutuhkan. Aku akan sabar menunggu sampai kau datang kepadaku dengan jawaban yang positif.” (Gandhi, 2005: 128)

Pada kutipan diatas terlihat bahwa Julia mulai memikirkan untuk mempertimbangkan keputusan Emil Musa untuk menikahinya, demi masa depan Melani.
Tetapi ternyata semua keputusan Emil tidak didukung oleh putrinya. Bahkan Melani sudah tidak percaya dengan tantenya lagi, walaupun Julia sudah mengatakan bahwa dia tidak akan menikah dengan Emil Musa bila Melani menyetujuinya. Seperti terlihat pada kutipan berikut.
Beberapa kali Julia berusaha menjelaskan kedudukannya, tapi tak pernah berhasil. Walaupun dia sudah mengatakan bahwa dia tak akan menikah dengan Emil jika Melani tidak menghendakinya, dia tetap tak berhasil menembus dinding pemisah yang dibangun gadis itu terhadapnya. Melani seakan-akan sudah tidak percaya lagi kepada kata-katanya. (Gandhi, 2005: 154)

Setelah terjadi pembunuhan yang diduga dilakukan oleh Melani terhadap ayahnya, akhirnya Julia menyusun rencana untuk Melani agar Melani terbebas dari jeratan hukum dengan berbohong kepada polisi. Seperti yang terdapat di dalam kutipan berikut.
“Dia tidak pernah bertanya kepadamu bagaimana jenazah Emil bisa pindah tempat?”
“Tidak. Kami tak pernah membicarakan peristiwa itu. Aku asumsikan saja bahwa dia tahu aku sudah mengatur segalanya supaya dia tidak dicurigai polisi. Aku Cuma mengatakan kepadanya apa yang kuceritakan kepada polisi tentang peristiwa itu dan bahwa dia harus berkata dia ada di rumah temannya saat itu.” (Gandhi, 2005: 411)

Walaupun Julia mengira bahwa yang membunuh adik iparnya adalah keponakannya sendiri, tapi saat Melani masuk Rumah Sakit, Julia tetap setia untuk menemaninya sampai Melani sadar. seperti terdapat di dalam kutipan berikut:
“Jul, pulanglah. Sudah pukul delapan pagi,” kata Alan Rahadian kepada Julia Takra yang masih duduk menunggu di depan kamar ICU. “Kau sudah berjaga disini sepanjang hari mulai kemarin sampai sekarang. Kau harus pulang dan tidur, nanti kau sakit. Di sini kau toh tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Dia belum siuman sampai sekarang,” kata Julia bingung. “Aku sangat takut, Al.” (Gandhi, 2005: 419)

Setelah Melani sembuh dari sakitnya, semua kejahatan pembunuhan mulai terkuak. Ternyata dugaan Julia salah, saat dia memindahkan jenazah ayahnya dari kamar Melani ke kamar Emil sendiri, untuk melindungi Melani, ternyata yang melakukan pembunuhan itu adalah sopirnya sendiri, Hadi. Berikut kutipannya:
“Saya sudah menceritakan bahwa Yu Sul dan saya membersihkan noda-noda darah di lorong antara kamar Melani dan kamar Emil setelah kami memindah jenazah Emil, bukan? Pada waktu itu saya merasa aneh, kok noda-noda itu sudah kering. Mestinya kalau masih baru menetes kan basah. Rupanya noda-noda itu menetes bukan saat Yu Sul dan saya memindahkan jenazah Emil dari kamar Melani ke kamar Emil, melainkan saat si Hadi pertama kalinya memindahkan jenazah Emil dari kamarnya ke kamar Melani.” (Gandhi, 2005: 482)


Kutipan di atas menjelaskan noda darah yang sudah kering saat Julia dengan dibantu Yu Sulika memindahkan jenazah Emil, yang ternyata sebelumnya jenazah itu pernah dipindahkan oleh sang pembunuh, Hadi untuk menghilangkan jejak.
“Tapi kepergianmu ke Bandung ini merupakan keputusan yang tepat. Ini memberimu kesempatan untuk mengenal kakek dan nenekmu secara lebih dekat. Mereka sudah tua. Waktunya tak banyak lagi bagi mereka. Jangan lupa itu. Dan kau juga memerlukan perubahan suasana, supaya kau lebih cepat melupakan tragedi yang terjadi di sini dan kau bisa berkonsentrasi pada studimu.” (Gandhi, 2005: 492-493)

Kutipan di atas menjelaskan saat semua peristiwa yang dihadapi keluarga Julia Takra selesai, akhirnya Melani ikut bersama nenek dan kakeknya tinggal di Bandung untuk melanjutkan sekolahnya dan juga untuk melupakan peristiwa yang telah dialaminya.
  1. Tokoh yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain
Tokoh Julia Takra sebagai tokoh utama novel ini karena Julia Takra selalu mengalami peristiwa yang terlibat dengan tokoh yang lain. Peristiwa-peristiwa yang menyatakan Julia Takra berhubungan dengan tokoh lain, dapat dilihat dari kutipan-kutipan berikut ini:

  1. Tokoh Julia Takra berhubungan dengan tokoh Ir. Emil Musa
Emil Musa merupakan adik ipar dari Julia Takra, yang menikah dengan Febria.
Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.
Pertama Julia mengerutkan keningnya, lalu dia membuka mulutnya, dan kemudian melotot. Dia tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Dengan nada yang begitu otoriter, dengan gaya yang begitu memerintah, iparnya ini berani menyuruhya berhenti bekerja untuk mengurus rumah tangganya! Kurang ajar! Memangnya dia menganggap aku ini apa? Budaknya? Pegawainya? (Gandhi, 2005: 27)
Dari kutipan diatas terlihat bahwa Julia diperintah oleh Emil Musa untuk tidak lagi bekerja, tetai mengurus rumah tangga iparnya itu, setelah kematian Febria, adik kandungnya.
  1. Tokoh Julia Takra berhubungan dengan tokoh Melani
Melani adalah keponakan Julia Takra. Melani adalah seorang anak yatim yang ditinggalkan oleh ibunya dan akhirnya hidup dengan Julia Takra. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
“Waduh, Tante. Bagusnya!” kata Melani. “Dipakai. Tante, dipakai! Sini, aku pakaikan!”
Julia membiarkan Melani mengenakan kalung itu di lehernya.
“Lihat, Tante, bagus lho!” katanya. (Gandhi, 2005: 109)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa Melani begitu menyayangi Julia dan sangat bahagia saat Julia memakaikan kalung pemberiannya pada hari ulang tahunnya.
  1. Tokoh Julia Takra berhubungan dengan tokoh Alan Rahadian
Alan Rahadian merupakan teman dekat Julia Takra, yang juga merupakan teman dari Febria. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
“Janji setia?”
“Setia sampai mati.”
“Semua praktek percewekan berhenti?”
“Sudah lama berhenti total.”
Julia tersenyum lebar.
“Oke,” katanya.
“Oke? Oke? Astaga, oke?” Alan kegirangan. Dia tidak menduga Julia akan berkata “Oke” segampang itu, dia mengira Julia masih akan mengetengahkan berbagai alasan.
“Oke aku mau mencoba,” kata Julia.
Alan serta-merta memeluknya, sedemikian bergairah dan gembiranya sampai Julia mengaduh. (Gandhi, 2005: 71-72)

Pada kutipan di atas terlihat bahwa Alan Rahadian berjanji akan setia pada Julia dan Julia akan mencoba untuk menerima Alan sebagai kekasihnya.
  1. Tokoh Julia Takra berhubungan dengan tokoh Hadi Santoso
Hadi Santoso adalah sopir pribadi Emil Musa, yang telah bekerja lama kepada keluarga Emil Musa. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Hadi, mana Melani?” tanya Julia kepada sopie Emil yang sedang melap mobil di halaman.
“Barusan lari keluar, Bu.”
“Ayo cepat susul dia!” kata Julia.
Sejenak si sopir berdiri kebingungan.
“Lho, nanti Pak Emil... ?”
“Sudah, susullah dia dulu! Sekarang!”
Tanpa membantah lagi Hadi pun segera melemparkan lapnya ke lantai begitu saja dan berlari ke arah Melani tadi berlari. (Gandhi, 2005: 133)

Kutipan di atas menceritakan tentang Hadi yang diperintah oleh Julia untuk mencari Melani yang lari dari rumah setelah bertengkar dengan ayahnya.
  1. Tokoh Julia Takra berhubungan dengan tokoh Sulika
Sulika merupakan pembantu rumah tangga Emil Musa yang telah lama bekerja untuk keluarga Emil. Tetapi sebelum bekerja untuk keluarga Emil Musa, Sulika telah lebih dulu bekerja pada keluarga orang tua Julia Takra sejak Julia Takra masih kecil. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Yu, aku tidak bisa mengizinkan Melani dipenjarakan!” kata Julia.
“Dan saya tidak akan mengizinkan Non yang dipenjarakan!” kata Sulika. “Saya yang merawat Non sejak kecil. Saya tidak mau Non yang saya sayang-sayang, masuk penjara untuk menolong orang lain, orang yang tak patut ditolong sama sekali!”
“Aku tahu Yu sangat sayang padaku dan aku merasa sangat bersyukur. Itulah sebabnya aku merasa lebih tenteram jika aku tahu Yu menungguku selama aku dipenjarakan.”
“Non tidak akan dipenjarakan!” kata Sulika. “Saya tidak akan mengizinkan itu! Saya akan lapor kepada polisi.” (Gandhi, 2005: 358-359)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Sulika sangat menyayangi Julia. Julia tidak ingin kalau sampai Melani dipenjara, jadi dia ingin melindungi Melani, sedangkan Sulika lebih tidak ingin kalau sampai Julia masuk penjara hanya untuk menolong Melani.
  1. Tokoh Julia Takra berhubungan dengan tokoh Kosasih dan Gozali
Kosasih dan Gozali adalah Kapten Polisi yang menangani kasus pembunuhan di dalam keluarga Julia Takra. Hal itu dapat dibuktikan dari kutipan di bawah ini.
“Ya. Itu sesuatu yang sungguh di luar bayangan saya,” kata Julia. “Untung Pak Kosasih dan Pak Gozali sudah memperkirakan hal itu akan terjadi sebelumnya. Seandainya tidak, Melani akan menjadi korbannya pula.”
“Setelah Pak Gozali mengeliminasi baik Anda maupun Nona Melani sebagai pembunuh Pak Emil Musa dan Bu Sulika, yang tersisa hanya ada satu alternatif, yaitu Saudara Hadi. Maka kami menjebaknya,” kata Kosasih. (Gandhi, 2005: 486)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa Kosasih menceritakan kepada Julia, saat kedua polisi itu menjebak Hadi, yang merupakan pembunuh dari Emil Musa dan pembantunya, Sulika.
  1. Tokoh Julia Takra berhubungan dengan tokoh Musa Darian dan Ny. Musa Darian
Musa Darian dan Ny. Musa Darian merupakan orang tua dari Emil Musa, sekaligus nenek dan kakek dari Melani. Hal tersebut terlihat pada kutipan di bawah ini.
Perempuan putih itu tampak tegar. Matanya memang sembap, tapi detik ini dia sama sekali tidak menangis. Dia menatap Julia dengan pandangan tidak senang.
Julia menjulurkan tangannya tanpa berkata apa-apa. Perempuan tua itu menyambut tangannya juga tanpa berkata apa-apa. (Gandhi, 2005: 230)

Pada kutipan di atas menceritakan saat Musa Darian dan Ny. Musa Darian datang ke Surabaya untuk datang ke acara pemakaman anaknya, Emil Musa. Dan pada saat akan memasuki rumah Emil Musa dia bertemu dengan Julia Takra. Mereka bersalaman tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
  1. Tokoh yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan
Tokoh Julia Takra sebagai tokoh utama novel ini merupakan tokoh yang paling banyak membutuhkan waktu penceritaan, karena pada dasarnya alur ceritanya mengarah pada peristiwa yang melekat pada diri Julia Takra. Peristiwa-peristiwa yang menyatakan bahwa Julia Takra paling banyak memerlukan waktu penceritaan, terdapat pada kutipan berikut ini.
“Mengapa kau selalu harus bersikap memerintah begini, Mil?” katanya meledak. “Memerintah! Mengancam! Memojokkan! Tidakkah kau bisa bicara dengan lebih halus? Tidakkah kau mau mempertimbangkan perasaan orang lain? Bilang ‘minta tolong’ atau bertanya ‘maukah kau?’ begitu tidak bisa? Kenapa setiap kalimatmu selalu ada kata ‘harus-harus-harus’?”
Terperangah, Emil Musa memandang kakak iparnya. Belum pernah dia melihat Julia bersikap segarang ini terhadapnya. Selama ini walaupun dia pernah menyaksikan Julia dan Febria bertengkar, Julia selalu bisa mengendalikan dirinya, tidak pernah bicara keras-keras, tidak pernah sambil melotot seperti sekarang ini. (Gandhi, 2005: 30)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Julia sangat membenci sikap Emil yang terlalu otoriter dan ingin selalu mengendalikan orang lain. Emil merasa kaget dengan perubahan sikap Julia yang belum pernah dilihatnya ini.
“Apa!” protes Alan begitu mendengar bahwa Julia sudah mengajukan permohonan untuk berhenti bekerja hari itu. “Tapi mengapa?”
“Melani membutuhkan aku, Al. Dia baru tujuh belas, dia membutuhkan perhatian seorang ibu,” jelas Julia.
“Suruh ayahnya mencarikan ibu baru untuknya! Kau bukan ibunya!” kata Alan.
“Al, jangan begitu. Ibunya baru saja meninggal lima hari yang lalu. Kok kau tega berkata begitu!” (Gandhi, 2005: 44)

Pada kutipan tersebut menunjukkan bahwa Alan Rahadian tidak setuju dengan pendapat Julia untuk berhenti bekerja dan mengurus keluarga Emil Musa.
“Kan aku sudah bilang, demi Melani! Dan jangan sangka aku kan tinggal serumah dengannya untuk selamanya. Tapi aku juga tidak akan segera angkat kaki sekarang begitu cepat setelah kematian Febi. Melani masih terguncang dan dia membutuhkan seseorang.” (Gandhi, 2005: 46)

Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa Julia Takra tidak berniat meninggalkan Melani setelah kematian Febria, tetapi dia juga tidak akan tinggal lama-lama di rumah Emil.
“Kenapa Melani, Mil?” tanyanya melihat gadis itu sudah tidak ada di tempatnya lagi.
“Aku tidak menyangka jika dia akan bereaksi seperti itu. Dia lari,” kata Emil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ke kamarnya?”
“Tidak, rasanya dia lari ke luar,”
“Ke luar? Astaga!” Julia segera menyusul ke pintu depan. Ternyata pintu depan rumah memang terbuka lebar dan Melani tak tampak batang hidungnya. (Gandhi, 2005: 133)

Pada kutipan di atas terlihat jelas bahwa Melani tidak setuju dengan keinginan ayahnya yang akan menikahi Tantenya sehingga Julia terpaksa mengejarnya saat Melani lari dari rumah.
“Tidak, pisau itu sudah ada di sana ketika saya menemukan Pak Emil. Dia tentunya telah memakai pisau itu untuk menusuk dirinya,” kata Julia.
“Itu yang aneh, Bu Julia,” kata Gozali menatap perempuan itu dengan tajam. “Pisau itu bukan senjata yang dipakai menusuk korban.”
Bukan?” tanya Julia terkesiap.
Gozali menggelengkan kepalanya.
“Oh!” kata Julia menutup mulutnya. Sinar panik tersorot dari pandangan matanya. (Gandhi, 2005: 213)

Pada kutipan di atas menjelaskan bahwa ternyata polisi sudah mulai mengetahui bahwa pisau yang digunakan untuk membunuh Emil Musa bukanlah pisau yang sebenarnya. Dan dari situ Julia mulai khawatir kalau polisi mulai mencurigai apabila sebenarnya Emil Musa tidak mati karena bunuh diri.
“Kalau mereka tidak percaya, piye, Non?” tanya Sulika.
“Maksudmu?”
“Kalau mereka bilang Tuan Emil dibunuh?”
Julia bungkam.
“Kalau sampai ada yang dituduh membunuh Tuan?”
Julia menghela napas panjang lagi.
“Kita pikirkan nanti saja kalau sudah sampai ke sana,” katanya. (Gandhi, 2005: 411)

Kutipan di atas menggambarkan ketakutan Sulika apabila polisi akan curiga tentang kematian Emil Musa yang tidak wajar.
“Lalu kau mau berbuat apa? Kau mau bilang kau yang membunuh Sulika? Polisi tak akan percaya itu. Mereka melihat betapa hancurnya perasaanmu tadi pagi. Kau tak punya alasan untuk membunuhnya. Dan tambahan pula, aku tak akan mengizinkan kau berbohong lagi untuk Melani! Sekarang ceritakan, bagaimana dia membunuh Emil.”
“Aku... aku tidak tahu. sewaktu aku pulang dari berbelanja, aku mendengar mereka bertengkar di kamar Melani. Tiba-tiba pintu terbuka dan Melani lari keluar. Aku memanggilnya, tapi dia tidak berhenti. Dia membuka pintu dan lari keluar rumah. Aku takut dia minggat lagi seperti tempo hari, jadi kukejar dia, tapi aku kehilangan jejaknya. Ketika aku kembali, dia... Emil sudah meninggal.”
“Di mana?”
“Di kamar Melani.” (Gandhi, 2005: 411)

Kutipan tersebut menceritakan saat Julia Takra menceritakan kejadian yang sesungguhnya pada Alan Rahadian, saat dia menemukan Emil Musa sudah tidak bernyawa di kamar Melani. Dan untuk itu, Alan tidak mengizinkan lagi Julia berbohong lagi untuk menyelamatkan Melani.
  1. Tokoh Bawahan
Tokoh tambahan adalah tokoh yang pemunculannya dalam cerita lebih sedikit, tidak terlalu dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama. Adapun tokoh tambahan dalam novel ini adalah Febria Musa, Melani, Ir. Emil Musa, Musa Darian, Ny. Musa Darian, , Alan Rahardian, Hadi Santoso, Sulika, Kapten Polisi Kosasih dan Gozali.
Febria adalah tokoh tambahan. Kehadiran dalam keseluruhan cerita paling sedikit dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain. Kehadirannya hanya mucul sedikit di awal cerita, sebagai pembuka. Febria merupakan adik kandung Julia Takra yang meninggalkan suami dan anaknya pergi ke alam baka akibat terkena aliran listrik di kamar mandi. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
Pertengkaran mereka berlangsung lama dan pedas malam itu. Pertengkaran itu di akhiri dengan Julia mengatakan lebih baik dia angkat kaki dari rumah Febria saja, dan Febria menuduh Julia tidak tahu berterima kasih, setelah didampingi tanpa reserve di masa susahnya, sekarang justru berbalik mendatangkan malu kepada orang yang membantunya. Itulah komunikasinya yang terakhir dengan Febria. Berikutnya dia melihat Febria, adiknya sudah mati di kamar mandinya. (Gandhi, 2005: 21)

Pada kutipan berikut terlihat jika sebelum Febria ditemukan meninggal di kamar mandinya, Julia Takra sempat bertengkar hebat dengan Febria. Pertengkaran itu dipicu karena keinginan Julia untuk bekerja kembali untuk mengisi waktu. Tetapi Fabri menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh kakaknya akan mendatangkan malu bagi keluarganya.
Melani merupakan tokoh tambahan. Kehadirannya dalam keseluruhan cerita lebih sedikit dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitan dengan tokoh utama. Tokoh Melani muncul di bagian awal sampai akhir cerita. Melani merupakan anak dari almarhum adik kandungnya, Febria, sehingga kehadirannya sangat membantu tokoh utama. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Tante kan memang bekerja,” kata Melani.
“Ya. Tapai Tante bersedia berhenti bekerja untuk menemanimu jika itu yang kau inginkan. Jika tidak, Tante akan bekerja seperti biasa dan kita hanya bertemu sore hari.”
Di luar dugaan Melani melemparkan lengannya memeluk Julia.
“Aku ingin Tante di sini,” katanya. “Enggak enak selalu makan sendirian.” (Gandhi, 2005: 43)

Dari kutipan di atas dapat ditunjukkan bahwa tokoh utama Julia Takra sangat menyayangi keponakannya, paham terhadap kondisi Melani yang selalu kesepian di rumah tanpa ada yang menemani.
Melani mempunyai keterkaitan terhadap tokoh utama, hingga pada akhirnya mereka semakin saling mengerti setelah banyak peristiwa-peristiwa yang mereka alami bersama yang menjadikan tekanan batin terhadap keduanya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Ya. Oom Alan kan punya rumah sendiri. Tapi jangan khawatir, rumahmu ini akan aku rawat dan pelihara supaya selalu berada dalam keadaan baik sampai nanti kuserahkan kembali ke tanganmu.”
“Aku pasti kembali, Tante,” kata Melani. (Gandhi, 2005: 495)

Dari kutipan di atas tokoh Julia Takra berjanji walaupun dia akan menikah dengan Alan Rahadian, tetapi dia akan tetap merawat rumah Melani sampai Melani pulang dari studinya di Bandung.
Ir. Emil Musa merupakan tokoh tambahan. Kehadiran dalam keseluruhan cerita hanya terjadi pada awal cerita sampai pertengahan cerita. Emil Musa adalah suami Febria dan ayah dari Melani, sehingga kehadirannya sangat membantu tokoh utama. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Dengan nada yang begitu otoriter, dengan gaya yang begitu memerintah, iparnya ini berani menyuruhya berhenti bekerja untuk mengurus rumah tangganya! Kurang ajar! Memangnya dia menganggap aku ini apa? Budaknya? Pegawainya? (Gandhi, 2005: 27)
Pada kutipan berikut terlihat bahwa Emil ingin agar Julia berhenti bekerja untuk mengatur rumah tangganya setelah ditinggalkan oleh Febria.tetapi bagi Julia, apa yang dilakukan oleh Emil merupakan suatu penghinaan, seperti menganggap Julia sebagai bawahannya yang gampang untuk diperintah.
Emil mempuyai keterkaitan terhadap tokoh utama. Emil ingin mempersunting Julia menjadi istrinya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
“Sudahkah kau membicarakan ini dengan Melani?”
“Dia pasti menyambutnya dengan gembira, Jul.”
“Begini saja,” kata Julia mengangkat pantantnya dari sofa. “Kau bicara dulu dengan Melani. Aku mau tahu apa pendapatnya. Aku baru akan memikirkannya jika dia menyatakan setuju.”
“Dia pasti setuju, Jul.” (Gandhi, 2005: 128)

Dari kutipan tersbut dapat dilihat bahwa Emil menyatakan ingin menikahi Julia Takra. Tapi Julia Takra tidak setuju begitu saja. Dia memberi syarat jika Melani mau menerimanya menjadi ibu pengganti Febria, maka Julia Takra akan memikirkannya.
Alan Rahadian merupakan tokoh tambahan. Keterkaitannya dengan tokoh utama sangat jelas terlihat. Tokoh ini mempunyai keterlibatan dari cerita di awal hingga akhir. Alan Rahadian merupakan tokoh yang dekat dengan tokoh utama dan juga menjadi pembantu di setiap peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tokoh utama. Semua itu jelas terlihata pada kutipan di bawah ini.
Kunjungan Alan menjadi semakin sering ke rumah Febria. Julia pun mulai terbiasa dengan kehadiran laki-laki ini. Jika tadinya dia muncul setiap dua bulan sekali, sekarang bisa setiap bulan sekali, yang terakhir menjadi setiap dua bulan sekali. Alan pun sudah dianggap sebagai teman keluarga. (Gandhi, 2005: 15)

Pada kutipan di atas terlihata bahwa Alan Rahadian muncul di awal cerita. Setelah mulai kenal dengan sosok tokoh utama, Alan mulai sering bertandang ke rumah Febria, untuk menemui Julia Takra.
Alan mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan tokoh utama sampai pada akhir cerita. Hal tersebut ditunjukkan pada kutipan berikut.
“Aku sama sekali belum menyinggung hal itu dengannya. Aku takut membuatnya shock atau apa. Walaupun sudah sadar, sebagian besar waktunya dia hanya berbaring dengan mata terpejam. Aku tak tahu apakah di memang tidur atau hanya tak ingin memandangku.”
“Mungkin dia merasa masih lemah dan memerlukan istirahat,” kata Alan. “ Begitu pula kau. Sekarang kau kuantarkan pulang dan kau langsung pergi tidur.” (Gandhi, 2005: 470-471)

Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa Julia sangat memikirkan keadaan Melani yang masih terbaring di rumah sakit, tetapi Alan Rahadian lebih mengkhawatirkan kesehatan Julia Takra yang klihatan lelah setelah menunggu Melani seharian.
Sulika merupakan tokoh tambahan. Kehadiran pada cerita hanya terlihat jika ada keterkaitan dengan tokoh utama. Tokoh Sulika terlihat pada sebagian cerita, yaitu dari awal cerita hingga menuju ke pertengahan cerita. Sulika merupakan pembantu rumah tangga. Keterkaitan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Ah, Non Kecil biasa begitu, kok kayak Non Juli enggak tahu aja. Setiap kali kalau dimarahi mamanya sedikit aja, dia ngmbek ngunci pintu kamarnya. Anak zaman sekarang tidak tahu sopan santun.” Sulika tak pernah mengubah kebiasaan lamanya membahasakan Julia dengan sebutan Non Juli seperti ketika dia pertama kali datang bekerja sebagai pembantu di rumah orangtua Juli dulu, walau pun sekarang Julia sudah mendekati empat puluh tahun dan sudah jelas bukan seorang nona lagi. (Gandhi, 2005: 76-77)
Pada kutipan tersebut menjelaskan ketika Sulika menceritakan tentang kedekatan Sulika dengan tokoh utama, yang sudah terjalin mulai Julia Takra kecil hingga berusia sekitar empat puluh tahun, tetapi Sulika masih saja memanggil Julia dengan kata “Non”.
Sulika merupakan tokoh yang paling dekat dengan tokoh utama. Keterkaitan hubungannya dengan tokoh utama sangat jelas terlihat pada kutipan berikut ini.
“Non tidak akan dipenjarakan!” kata Sulika. “Saya tidak mengizinkan itu! Saya akan lapor kepada polisi.”
“Sudahlah, Yu, hal ini tak perlu kita ributkan lagi. Sekarang pekerjaan kita sudah selesai, yuk kita pergi tidur,” kata Julia. Dia menepuk bahu Sulika lalu keluar dari dapur. “Ah, Non Kecil biasa begitu, kok kayak Non Juli enggak tahu aja. Setiap kali kalau dimarahi mamanya sedikit aja, dia ngmbek ngunci pintu kamarnya. Anak zaman sekarang tidak tahu sopan santun.” (Gandhi, 2005: 359)

Kutipan tersebut terlihat bahwa Sulika sangat menyayangi Julia Takra. Sampai pada akhir cerita sebelum ditemukan meninggal, dia tetap tidak menginginkan Julia Takra sampai ditangkap oleh polisi.
Kosasih dan Gozali merupakan tokoh tambahan pada cerita tersebut. Hubungan dengan tokoh utama mulai terlihat pada bagian pertengahan sampai akhir cerita. Kehadirannya mulai terlihat ketika terjadi pembunuhan di rumah Emil Musa. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Kosasih berpaling kepada Gozali dan tersenyum. Gozali mengangguk kecil lalu katanya kepada Julia, “Kalau begitu izinkan saya yang mengajukan pertanyaan. Kapan terakhir kalinya Anda bertemu dengan korban?”
“Kemarin pagi, sebelum Pak Emil berangkat ke kantor,” kata Julia. Ada sesuatu pada sikap Gozali yang membuatnya khawatir. Sesuau yang terpancar dari tatapan matanya membuat Julia merinding. (Gandhi, 2005: 203-204)

Pada kutipan tersebut jelas terlihat saat Julia Takra diinterogasi oleh kedua polisi tersebut tentang keterkaitannya dengan pembunuhan Emil Musa, yang terjadi di rumahnya. Saat ditanya oleh kedua polisi terebut, Julia merasa sedikit takut apabila semua kebohongannya akan terkuak.
Kedua tokoh Kapten polisi tersbut cukup memberikan suatu manfaat yang besar pada kehidupan sang tokoh utama, karena semua keterkaitan konflik yang dialami Julia Takra penyelesaiannya sangat bergantung pada hasil analisis dari Kosasih dan Gozali. Hal tersebut terlihat pada kutipan di bawah ini.
“Mengapa lalu saya dilepaskan?” tanya Julia.
“Karena tak ada noda darah di pakaian Anda,” kata Kosasih. “Pak Gozali yang mengemukakan fakta ini. Seandainya Anda menusuk Pak Emil lima kali, pasti pakaian Anda akan terkena darah. Kami mengecek dan ternyata Anda memakai pakaian yang sama sore itu dengan pakaian yang Anda kenakan sewaktu saya tiba.” (Gandhi, 2005: 478)

Jika dilihat pada kutipan berikut menjelaskan tentang proses hasil analisis dari penyelidikan Kosasiah dan Gozali tentang tidak ditemukannya noda darah pada baju yang dikenakan Julia saat peristiwa pembunuhan yang menimpa Emil Musa itu terjadi, sehingga dengan adanya bukti kuat itu akhirnya polisi melepasakn Julia dari jeratan hukum.
Hadi Santoso merupakan tokoh tambahan. Keterkaitannya dengan tokoh utama terlihat dari awal menuju ke pertengahan akhir cerita. Hadi Santoso adalah sopir yang bekerja di rumah Ir. Emil Musa, yang keterlibatannya dengan tokoh utama cukup membantu. Hal itu dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
“Hadi, mana Melani?” tanya Julia kepada sopir Emil yang sedang melap mobil di halaman.
“Barusan lari keluar, Bu.”
“Ayo, cepat susul dia!” kata Julia. (Gandhi, 2005: 133)

Pada kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh utama sangat bergantung pada Hadi Santoso, terutama saat Melani pergi dari rumah setelah bertengkar dengan ayahnya.
Hadi Santoso merupakan tokoh yang menjadi pusat konflik dan permasalahan yang terjadi pada hidup tokoh utama, karena Melani ternyata merupakan kekasih Hadi. Julia Takra dan keluarga yang lain tidak menyetujui hubungan mereka. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini.
“Di,” kata Julia kepadanya. “Terima kasih atas perhatianmu. Tapi saya minta kau jangan menjenguknya lagi. Saya rasa lebih baik baginya jika dia tidak melihatmu lagi.”
“Ya, Bu, saya mengerti,” kata Hadi mengangguk. “Saya juga mau minta maaf atas kejadian ini. Kalau hari Sabtu itu, saya tidak menyuruhnya pulang, kecelakaan ini tidak sampai terjadi.” (Gandhi, 2005: 426)

Kutipan di atas menjelaskan tentang adanya larangan Julia Takra kepada Hadi untuk bertemu dengen Melani. Keputsan tersebut diambil, setelah banyak perubahan pada sikap Melani yang labil. Hadi pun merasa bersalah dan berusaha minta maaf pada Julia atas semua peristiwa yang terjadi pada Melani, sampai menyebabkan Melani dilarikan ke rumah sakit akibat kecelakaan.
Musa Darian dan Ny. Musa Darian merupakan tokoh tambahan. Pada cerita tersebut, kedua pasangan suami istri tersebut cukup membantu tokoh utama untuk ikut menyelesaikan masalah yang dialami tokoh utama. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Wah, orang ini memang keterlaluan,” kata Musa Darian. “Keterlaluan kejam hatinya. Membunuh orang yang sama sekali tidak tahu apa-apa.”
“Tentu saja dia kejam,” kata Nyonya Musa Darian yang entah mengapa sejak kecelakaan Melani telah berubah menjadi lebih lembut dan sabar. “Dia tega mau membunuh Melani juga! Padahal dia mengaku mencintainya!” (Gandhi, 2005: 486)

Pada kutipan tersebut terlihat bahwa saat semua kejahatan yang dilakukan oleh Hadi Santoso terbukti, Musa Darian tidak menyangka bahwa seorang sopir tega melakukan hal tersebut sedangkan Ny. Musa Darian simpatik dengan apa yang terjadi pada cucunya.
  1. Penokohan
Penokohan atau perwatakan ialah pelukisan mengenai tokoh cerita; baik keadaan lahirnya maupun batinnnya yang dapat berupa: pandangan hidup, sikap, keyakinan, adat istiadat dan sebagainya. Penokohan dapat disajikan secara langsung (analitik) maupun secara tidak langsung (dramatik). Berikut ini adalah penggambaran masing-masing tokoh yang diungkapkan oleh pengarang.
  1. Julia Takra
Penokohan Julia Takra diungkapkan pengarang secara analitik sebagai tokoh yang mempunyai sikap yang tertutup. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut ini.
Julia yang dua tahun lebih tua, orangnya lebih introver, kaem kalau boleh dikatakan dingin. Dia sangat jarang mengutarakan perasaannya. Semua disimpannya di dalam hati. Tapi dia keras kepala, sangat keras kepala. Pada akhirnya dia selalu melaksanakan apa yang selalu diputuskannya dan tak pernah ada orang yang bisa membelokkan keinginannya sekali dia membuat keputusan. (Gandhi, 2005: 12)

Dari kutipan di atas dapat terlihat bahwa Julia Takra mempuyai jiwa yang kokoh tetapi sangat tertutup. Dia tidak mau mengungkapkan pa yang dirasakan kepada orang lain. Tetapi walaupun tertutup, apa yang menjadi keinginannya, harus segera dikerjakan dan tidak ada yang dapat mencegahnya.
Selain itu tokoh Julia Takra juga diperkuat secara analitik oleh tokoh bawahan, yaitu Sulika. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
“Ah, tidak! Non Juli itu anak yang paling baik, tidak pernah ngambek-ngambek begitu. Kalau dikasih tahu juga nurut, tidak banyak tingkah. Diam tidak banyak bicara yang macem-macem. Makanya Non yang jadi kesayangan orang serumah.” (Gandhi, 2005: 77)

Penokohan Julia Takra diungkapkan pengarang secara dramatik sebagai tokoh yang mempunyai rasa pengertian yang tinggi, penyayang terhadap saudara dan juga cukup humoris. Semua itu dijelaskan pada kutipan berikut.
“Kalau kau memang lebih suka ditemani, aku akan berhenti bekerja. Asal saja jangan setelah satu bulan kau jadi bosan keseringan melihatku.”
“Enggak.” Kata Melani mempererat pelukannya.
“Selama ini, sebetulnya rumah terasa begitu sepi setiap aku pulang sekolah, karena Mama jarang ada.”
“Bagus,” kata Julia. “Kalau begitu aku akan mohon kepada bosku, dan setelah itu kita bisa melakukan banyak hal bersama-sama. Kau suka itu?”
Melani mengangguk. Kali ini suatu senyuman tulus merekah di bibirnya. (Gandhi, 2005: 43)

Pada kutipan tersebut di atas menjelaskan Julia Takra mempunyai rasa kasih sayang yang besar terhadap keponakannya, yang telah ditinggalkan oleh ibunya. Ternyata rasa itu disambut baik oleh Melani yang ternyata memang butuh teman untuk berbagi.
Jadi, dari kutipan-kutipan di atas dapat dilihat bahwa sang pengarang menggambarkan sosok Julia Takra dengan karakter yang sangat kuat, antara satu sifat dan sifat yang lainnya. Dapat disimpulkan bahwa Julia Takra adalah seorang yang mempunyai perasaan lembut, penuh kasih sayang terhadap siapapun dan mau berkorban untuk orang-orang yang disayanginy. Sehingga tidak heran, pembantunya pun juga mengatakan hal yang baik untuk perilaku Julia yang selama ini dikenalnya.
  1. Melani
Penokohan Melani diungkapkan secara analitik, sebagai tokoh yang yang memiliki postur yang cukup proporsional sebagai seorang perempuan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut
Dia berperawakan tinggi seperti ibu dan bibinya. Pada usianya yang tujuh belas tahun ini dia sudah lebih tinggi sedikit daripada Julia yang punya ukuran tinggi 1,65 meter, dan Melani masih terus akan tumbuh. Febria selalu khawatir jangan-jangan anak gadisnya ini akhirnya akan tumbuh terlalu tinggi sehingga kelak akan susah mencari pasangan yang serasi. (Gandhi, 2005: 34).


Dalam kutipan di atas secara analitik memperlihatkan keadaan fisik Melani, yang tingginya sudah melebihi bibinya. Bahkan dari keluarganya takut akan pertumbuhan Melani yang semakin tumbuh, sehingga keluraga cukup khawatir jika nantinya akan susah mendapatkan jodoh.
Sedangkan penokohan yang diungkapkan terhadap tokoh Melani melalui segi dramatik adalah sebagai seorang yang berjiwa tegar tetapi ada kalanya juga hatinya mudah rapu, seperti terlihat pada kutipan berikut ini.
Melani mengangkat wajahnya. Ada air yang mengambang di pelupuk matanya. Ini suatu kejutan bagi Julia. Gadis itu tidak mudah menangis, tetapi sekarang setelah tahu bahwa Julia berpacaran dengan Alan, dia menangis! (Gandhi, 2005: 74-75)

Pada kutipan tersebut terlihat jika jiwa Melani tetap seorang perempuan yang mempunyai perasaan, walaupun dari luar dia terlihat tegar, tetapi jauh di hatinya dapat juga merasakan sedih, terutama ketika orang yang paling dekat dengannya dirasa akan menjauh dan memilih orang lain.
Dapat disimpulkan pada penggambaran penokohan Melani, pengarang mengungkapkan sebagai seorang yang keras seperti ayahnya, tetapi di balik itu tersimpan kelembutan pada perasaannya.
  1. Emil Musa
Penokohan seorang Emil Musa digambarkan pengarang sebagai seorang yang memiliki kekuasaan, sehingga menganggap orang lain lebih rendah dan dapat diatur sesuka hatinya. Penggambaran tersebut diungkapkan pengarang secara analitik seperti berikut ini.
“Kita harus bicara,” kata Emil memberikan isyarat dengan kepalanya supaya Julia keluar mengikutinya. Tak ada ucapan “Selamat pagi” atau apa. Dengan Emil Musa, tak pernah ada basa-basi. Orangnya kaku. Omongnya tidak banyak, tapi kalau ngomong, selalu suka memakai nada memerintah. (Gandhi, 2005: 25)

Pada kutipan tersebut jelas terlihat jika Emil Musa digambarkan sebagai seorang yang otoriter dan tidak mengetahui cara untuk berlaku lebih kepada orang lain, bahkan kepada kakak iparnya sendiri. Semuanya dianggap sama olehnya.
Selain penggambaran secara analaitik, penulis mengungkapkan penokohan Emil Musa secara dramatik, dengan sifat yang jauh ebih baik, setelah ada orang yang bisa merubahnya secara tidak langsung. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
“Rengkuhlah dia ke dalam pelukanmu, Jul. Kau sendiri telah kehilangan anakmu. Sekarang Melani kehilangan ibunya. Anggaplah dia sebagai anakmu sendiri.”
“Akan kupikirkan,” kata Julia berdiri dari duduknya.
“Jul, aku sekarang memohonmu. Bicaraku tadi mungkin kasar dan aku minta maaf. Sekarang aku memohonmu,” kata Emil berdiri dari sofanya. (Gandhi, 2005: 32-33)

Kutipan tersebut cukup menggambarkan sosok Emil yang berubah setelah adanya ketulusan pada diri Julia yang membuatnya mampu mengesampingkan ego yang terdapat di dalam hatinya. Dari seseorang yang memiliki jiwa yang keras dan terlalu kolot menjadi seseorang yang mampu memohon dan mengcapkan kata “maaf”, yang mungkin tak pernah terlintas sebelumnya.
Jadi, penggambaran yang diungkapkan pengarang secara analitik dan dramatik, bahwa Emil Musa merupakan sosok yang mempunyai rasa otoriter yang tinggi, suka memerintah, tidak mengerti perasaan orang lain. Tapi di balik itu semua, hati Julia Takra secara tidak sengaja dapat meluluhkan hatinya yang keras bagaikan batu menjadi lembut dan mulai merubah semua sikap negatifnya.
  1. Alan Rahadian
Pada sosok Alan Rahadian digambarkan oleh pengarang sebagai seorang yang berhati besar dan rela berkorban demi orang yang dicintainya, yaitu Julia Takra. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
“Oh, Al, pengorbananmu sungguh besar. Kau ikut menderita gara-gara semua ini,” kata Julia.
“Selama aku tahu kau sehat dan aman, hatiku tenteram, jangan mengkhawatirkan diriku. Aku laki-laki. Bersandarlah di bahuku,” kata Alan. (Gandhi, 2005: 424)

Kutipan tersebut menjelaskan bagaimana rasa sayang yang diberikan oleh Alan Rahadian kepada Julia Takra. WalaupunAlan harus menderita, tetapi baginya melihat Julia baik-baik saja adalah hal yang paling melegakan hatinya.
Penokohan terhadap Alan Rahadian, juga digambarkan oleh pengarang secara dramatik. Pengarang menggambarkan tokoh Alan Rahadian selain seorang yang penyayang juga pekerja keras dan teratur. Hal ini terlihat pad kutipan di bawah.
Seperti kebiasaannya setiap hari, Alan Rahadian pasti mengecek pekerjaan anak buahnya di pasar. Seperti kebiasaanya pula dia meninggalkan kantornya di kawasan industrial estate Rungkut sekitar pukul sepuluh. Hari ini sasarannya adalah daerah pertokoan di Mayjen Soengkono. (Gandhi, 2005: 263)

Terlihat pada kutipan berikut, Alan mempunyai suatu kebiasaaan yang sudah sering dilakukannya, yaitu pada saat bekerja dia selalu mengecek pekerjaan anak buahnya ke pabrik-pabrik dan pada saat itu dia mengecek di daerah kawasan industrial estate.
Jadi, secara analitik maupun dramatik, tokoh Alan digambarkan oleh pengarang sebagai seseorang yang memiliki jiwa besar, penyayang, pekerja keras dan hidupnya selalu terarah dan teratur.
  1. Hadi Santoso
Penokohan yang digambarkan pada sosok Hadi Santoso secara analitik adalah sebagai seorang yang baik dan telaten, di mata majikannya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Barangkali Bu Juli mau memeriksa keadaan peralatan mobil dulu sebelum saya pulang?” kata Hadi.”Supaya tahu kalau semuanya saya tinggalkan lengkap dan dalam keadaan baik.”
“Sudah, saya percaya padamu,” kata Julia tersenyum sedikit, merasa sayang sopir sebaik ini harus diganti.
“Baik, Bu. Nanti kunci pintu garasi saya letakkan di meja dapur,” kata Hadi.
“Ya. Terima kasih atas bantuanmu, Di.” (Gandhi, 2005: 354)

Penggambaran yang terlihat pada kutipan di atas adalah Julia Takra sangat percaya terhadap Hadi Santoso, yang memang pada dasarnya di mata Julia Takra seorang Hadi Santoso dipandang baik, memiliki integritas yang tinggi, dan jarang melakukan kesalahan.
Penggambaran secara dramatik juga diungkapkan pengarang. Penokohan seorang Hadi Santoso digambarkan sebagai seorang yang rajin dan pekerja keras dalam bekerja. Hal itu dapat dibuktikan pada kutipan di bawah ini.
“Eh, Bu, kalau mobilnya hari ini sudah tidak dipakai, mau saya bawa ke bengkel. Sudah waktunya unutk mengganti oli. Nanti dari bengkel saja, baru saya ke kantor,” usul Hadi masih tetap sopan. (Gandhi, 2005: 330).

Terlihat pada kutipan di atas Hadi merupakan seseorang yang rajin dan selalu teratur menjalankan semua pekerjaanya. Dia sadar bahwa sebagai seorang sopir harus berperilaku sopan terhadap majikannya.
Jadi, pada keseluruhan penggambaran tokoh Hadi Santoso, merupakan seseorang yang demi pekerjaan yang diembannya, dia akan melakukan dengan sepenuh hati, ulet, sopan dan telaten.
  1. Sulika
Secara dramatik, pengarang juga menggambarkan penokohan pada sosok Sulika, pembantu rumah tangga. Penokohan Sulika terlihat sebagai seorang yang penyayang dan baik. Semua itu diungkapkan oleh Julia Takra secara langsung, seperti pada kutipan berikut ini.
“Tidak! Itu tidak benar! Dan aku tidak akan mengizinkan dia yang menanggung aib itu! Yu Sulika adalah orang yang baik, dia bukan seorang pembunuh! Dia tidak membunuh Emil! Dia hanya menulis itu karena dia sayang padaku. Dia seperti ibuku, kakakku. Akulah satu-satunya orang yang dianggap keluarganya. Dia mau menyelamatkanku, tapi aku tidak bisa membiarkan dia menyandang predikat sebagai seorang pembunuh,” kata Julia menangis. (Gandhi, 2005: 377)

Pada kutipan tersebut, terlihat bahwa Julia sangat menyayangi Sulika seperti Sulika menyayanginya. Julia telah menganggap Sulika sebagai seorang ibu sekaligus kakak baginya. Ketika Sulika diduga bunuh diri setelah dianggap sebagai pelaku pembunuhan majikannya sendiri, Julia Takra tidak percaya. Dia merasa bahwa Sulika menyelamatkannya agar Julia tidak ditangkap polisi.
Pada panggambaran secara dramatik, Sulika digambarkan pengarang sebagai orang yang perhatian terhadap Julia Takra, orang yang paling disayanginya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
Satu-satunya orang yang menyambut kedatangan Julia dengan gembira adalah Sulika. Begitu tiba di dalam rumah, kedua perempuan itupun berpelukan tanpa berbicara. Lalu Sulika memegang siku Julia dan membimbingnya masuk ke dalam kamarnya.
“Non duduk di sini. Saya ambilkan makan dulu,” kata Sulika setelah Julia duduk diatas tempat tidurnya. (Gandhi, 2005: 301)

Kutipan tersebut menjelaskan ketika Julia telah pulang setelah diinterogasi oleh polisi seharian, hanya Sulika dengan rasa sayangnya langsung perhatian mengajak Julia untuk beristirahat dan menyuruh Julia untuk masuk ke kamarnya, sedangkan Sulika menggambil minum untuknya, agar Julia tenang.
Dapat disimpulkan pada penokohan Sulika sebagai seorang yang baik dan penyayang serta perhatian, terutama kepada Julia Takra.
  1. Kosasih dan Gozali
Penokohan pada kedua Kapten polisi itu diungkapkan pengarang secara analitik dan dramatik. Secara analitik, pengarang menggambarkan sosok mereka sebagai seorang yang mempunyai pendirian teguh, terutama terlihat pada sikap Gozali. Seperti pada kutipan berikut.
“Kita dengarkan dulu apa kata si sopir Hadi ini,” kata Gozali.
Kosasih bangkit dari kursinya.
“Oke, oke. Kau kalau sudah punya kemauan, tidak bisa dicegah. Aku tak bakalan bisa tidur malam ini kalau kita tidak bicara dengan si Hadi itu sekarang,” gerutunya. (Gandhi, 2005: 292)

Pada kutipan berikut, terlihat pada Gozali tidak mudah percaya dengan analisis yang sebelumnya telah dibuatnya. Dia ingin lebih mengumpulkan fakta-fakta baru untuk menuntaskan kasus pembunuhan yang sedang ditanganinya. Seperti halnya Gozali, Kosasih pun juga memiliki sikap yang sama.
Secara dramatik, pengarang menggambarkan sosok Kosasih sebagai seorang yang setia dan sayang terhadap keluarga dan tidak menuntut, seperti terlihat pada kutipan berikut.
“Ya, lain kali, kalau Bambang dan Ari mau menghabiskan, ya biarkan saja to, Bu. Mereka yang muda-muda yang masih membutuhkan gizi tinggi. Biar aku disisain kaldunya saja, sudah cukup. Asal ada sambal aku sudah bisa makan lahap.”
“Bapak yang kerja keras menghidupi keluarga kok malah disisain hanya kaldunya itu gimana,” kata Dessy. (Gandhi, 2005: 288)

“Wah, kalau bapakmu ini tidak bakalan lari,” kata Kosasih menepuk dadanya. “Biar ibumu langsing atau gemuk seperti Bu Irma, Bapak tetap mencintainya, namanya sudah menjadi istrinya puluhan tahun.” (Gandhi, 2005: 289)

Dilihat pada kutipan berikut, bahwa Kosasih sangat sayang terhadap anak-anaknya. Walaupun Kosasih merupakan satu-satunya orang yang bekerja mencari nafkah untuk keluarga, tapi dia tidak menuntut macam-macam pada keluarganya, bahkan dalam soal masakan. Dia tidak masalah kalau setiap pulang, dia hanya makan dengan kaldu, yang penting baginya adalah anaknya sehat, serta digambarkan sebagai seorang yang setia.
Jika diambil kesimpulan pada penggambaran penokohan Gozali dan Kosasih, dapat dilihat bahwa masing-masing tokoh hampir mempunyai perwatakan yang sama yaitu sangat berhati-hati, berpendirian teguh, teliti, sayang dan penyayang.
  1. Musa Darian dan Ny. Musa Darian
Penokohan Musa Darian dan Ny. Musa Darian diungkapkan pengarang secara analitik sebagai tokoh yang mempuyai simpati yang besar, penyabar dan lembut. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah.
“Wah, orang ini memang keterlaluan,” kata Musa Darian. “Keterlaluan kejam hatinya. Membunuh orang yang sama sekali tidak tahu apa-apa.”
“Tentu saja dia kejam,” kata Nyonya Musa Darian yang entah mengapa sejak kecelakaan Melani telah berubah menjadi lebih lembut dan sabar. (Gandhi, 2005: 486)

Kutipan berikut menjelaskan saat polisi mulai membongkar modus pembunuhan yang dilakukan oleh Hadi. Walaupun Ny. Musa Darian merasa kecewa dengan sikap Hadi, tetapi dia tetap terkesan lembut dan sabar menghadapi kenyataan, bahwa yang membunuh anak kandungnya, adalah sopirnya sendiri.
Penokohan Musa Darian dan Ny. Musa Darian diungkapkan pengarang secara dramatik dilihat pada sikap tokoh tersebut yang sedikit saling bertolak belakang. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Tapi aku tidak rela...” si nenek tidak mau mengalah.
“Kalau kau mau tinggal di sini untuk sementara juga boleh,” potong Musa Darian lagi. “Mugkin memang lebih baik begitu. Melani kan jarang bertemu kita. Tinggallah di sini supaya Melani bisa akrab dengan neneknya. Biar aku yang kembali ke Bandung sendiri.” (Gandhi, 2005: 240)

Dalam kutipan di atas menerangkan tentang adannya perbedaan pendapat antara pasangan suami istri. Ny. Musa Darian tidak mau mengalah apabila nantinya Melani harus tetap tinggal di Bandung, setelah menjadi yatim piatu, tetapi Musa Darian kiranya lebih menyarankan agar neneknya tinggal untuk sementara waktu di Surabaya agar cucunya lebih mengenal neneknya lebih lama. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Musa Darian memiliki watak sabar dan simpati. Sedangkan istrinya memiliki watak tidak mau mengalah, tapi terkadang tetap dapat sabar dan lembut.
  1. Latar dan setting
Latar disebut juga setting, yaitu tempat atau waktu terjadinya cerita. Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.


  1. Latar Tempat
Latar tempat merupakan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin inisial tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat bersangkutan.
Rumah Emil Musa adalah tempat sentral yang sering diungkapkan di dalam novel ini. Diantaranya terdapat pada kutipan berikut ini.
Julia sedang ngobrol dengan Sulika di dapur sambil menyediakan sarapan pagi ketika Insinyur Emil Musa menongolkan kepalanya di sana. (Gandhi, 2005: 25)

Pukul setengah delapan malam ketika Melani tidak mucul di meja makan, Julia bangkit dari kursinya dan mengetuk pintu kamar gadis itu. (Gandhi, 2005: 33)

Kamar ini kecil saja, hanya berukuran dua kali tiga meter persegi. Sebuah tempat tidur menempel di dinding. Seprainya tampak sudah kusut, bekas ditiduri. Di kolongnya berjajar rapi sepasang sandal jepit. (Gandhi, 2005: 365)

Pada ketiga kutipan novel di atas masing-masing menceritakan tempat yang saat itu digunakan. Kutipan pertama menjelaskan bahwa saat Emil Musa melongokkan kepala untuk memanggil Julia, Julia dan sulika sedang mengobrol bersama. Pada kutipan kedua menjelaskan saat Julia memanggil Melani makan malam, setelah melihat gadis itu belum duduk di kursi makannya. Pada kutipan ketiga, terlihat di kamar tidurnya. Sehingga pada ketiga kutipan tersebut, menjelaskan bahwa semua kejadian berada di dalam rumah.
Pinggir jalan di kota Surabaya, menujukkan latar terjadinya peristiwa kejar-kejaran antara Melani dan sopir. Hal itu dibuktikan pada penggalan kutipan di bawah ini.
Nasibnya ternyata mujur , karena tak lama setelah itu, tak jauh di depannya dia melihat gadis itu berjalan dengan lunglai di pinggir jalan. Hadi segera memerintahkan kakinya yang sudah capek itu untuk memperpendek jarak antara tempatnya dengan si gadis di depan. Begitu terkejar, dia segera memegang pangkal lengan gadis itu dari belakang. (Gandhi, 2005: 137)

Pada kutipan tersebut menjelaskan saat Hadi mengejar Melani, setelah dia kabur dari rumahnya karena bertengkar dengan Emil Musa. Dan saat Hadi sudah menemukan gadis yag dikejarnya, akhirnya dia tidak mengulur waktu lagi, dia lansung memegang lengan Melani agar tidak lari lagi karena kakinya juga sudah capek, setelah cukup lama mencari dan mengejarnya.
Hotel kelas empat merupakan tempat yang dituju oleh para pemuda pemudi untuk saling bercinta, begitu juga Melani dan sopirnya. Semua itu dapat secara tersirat terlihat pada kutipan berikut ini.
“Aku masih senang bersama Mas di sini,” kata si gadis malah memegang lengan lelaki itu erat-erat. Dahinya masih berkeringat. AC butut yang mengeluarkan dengung keras di kamar itu sama sekali tidak mendinginkan ruangan, sebaliknya justru membuatnya semakin pengap oleh bau keringat bermacam-macam manusia penyewa kamar itu yang terperangkap di dalamnya. (Gandhi, 2005: 160)

Dari kutipan di atas dapat ditunjukkan latar tempat Melani dan sopirnya berhubungan layaknya suami istri. Disitu diceritakan di tempat yang sempit, dengan AC yang sudah mulai usang, Melani yang masih ingin berlama-lama berada di kamar hotel itu dengan Hadi, setelah melakukan persetubuhan bersama.
Tunjungan Plaza, merupakan mall tempat Julia Taka membeli barang kebutuhan sehari-hari. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Julia tidak sadar berapa lama dia sudah berjalan keluar-masuk toko di Tunjungan Plaza. Dia ingin membelikan sesuatu untuk Melani, untuk menyenangkan hati gadis itu. Sehelai baju baru barangkali bisa mencairkan hati gadis itu, pikirnya. (Gandhi, 2005: 176)

Pada kutipan tersebut terlihat bahwa Julia Takra berada di sana untuk membelikan Melani baju, agar kemarahan Melani terhadapnya sedikit mereda, sampai lupa waktu.
Surabaya adalah kota titik sentral dari seluruh cerita. Dan latar itu secara langsung dipaparkan pada kutipan di bawah ini.
Sejenak lamanya Hadi tidak bersuara. Mereka sudah keluar dari arus lalu lintas yang padat dan sekarang mobil sedang meluncur di daerah pemukiman elite di kota satelit Surabaya. Pukul setengah sepuluh begini daerah ini sudah sepi karena para pemukim yang ke kantor atau ke sekolah sudah berangkat, sehingga lalu lintas di daerah ini lengang. (Gandhi, 2005: 315)

Pada kutipan tersebut, secara tersirat menggambarkan letak dari seluruh cerita tersebut dilakukan. Di kota elite yang pada jam setengah sepuluh pagi, biasanya orang-orang telah sibuk dengan urusan mereka masing-masing dan Hadi membawa Melani berjalan-jalan ke sana. Saat itu Melani tidak berangkat sekolah pasca kematian ayahnya.
Jalan Pasar Kembang merupakan jalan yang ada di salah satu kota Surabaya sekaligus tempat Moris Harjanto lewat saat itu. Hal tersebut dapat diperjelas pada kutipan berikut.
“Siang itu saya datang dari Jalan Diponegoro masuk ke Jalan Pasar Kembang. Jalanan macet karena ada pikep yang mogok di tengah jalan. Saya duduk di dalam mobil sambil menengok ke kanan dan ke kiri, menunggu lalu lintas bergerak kembali. Kebetulan posisi mobil saya ada di sebelah kiri jalan, dan saya berhenti tepat di depan hotel murah ini.” (Gandhi, 2005: 446).

Pada kutipan tersebut jelas bahwaMoris Harjanto melewati sedang menjelaskan posisinya saat itu, saat dia melihat Melani dan sopirnya keluar dari hotel murah yang ditempati mereka untuk bercinta. Sekaligus latar ini menjelaskan letak keberadaan hotel tersebut.
Rumah Sakit merupakan tempat Melani dirawat pasca kecelakaan yang terjadi padanya. Hal itu secara langsung diungkapkan pada kutipan berikut ini.
Suasana di rumah sakit sudah sepi. Jam di dinding tengah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Kamar-kamar pasien sudah gelap. Hanya di ujung lorong yang terang, tempat meja suster-suster yang berdinas malam berjaga. Di sana pun sepi, hanya tampak seorang suster yang duduk di meja sambil menulis. (Gandhi, 2005: 471)

Pada kutipan tersebut menggambarkan secara meluas keadaan rumah sakit tempat Melani dirawat, dengan penjagaan yang cukup oleh suster-suster jaga di rumah sakit tersebut pada malam hari.
Dari semua analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa latar tempat dalam novel ini adalah sebagian besar berada di rumah Emil Musa, hotel yang berada di Jalan Pasar Kembang, di pinggir jalan kota Surabaya, Mall Tunjungan Plaza, Rumah Sakit.
  1. Latar Waktu

Latar Waktu, berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah. Masalah waktu dalam karya naratif bermakna ganda, di satu pihak menyaran pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan di pihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu terjadinya dan dikisahkan dalam cerita.
  1. Waktu pagi hari
Terdapat dua kutipan yang manunjukkan waktu di pagi hari. Yang pertama, ketika Emil Musa menunggu Melani di meja makan, tetapi Julia sengaja tidak berada di ruang makan untuk memberikan kebebasan kepada ayah dan anak itu berbicara empat mata. Kutipan yang kedua, menjelaskan ketika Julia sangat senang menjadi orang pertama yang bangun di pagi hari. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan di bawah ini.
Rabu, 8 Juli
Pagi ini sengaja Julia tidak muncul di meja makan setelah Sulika menyiapkan sarapan. Julia menyibukkan dirinya di dapur dan mengobrol dengan pembantu setianya.
Emil Musa melirik arlojinya dengan tidak sabar. Karena sekolah libur, Melani tidak bangun seperti biasanya. Apalagi semalam dia sudah tidur lebih malam daripada biasanya juga. (Gandhi, 2005: 130)
Seperti biasanya Julia bangun pukul setengah enam. Dia selalu senang menjadi orang pertama yang bangun di rumah itu. Enak rasanya menjadi yang pertama mandi pagi-pagi. Segar dan nikmat. (Gandhi, 2005: 360)

Pada kedua kutipan tersebut menjelaskan tentang kejadian di waktu pagi pada hari Rabu tanggal 8 Juli yang menunjukkan saat Julia dengan sengaja berada menyibukkan diri di dapur bersama pembantunya agar Emil dan Melani nantinya dapat berbicara dengan leluasa. Kutipan yang lain menjelaskan tentang Julia yang saat itu paling pagi bangun dan sangat senang bisa mandi pertama karena merasa sangat segar dan nikmat.
  1. Waktu siang hari
Latar waktu di siang hari di dalam cerita tersebut terlihat pada saat Julia menghadiri acara pemakaman Febria dan latar kedua menunjukkan saat Kosasih dan Gozali datang ke rumah Julia Takra untuk menginterogasi dan menyidik lebih lanjut yang berkaitan dengan dengan kematian Emil Musa. Berikut kutipan yang menunjukkan latar waktu tersebut.
Kamis, 7 Mei
Hari yang panas. Matahari bersinar terang benderang. Menyengat tanpa ampun orang-orang yang tidak berteduh di bawah naungan pepohonan, lindungan atap atau payung. Di bawah sepatunya, gumpalan-gumpalan tanah yang tidak merata membuatnya susah untuk berdiri dengan kokoh. Apalagi dirinya sedang memeluk Melani yang bersandar lemas padanya. (Gandhi, 2005: 9)

Ketika Kosasih dan Gozali siang itu tiba di rumah keluarga Emil Musa almarhum, mereka melihat orang-orang Labkrim sudah datang dan sedang menyidik rumah itu. (Gandhi, 2005: 9)

Pada kedua kutipan di atas menunjukkan latar waktu siang hari. Pada kutipan pertama menunjukkan pada hari kamis, tanggal 7 Mei, saat Julia mengantarkan kepergian adiknya Febria yang telah dipanggil Tuhan yang juga merupakan awal dari cerita tersebut, dan saat itu dia juga sedang berusaha untuk menenangkan Melani yang jelas tampak berduka. Sedangkan pada kutipan kedua menunjukkan bahwa Kapten Kosasih dan Gozali bertemu dengan orang Labkrim yang sedang menyidik kasus pembunuhan Emil Musa dan Sulika.
  1. Waktu sore hari
Latar waktu yang terlihat di waktu sore hari, terlihat saat Julia lupa waktu saat memilih baju untuk Melani dan terlihat pada waktu Kosasih dan Gozali pergi ke kamar Melani untuk menanyakan tentang keadaan Melani. Hal tersebut jelas terlihat pada kutipan berikut ini.
Julia sedikit terkejut ketika dia melirik arlojinya dan menyadari bahwa hari sudah pukul lima. Dan dia belum belanja di supermarket! (Gandhi, 2005: 176)

“Selamat sore,” kata Kosasih menyapa semua.
Julia mengangguk, Alan tersenyum sedikit, dan Dirham menjawab “Selamat sore, Pak.”
“Bagaiman kedaan Nona Melani hari ini?” tanya Kosasih.
“Masih belum sadar, Pak,” kata Dirham. (Gandhi, 2005: 427)

Pada kutipan waktu tersebut menjelaskan bahwa Julia sampai lupa waktu karena asyik memilihkan baju untuk Melani dan ketika dia melihat arlojinya, ternyata dia sadar bahwa dia belum berbelanja. Pada kutipan yang lain menunjukkan waktu sore hari, Kosasih dan Gozali berada di rumah sakit, untuk menjenguk Melani serta ingin bertanya tentang kecelakaan yang menimpanya.
  1. Waktu malam hari
Latar malam hari pada kutipan cerita tersebut ditunjukkan pada waktu tengah malam Julia mendapati Melani masih belum tidur, karena masih terdengar suara televisi dari ruang tengah dan kutipan yang lain tentang Sulika yang merasa cemas dengan keadaan Julia yang belum pulang dari kantor polisi. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
Dia membuka pintu kamar dan pergi ke ruang tengah dari mana terdengar suara ramai televisi.
“Lani, ayo tidur,” kata Julia, “sudah pukul sebelas.”
“Sebentar, Tante, sebentar lagi filmnya habis.”
“Pukul berapa filmnya habis?” tanya Julia.
“Sekitar setengah dua belas.”
(Gandhi, 2005: 116)

“Tantemu kok belum pulang?” kata Sulika tanpa basa-basi. “Ini sudah hampir pukul delapan malam”
“Tahu!” kata Melani acuh tak acuh.
“Tadi siang perginya bersama polisi-polisi itu?”
“Ya.”
“Diinterogasi barangkali.”(Gandhi, 2005: 293)

Kutipan di atas menunjukkan latar waktu di tengah malam saat Melani sedang melihat televisi, sehingga Julia memperingatkan agar Melani segera tidur, tetapi Melani menolak dengan alasan filmnya akan segera selesai sebentar lagi dan yang kedua memperlihatkan tentang kecemasan Sulika menunggu Julia belum pulang dari kantor polisi untuk diinterogasi.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dari analisis di atas terdapat latar waktu yang diceritakan mulai tanggal 7 Mei, hari jumat dan juga latar waktu dari pagi, siang, sore dan malam.
  1. Latar Sosial
Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau atas. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial, adat istiadat, cara hidup, bahasa dan berkaitan tempat serta waktu yang melatari peristiwa.
Julia mempunyai beda pandangan cara hidup dengan Febria. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Dia tak suka mendengarkan gosip mereka, tak suka mendengarkan pertukaran informasi mereka mengenai kebiasaan buruk suami masing-masing, dan lebih tak suka lagi melihat cara mereka saling memamerkan kekayaan. (Gandhi, 2005: 17)

Perbedaan latar sosial yang terjadi antara Julia Takra dan Febria sangat tercermin pada kutipan di atas. Julia yang lebih senang menyediakan waktu sepenuhnya untuk keluarganya ketimbang harus hidup berhura-nura menghabiskan uang dengan para istri-istri pejabat.
Latar Sosial yang sangat bertentangan antara Sulika yang menganggap bahwa perkawinan hanya sebatas undian, terlihat pada kutipan di bawah ini.
“Tidak. Kalau memang ada yang hidupnya senang, itu saya anggap dapat lotre. Kebetulan. Mungkin satu dalam seribu. Tapi tidak banyak yang bisa begitu. Kebanyakan Cuma pura-pura bahagia, menutup-nutupi kebobrokan suaminya saja supaya tidak malu ketahuan orang luar. Kalau memang jujur, sebetulnya mereka juga punya sakit hati dan penyesalan yang bertumpuk-tumpuk. Saya tahu.”
“Masa tho, Yu? Yang bahagia ya memang bahagia betul. Seperti Mas Adam dan aku, kami bahagia betul. Begitu juga Bapak dan Ibu dulu. Kan tetap rukun, sampai tua, sampai meninggalnya.” (Gandhi, 2005: 84)

Pada kutipan tersebut, terlihat bahwa adanya perbedaan pandangan kelompok sosial, yaitu Sulika tidak sependapat dengan Julia. Sulika menganggap bahwa perkawinan dipandang hanya sebagai lotre. Jika mempunyai nasib baik, berarti akan mendapat kebahagiaan. Anggapan Sulika didasarkan pada kegagalannnya menjalin ikatan resmi dengan pria yang salah di kampungnya.
Hidup sebagai seorang yang digaji oleh majikan adalah harus menuruti apapun yang diperintahkan oleh tuannya. Latar sosial tersebut yang membedakan antara kehidupan Julia dan Hadi, seperti terlihat pada kutipan berikut.
“Ada Bu. Baiklah, saya cari lagi,” kata Hadi menahan kejengkelannya. Namanya jadi orang gajian, ya apa pun perintah atasanterpaksa harus dituruti. Memang sebagai sopir sebetulnya tidak termasuk tugasnya mengejar anak majikan yang lari, tapi kalau dia menolak, berarti dia tak akan bertahan lama di sana. (Gandhi, 2005: 136-137)

Pada kutipan di atas menjelaskan adanya perbedaan status sosial antara Hadi dan Julia. bahwa Hadi cukup jengkel dengan Julia yang tidak memberinya waktu untuk istirahat mencari Melani, karena Julia takut Hadi akan kehilangan jejak Melani. Tapi Hadi juga sebenarnya sudah lelah mecari Melani yang lari dari rumah. Walaupun itu bukan tugas seorang sopir, tapi karena dia digaji majikannya maka hal itu pun harus dilakukannya.
Perbedaan yang mencolok pada latar sosial juga terjadi pada tokoh Melani dan Hadi. Hal tersebut dapat terlihat pada kutipan berikut.
“Lan, kau ini tidak sadar apa yang kau bicarakan! Seumur hidup kau tidak pernah melarat. Tidak pernah merasakan lapar, tidak pernah merasakan tidak punya apa-apa. Kau tinggal di rumah besar, nyaman, sejuk, yang mewah. Kau punya pakaian bagus, uang untuk jajan lebih dari cukup, ke mana-mana kau diantarkan mobil, pokoknya kau hidup dalam sagala kenikmatan. Lha kalu tiba-tiba kau harus tidur di balai-balai yang sempit, hanya beralaskan tikar, berteduh di rumah rompok yang tidak ber-AC, yang mungkin bocor waktu hujan, yang listriknya byar-pet, yang kalau mandi harus di kamar mandi umum, lalu kalau makan juga Cuma dengan nasi yang keras dan lauknya sekadar tahu-tempe atau ikan asin setiap harinya, apa ya bisa kau menjalaninya?” (Gandhi, 2005: 168)

Kutipan tersebut jelas menggambarkan tentang perbedaan status sosial antara kehidupan Melani dan Hadi. Hadi yang sedari kecil selalu dilingkupi dengan kesusahan, mengingatkan Melani bahwa kehidupannya serba kekurangan dan kehidupan itu berbanding terbalik dengan Melani yang pada dasarnya dari kecil selalu bergelimangan harta. Jadi Hadi merasa yakin bahwa Melani tidak akan sanggup hidup kekurangan bersamanya.
Status sosial yang dihadapi Hadi tidak hanya ditunjukkan kepada majikannya saja, tetapi juga pada Kosasih dan Gozali. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
Seorang laki-laki berusia sekitar akhir dua puluhan mendekat. Dia masuk ke dalam rumah dengan sedikit membungkuk, tanda hormat kepada orang-orang yang dianggapnya lebih tinggi derajatnya daripada dirinya sendiri.
“Nama Anda?” tanya Kosasih.
“Hadi Santoso,” katanya sambil tersenyum sedikit. (Gandhi, 2005: 227)

Pada kutipan di atas menunjukkan adanya perbedaan status sosial antara Hadi dan Kapten polisi, yaitu ditunjukkan dengan cara Hadi juga berlaku sopan dan tunduk pada petugas kepolisian. Saat dia dipanggil untuk diinterogasi oleh polisi, dia membungkuk hormat sebagai tanda ucapan permisi kepada pihak kepolisian.
Penggambaran keadaan yang terlihat di bidang bisnis terlihat di kantor Emil, seperti pada kutipan berikut.
“Musuh?” tanya Dirham dengan alis terangkat seakan-akan kata tersebut tidak pernah disengarnya sama sekali.
“Katakanlah seorang saingan, seorang kompetitor yang ingin menjatuhkannya atau punya dendam terhadapnya begitu,” kata Kosasih.
“Kompetitor tentu saja banyak. Mana ada bisnis yang tidak ada kompetitornya? Itu kan monopoli namanya, iya enggak? Kompetitor itu banyak, Pak.” (Gandhi, 2005: 242)

Kutipan tersebut jelas menjelaskan bahwa latar sosial keadaan masyarakat di bidang bisnis, hal yang paling mendasari sebuah bisnis tersebut lancar atau tidak beragantung pada persaingan. Dan di perusahaan Emil Musa, kompetitor adalah hal yang biasa.
Cara hidup yang sederhana terlihat pada kehidupan keluarga Kosasih, yang memandang semua hal harus disikapi dengan adil. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Ya, lain kali, kalau Bambang dan Ari mau menghabiskan, ya biarkan saja to, Bu. Mereka yang muda-muda yang masih membutuhkan gizi tinggi. Biar aku disisain kaldunya saja, sudah cukup. Asal ada sambal aku sudah bisa makan lahap.”
“Bapak yang kerja keras menghidupi keluarga, kok malah disisain hanya kaldunya itu gimana,” kata Dessy. “Ya harus bagi-bagi yang adil, supaya semua merasakan. Lagi pula kalau si Ari diturutin, jangankan rawon sepanci, dua panci juga masuk ke perutnya.” (Gandhi, 2005: 288)

Dari kutipan tersebut menjelaskan bahwa kehidupan yang dijalani oleh keluarga Kosasih merupakan keluarga yang rukun penyayang satu sama lain. Apapun bentuknya harus dibagi dengan adil, tidak terkecuali dengan hal masakan.
Pemuda pemudi zaman sekarang berbeda dengan yang dulu. Dulu hanya dengan diberi bentuk pengertian saja, anak sudah menurut dan tahu harus bagaimana, tetapi sekarang sungguh berbanding terbalik, seperti terlihat pada kutipan berikut ini.
“Sudah dikerasi begitu masih seperti ini?” tanya Musa Darian tidak percaya.
Anak zaman sekarang itu lain dengan anak zaman dulu, Pak. Tidak bisa didikte begitu saja. Mereka harus diberi pengertian mengapa begini, mengapa begitu. Mereka sudah tidak mau disuruh menurut buta begitu saja.” (Gandhi, 2005: 311)

Pada kutipan tersebut menunjukkan bahwa Melani adalah jenis anak yang hidup di masa sekarang. Semua hal yang diberikan padanya harus mengandung dasar yang jelas, sehingga mereka mau untuk mulai mempertimbangkan apa yang akan dilakukannya.
Sebagai seorang yang mempunyai jabatan tertinggi, tidak selayaknya berlaku semena-mena terhadap jabatannya, sehingga memperlakukan orang lain lebih rendah dibanding dirinya. Seperti itulah prinsip yang diterapkan oleh Kosasih. Hal tersebut diperjelas pada kutipan di bawah ini.
“Terima kasih, Anda bersedia meluangkan waktu untuk bertemu dengan kami,” kata Kosasih. Biasanya polisi ya tak bakalan mengucapkan terima kasih kepada orang yang mau dimintainya keterangan, tapi Kosasih berpendapat sikap yang positif itu munculnya timbal balik. Kalau dia berharap seorang seorang saksi akan bersikap positif terhadapnya, lebih dulu dia sendiri harus menunjukkan sikap yang positif juga kepada orang tersebut. Bukannya mentang-mentang polisi, lalu memperlakukan semua orang seakan-akan mereka itu penjahat semuanya. (Gandhi, 2005: 444)

Pada kutipan tersebut menjelaskan bahwa Kosasih sangat menghargai siapapun, tidak terkecuali para saksi yang dianggap cukup memberikan bantuan pada penyelidikannya. Hal ini cukup memberikan kesan positif bahwa kalau ingin dihargai haruslah menghargai orang lain terlebih dahulu.
Kehidupan orang dulu dan sekarang sangatlah berubah, orang dulu terkesan kolot. Hal itu diungkapkan Julia pada Melani seperti berikut ini.
“Kau yang pandai-pandai membawa diri di sana, oke?” kata Julia memeluknya erat-erat. “Ingatlah selalu bahwa nenek dan kakekmu sesungguhnya mencintaimu. Hanya saja mereka sudah tua dan berasal dari zaman yang berbeda. Mereka punya cara berpikir yang lain, punya kebiasaan yang lain. Seperti kayu yang sudah tua, mereka sukar dibengkokkan.”
“Kau yang muda. Cara berpikirmu lebih maju, matamu lebih terbuka, jadi kau yang harus pintar beradaptasi kepada cara-cara mereka, oke?” (Gandhi, 2005: 491)

Pada kutipan tersebut menjelaskan bahwa Julia Takra sedang memberi nasihat pada Melani, untuk pintar membawa diri pada kehidupan nenek dan kakeknya. Perbedaan pandangan bisa saja terjadi, yang pasti sebagai orang yang lebih muda mau mendengarkan dan mengerti orang yang lebih tua, terutama jika mempunyai kebiasaan dan cara hidup yang sudah tidak dapat dirubah lagi, seperti nenek dan kakeknya yang hidup pada zaman yang berbeda.
Dapat disimpulkan dari analisis-analisis di atas bahwa latar sosial yang terdapat pada cerita tersebut adalah perbedaan cara hidup antara Julia Takra yang lebih mementingkan keluarga dengan adiknya, Febria yang glamour, perbedaan status sosial antara Hadi dan Melani, antara Hadi dan Julia, antara Hadi dan Kosasih, perbedaan pandangan kelompok sosial antara zaman dulu dan sekarang, latar sosial keadaan masyarakat di bidang bisnis, cara hidup sederhana di dalam keluarga Kosasih.
  1. Gerak Progresi
Gerak Progresi adalah dinamika proses yang mengarahkan seseorang untuk selalu bergerak menuju ke arah realisasi diri, sehingga pada kehidupan sadarnya dia dapat bergerak maju ke arah yang lebih baik. Dengan proses penyesuaian yang positif, akan mengarahkan diri pada suatu keseimbangan untuk mengontrol diri pada cara berpikir dan bertindak secara rasional, sehingga mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
Kehilangan seluruh anggota keluarga secara berturut-turut adalah hal yang paling menyakitkan. Tekanan batin itulah yang dirasakan oleh Julia Takra, seperti terlihat pada kutipan di bawah ini.
Beribu bayangan muncul lagi dalam benak Julia, menari-nari hilang dan pergi seperti slide iklan di bioskop. Hari ini dia berdiri di sini untuk mengantarkan kepergian adiknya ke alam baka. Adiknya merupakan orang kelima yang terdekat dengannya sudah mendahuluinya.
Julia tidak tahu dari mana dia mendapat kekuatan dan ketabahan untuk melewati tragedi yang sekaligus merenggut nyawa suami dan anak saatu-satunya yang paling dicintainya itu. Tapi toh dia survive. Hidupnya berlanjut terus dan dia madih sempat mengubur ayahnya tahun yang lalu. Dan sekarang adiknya, Febria. Mati pada usia tiga puluh tujuh tahun. Konyol! Satu demi satu orang-orang yang terdekat dengannya meninggalkannya. Satu persatu keluarganya pindah ke alam baka. Transmigrasi. (Gandhi, 2005: 11)

Kutipan di atas menjelaskan tentang perjuangan Julia Takra yang tetap bertahan hidup sehingga sanggup melawan kesedihan dan kehilangan akibat ditinggalkan oleh orang-orang yang disayanginya. Julia harus menerima kenyataan, bahwa dia telah ditinggalkan oleh kedua orangtuanya, suami, anak dan yang terakhir Febria, adik kandungnya.
Setelah Julia dapat mengatasi kesedihan dan kegalauan hatinya, dia mulai mampu untuk memikirkan masa yang akan datang yang harus dihadapinya. Hal itu terlihat pada kutipan berikut.
Bekerja apa saja tak jadi soal. Julia bukannya mengejar nafkah. Tidak. Dia punya penghasilan yang lebih dari cukup. Dari perusahaan ayahnya yang sekarang dikelola oleh Emil Musa, setiap tahun dia menerima pembagian keuntungan yang lebih dari cukup untuk kebutuhannya sendiri. Jadi Julia tidak butuh pemasukan yang lain lagi. Dia butuh kesibukan. Dia butuh pegangan. Dia butuh sesuatu yang bisa disebutnya sebagai tujuannya untuk bangun setiap pagi. Dia butuh merasa dibutuhkan. Dia butuh merasa punya arti sebagai manusia. Dia butuh melakukan sesuatu yang bermanfaat. Duduk bertopang dagu di rumah adiknya atau pergi berhura-hura sepanjang hari tak lagi cukup baginya. Dia ingin memiliki sesuatu dalam hidupnya yang disebutnya sebagai miliknya sendiri. (Gandhi, 2005:17-18)

Dari kutipan berikut terlihat bahwa Julia berusaha untuk menata kembali hidupnya agar dia tidak terus berlarut dalam kesendirian dan dia memutuskan untuk bekerja. Yang ia butuhkan bukanlah uang, tapi kesibukan yang bisa melepaskan dirinya dari lingkup kesedihan. Yang seakan pekerjaan itu membutuhkan dirinya, memerlukannya untuk terus bersamanya, tanpa meluangkan waktu untuknya dalam pikiran-pikiran yang membawanya larut pada keputus asaan.
Suatu proses kesadaran yang mengarahkan Julia untuk bisa mengorbankan dirinya demi orang yang masih membutuhkannya adalah suatu bentuk aktualiasasi diri. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
“Melani bukannya membutuhkan perawatan fisik, tapi lebih bersifat perhatian terhadap perkembangan mentalnya. Kehilangan seorang ibu pada usia semuda dia, meninggalkan trauma tersendiri, Al. Apalagi kematian Febi begitu mendadak. Dia membutuhkan seseorang untuk mengisi tempat itu supaya tidak merasa tertinggal seorang diri”.
“Jadi kau yang berkorban?” kata Alan penasaran.
“Febi telah mengulurkan tangannya kepadaku ketika aku kehilangan keluargaku, Al. Apa yang kulakukan untuknya hanyalah sedikit balasanku untuknya.” (Gandhi, 2005: 45)

Pada kutipan berikut, jelas membuktikan bahwa Julia sangat menyayangi Melani, yang sekiranya merupakan satu-satunya keluarganya yang masih membutuhkannya. Dia menjelaskan kepada Alan Rahadian, bahwa dia berniat untuk merawat Mealni dan membesarkannya, karena yakin Melani sangat membutuhkan kasih sayang dan belaian seorang perempuan dewasa semenjak diinggalkan oleh ibu kandungnya.
Hal tersebut diperkuat dengan penjelasan Julia seperti di bawah ini.
“Kan aku sudah bilang, demi Melani! Dan jangan sangka aku kan tinggal serumah dengannya untuk selamanya. Tapi aku juga tidak akan segera angkat kaki sekarang begitu cepat setelah kematian Febi. Melani masih terguncang dan dia membutuhkan seseorang.” (Gandhi, 2005: 46)

Kutipan tersebut, memperjelas kutipan sebelumnya, yaitu Julia sangat ingin merawat Melani seperti anak kandungnya sendiri. Sebagai seorang perempuan, dia merasa jiwanya terpanggil untuk bisa memberikan kasih sayang kepada orang yang lebih membutuhkan dan Melani lah yang untuk saat ini, dirasa masih membutuhkannya. Walaupun dia harus mengorbankan dirinya, menurutnya itu pantas dia lakukan.
Setelah menjelaskan semua alasannya kepada Alan, akhirnya Alan mengerti dan memahami keinginan Julia. Kehidupan Julia sudah mulai membaik. Dia sudah mulai bisa merasakan kembali kehidupan yang pernah hilang. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Hampir sebulan telah lewat sejak Julia menjadi ibu rumah tangga Emil Musa. Hari-harinya sekarang diisi oleh kesibukan seorang ibu rumah tangga. Bukan karena Sulika tiba-tiba tidak sanggup lagi mengerjakan tugas-tugasnya sendiri, tetapi Julia yang sudah lima tahun tidak menjadi ibu rumah tangga, merasa bersemangat dan antusias melakukan hal-hal yang sedari dulu suka dilakukannya. Baru sekarang dia sadar betapa rindunya dia sudah pada kesibukan seorang ibu rumah tangga. Dia senang belanja ke pasar senang untuk menentukan menu makanan keluarga, senang membuatkan jajan untuk Melani, senang membersihkan dan merawat seisi rumah. Setalah hampir sebulan sia merasa barang-barang itu sudah seperti miliknya sendiri, dan di hatinya timbul suatu kebanggaan melihat semuanya terawat baik. Julia menjadi lebih hidup, lebih semarak, dan lebih cerah daripada sebelumnya. (Gandhi, 2005: 65)

Dari kutipan tersebut menjelaskan betapa semangatnya Julia menjalani hari-harinya di rumah keluarga Emil Musa. Dia merasa jiwa keibuannya mulai terpanggil untuk bisa mengerjakan semuanya sendiri, dan kebanggaan tersendiri bisa melakukannya. Dia seakan menganggap rumah itu seperti miliknya sendiri. Proses kemajuan yang dia harapkan jelas tergambar dari cara dia melakukan semuanya dengan lebih baik dari sebelumnya.
Sebagai suatu puncak agar tidak kembali kepada kesalahan yang sama, yaitu tidak mengulanginya lagi. Itulah proses progresi yang dapat menggambarkan sosok kehidupan perkawinan Sulika, seperti yang tergambar pada kutipan berikut ini.
“Tiga tahun kemudian dia kembali ke rumah orang tua Julia. Perkawinannya sudah berakhir, suaminya lari dengan perempuan lain, dan Sulika yang ditinggalkan sebagai janda tanpa anak ini ingin bekerja kembali. Empat tahun dia ikut membesarkan kedua anak gadis majikannya, Julai dan Febria, lalu untuk kedua kalinya Sulika menikah. Kali ini dengan sopir tetangga sebelah rumah. Tapi perkawinan inipun tidak bertahan lama. Dua tahun kemudian Sulika kembali lagi ke rumah bekas majikannya. Uang simpanannya habis, badannya babak belur. Ternyata suaminya itu bukan saja tukang judi, tapi juga ringan tangan-kalau pulang kalah main, istrinya yang jadi sasaran. Pengalaman ini mengakhiri keinginan Sulika untuk berumah tangga sendiri. Dia membenci laki-laki dan dia merasa bisa hidup lebih enak dan tenteram bersama majikannya. (Gandhi, 2005: 77-78)

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Sulika sangat membenci laki-laki. Karena selama berumah tangga hidupnya sangat tidak layak. Maka dia memutuskan diri untuk tidak mau berumah tangga lagi dan lebih memilih untuk kembali bekerja di rumah majikannya yang dulu dan hidup seorang diri, daripada harus hidup susah dengan laki-laki yang hanya akan mengajaknya sengsara.
Harapan untuk terus maju untuk mencapai proses pada gerak maju yang dilakukan Sulika sangat kuat. Seperti yang tergambar pada kutipan berikut ini.
“Ya saya bekerja selama masih bisa bekerja Non. Saya ikut Non selama Non masih mau. Kalau sudah tidak kuat bekerja ya saya pulang ke desa, masukin tabungan saya ke bank, tiap bulan hidup dari bunganya. Setelah tidak punya suami begini, tabungan saya banyak tidak dihabiskan laki-laki untuk main judi. Besok tua tidak usah khawatir tidak punya uang.” (Gandhi, 2005: 82)

Pada kutipan tersebut jelas menggambarkan bahwa Sulika sudah berniat bulat untuk tidak lahi hidup berumah tangga. Walaupun nantinya dia sudah tidak kuat bekerja lagi, dia berniat untuk kembali ke desanya dan akan hidup di sana dengan hasil jerih payahnya untuk menyambut masa tua.
Proses Progresi ditunjukkan dengan kesetiaan Alan Rahadian untuk menunggu Julia. Hal tersebut diperjelas dengan kutipan di bawah ini.
“Tapi aku tidak termasuk golongan laki-laki yang busuk itu, Jul. Sudah hampir empat tahun ini aku tidak punya pacar. Aku tidak berkencan dengan perempuan mana pun. Itu karena setelah aku mengenalmu, aku mencintai dirimu. Aku menunggumu. Aku menuggu kau pulih dari traumamu dan siap untuk menjalin suatu hubungan baru. Aku sudah membuktikan bahwa aku bisa setia kepadamu selama empat tahun ini tanpa ada komitmen apa pun diantara kita......” (Gandhi, 2005: 99)

Pada kutipan tersebut menjelaskan bahwa Alan Rahdian, sudah bukan lagi Alan yang dulu, yang selalu mau berkencan dengan banyak perempuan. Dia berubah untuk mendapatkan hati Julia Takra. Dengan kesabaran, dia menunggu Julia pulih dari rasa truma untuk membina hubungan lagi. dia ingin agar Julia tahu bahwa dia serius untuk membina hubungan dengan Julia. proses ingin bergerak maju, dan tidak kembali ke kehidupan yang lama adalh jalan yang dipilih oleh Alan.
Tapi sepertinya harapan Alan sia-sia. Semua orang tidak menyetujui hubungannya dengan Julia, salah satunya Melani. Sehingga Julia pun akhirnya mengorbankan perasaannya untuk tidak lagi menerima Alan masuk ke dalam kehidupannya. Dan sepertinya, setelah hal itu dilakukan arah kehidupan di rumah keluarga Emil Musa mulai kembali normal, seperti yang digambarkan pada kutipan berikut.
Kehidupan di rumah Insinyur Emil Musa pun kembali ke irama semula. Lebih tenang kini setelah seluruh penghuni tahu biang keladi problem mereka sudah tersingkir. Bahkan atmosfernya sudah begitu baik sampai-sampai bisa disebut hangat. Tak ada lagi pertengkaran di meja makan, tak ada lagi yang ngambek mengunci dirinya di kamar, semua orang sopan, semua orang tersenyum, semua orang tampaknya puas dengan keadaan. (Gandhi, 2005: 105-106)

Kutipan di atas menunjukkan secara dramatik penggambaran kehidupan keluarga Emil Musa yang mulai ke arah yang lebih baik. Sejak Alan sudah tidak lagi “mengganggu” kehidupan di rumah itu, seakan pertengkaran yang sering terjadi menguap begitu saja, semua orang sudah mulai berlanu seperti biasa, seperti halnya Melani, yang sudah tidak lagi mengurung dirinya di dalam kamar karena tidak setuju dengan hubungan yang dijalin Julia dengan Alan.
Proses progresi yang begitu besar ternyata terlihat jelas pada diri Emil Musa. Seorang yang kehidupannya selalu dipenuhi dengan keangkuhan dan otoritas, sekarang menjadi begitu perhatian, seperti yang terlihat pada kutipan berikut.
“Wah, kau ini bagaimana! Masa lupa! Ini kan hari ulang tahun tantemu!” kata Emil Musa.
“Oh ya?” kata Melani segera bangkit dari duduknya dan memberikan suatu pelukan hangat kepada Julia. “Selamat ulang tahun, Tante,” katanya. “Semoga panjang umur!”
“Terima kasih.” kata Julia betul-betul kaget. Dia tidak pernah menduga Emil Musa bisa ingat ini hari ulang tahunnya. Dia bahkan tidak menduga bakal ada manusia yang ingat.
“Dan ini dari kami, Melani dan aku,” kata Emil meletakkan sebuah bungkusan kecil di atas meja. “Sekadar tanda mata betapa aku dan Melani mensyukuri kehadiranmu disini.”
Julia menganga. Ini betul-betul suatu kejutan. Dulu hanya Febi yang ingat ulang tahunnya. Pada tahun-tahunnya. Pada tahun-tahun yang lalu, setiap ualng tahunnya Febi membelikan sesuatu untuknya. Emil Musa dan Melani Cuma mengucapkan “Selamat Ulang Tahun” setelah diingatkan oleh Febi. (Gandhi, 2005: 106-107)

Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Emil Musa yang dmenurut Julia, bukanlah orang yang dengan mudah mengingat hari penting orang lain, sekarang secara mengejutkan dia memberikan kejutan pada Julia dengan mengucapkan “Selamat Ulang Tahun”.
Perubahan sikap yang lebih baik yang ditunjukkan Emil bukan hanya berhenti di situ, karena setelah kejutan pertama datang, Emil mulai mengajak Julia dan Melani untuk makan di luar. Hal tersbut terlihat pada kutipan berikut ini.
Makan malam ternyata berjalan mulus. Emil Musa membawa mereka ke sebuah restoran seafood., tempat mereka bisa memilih sendiri bahan mentah yang mereka inginkan. Sepanjamg malam Emil bersikap gentleman dan penuh perhatian. Bagi orang-orang yang tidak mengenal mereka, mereka sudah persis seperti sebuah keluarga, suami-istri dan anak gadis mereka yang sudah remaja. (Gandhi, 2005: 112)

Hal tersebut menjelaskan betapa Emil Musa ingin menunjukkan pada Julia, bahwa dia sudah berubah. Dia yang di mata Julia dulu selalu ingin menang sendiri, tidak mau tahu tentang keadaan orang lain, sekarang bahkan berlaku sangat gentleman dan perhatian kepada Julia.
Ternyata apa yang diinginkan oleh Emil terlihat. Bahwa dia merubah dirinya ke arah yang lebih baik adalah untuk mengambil hati Julia. dia menjelaskan pada Julia, bahwa peristiwa pahit yang pernah terjadi tidak meninggalkan rasa trauma. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut ini.
“Kita tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan, Jul. Yang sudah meninggal ya diikhlaskan kepergiannya, tapi hidup ini terus berlanjut terus tanpa mereka. Yang penting kita mengingat mereka di dalam hati, tanpa kita tidak perlu membuat diri sendiri merana karena kita toh tidak bisa menghidupkan mereka kembali. Aku merasa yakin baik Mas Adam maupun Febi tidak ingin kita merana setelah mereka tinggalkan. Mereka pasti juga menginginkan kita hidup bahagia.” (Gandhi, 2005: 124-125)

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Emil Musa ingin agar Julia pun sama dengan dirinya, yang tidak terlalu berlarut pada kesedihan akibat ditinggal pasangan. Toh yang meninggal tidak dapat hidup kembali, jadi seharusnya terus untuk melangkah ke depan adalah jalan yang lebih baik.
Emil Musa memang telah berubah. Dia mulai berpikir secara rasional menggunakan akal sehat, dan dia mengajak Julia untuk sepaham dengannya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
“Kita harus rasional, Jul. Kalau kita bilang kepada diri sendiri, kita bisa, ya bisa. Kau harus ingat, kita tidak menjadi semakin muda setiap hari. Waktu kita hidup di dunia ini singkat saja, pukul rata sekitar dua puluh lima ribu hari -itu sudah pernah kuhitung sebelumnya- mungkin lebih sedikit dari itu. Semakin banyak hari yang kita lewatkan dalam kemurungan dan kesepian, semakin sedikit hari yang tersisa bagi kita untuk merasakan kebahagiaan dan kegembiraan. Aku pribadi, aku ingin bisa merasakan sebanyak mungkin hari-hari yang bahagia.” (Gandhi, 2005: 125)

Kutipan tersebut menggambarkan pandangan Emil tentang kehidupan ke arah yang lebih baik. Emil menjelaskan kepada Julia, bahwa yang sudah lama terlewat dianggap sebagai sebuah kenangan, yang dipikirkan sekarang cara untuk menghadapi kehidupan esok, yang seharusnya dipenuhi dengan keceriaan dan harapan yang baru.
Proses Progresi yang dilakukan oleh Emil, ternyata dirasakan juga oleh Julia. Hal itu terlihat pada kutipan berikut ini.
“Yah, harus kuakui bahwa belakangan kau memang agak berubah. Terutama minggu-minggu terakhir ini,” kata Julia. “Aku mendapati kau sekarang lebih ramah, lebih sopan, lebih considerate terhadap perasaan orang lain, kepentingan orang lain, lebih mau berkompromi. Singkatnya, lebih manusiawi begitulah...”. (Gandhi, 2005: 126)

“Aku bahkan heran kau bisa minta maaf padaku tempo hari. Aku tak pernah mendengar kau bilang ‘Maaf’ kepada Febi dalam setiap pertengkaran kalian yang biasanya selalu diakhiri dengan kau masuk ke kamar bacamu dan membanting pintu, sedangkan Febi masuk ke mobilnya dan meninggalkan rumah.” (Gandhi, 2005: 127)

Kedua kutipan tersebut menjelaskan secara analitik bahwa Julia mulai merasakan kehidupan Emil sudah jauh lebih baik. Emil yang sekarang adalah Emil yang lebih mempunyai rasa kemanusiaan dan mau meminta maaf terlebih dahulu, bukan seperti dulu yang bahkan lebih memilih untuk pergi dari pada harus meminta maaf.
Kehidupan Alan setelah ditinggalkan oleh Julia cukup memberinya suatu gambaran bahwa dia harus tetap melangkah ke depan, walau tanpa Julia. hal itu terlihat pada kutipan berikut ini.
Dia memang mencintai perempuan itu, tapi usianya yang sudah tiga puluh tujuh tahun membuatnya bisa berpikir secara rasional. Tak ada gunanya mencintai perempuan yang sudah menolaknya dan memilih laki-laki lain. Maka Alan pun melanjutkan hidupya sendiri. Memang dia belum melupakan Julia sehingga dia belum berminat mengejar perempuan lain, tapi dia sekali-kali tak ingin duduk merana di rumah, memikirkan cintanya yang gagal. Jadi, akhir-akhir ini, Alan menyibukkan dirinya dengan bekerja dan bermain tenis tiga kali seminggu. (Gandhi, 2005: 184)

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa usia yang semakin tua membuat dirinya mampu berpikir secara rasional. Alan memang mencintai Julia, tapi larut dalam kesedihan setelah ditingglkannya tidak membuar Alan menjadi kehilangan semangat. Maka Alan pun berusaha melanjutkan hidupnya dengan menyibukkan diri melakukan berbagai macam aktivitas.
Peristiwa demi peristiwa mulai dihadapi oleh keluarga Julia. demi mengungkap kasus pembunuhan Emil Musa, akhirnya berbagai penyelidikan dan interogasi mulai dilakukan oleh kepolisian. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
“Melani baru berusia tujuh belas tahun. Saya tidak ingin dia mengalami trauma akibat peristiwa ini. Saya sangat berterima kasih jika dia bisa dibebaskan dari wawancara ini karena dia toh tidak tahu apa-apa. Dia tidak di rumah kemarin sewaktu peristiwa ini terjadi,” kata Julia. (Gandhi, 2005: 205)

Julia memandang Melani dan meremas jari-jari tangannya yang terletak di atas pangkuannya seakan-akan mengatakan, “Jangan takut, semuanya akan beres.” (Gandhi, 2005: 206)

Pada kutipan di atas menjelaskan bahwa Julia ingin melindungi Melani dari proses interogasi yang dilakukan polisi. Dia tidak mau, bahwa proses itu akan membawa beban pada kehidupan Melani. Julia sangat ingin melindungi Melani, walaupun dia sendiri sebenarnya membutuhkan bantuan menghadapi semua peritiwa yang baru terjadi.
Proses interogasi yang dilakukan oleh polisi tidak hanya ditujukan untuk keluarga Emil Musa, tetapi juga kepada para karyawan tempat Emil Musa bekerja. Hal tersebut diperjelas pada kutipan di bawah ini.
“Setelah kematian istrinya, apakah Pak Emil berubah?”
“Berubah bagaimana yang dimaksud? Menjadi linglung begitu? Tidak. Pada awalnya mungkin ada stres, dia suka marah-marah, tapi setelah begitu sudah normal kembali, malah rasanya akhir-akhir ini dia lebih sabar. Kalau dulu ada karyawan yang bikin kesalahan sedikit saja dia sudah marah-marah, akhir-akhir ini dia lebih kalem, lebih toleran, lebih memberikan kesempatan kepada karyawannya untuk memberikan penjelasan. Justru menurut saya dia sekarang lebih bijaksana.” (Gandhi, 2005: 244-245)

Kutipan tersbut menjelaskan saat tim kepolisian menginterogasi Dirham ,karyawan Emil Musa. Seperti yang pernah dirasakan oleh Julia Takra, diperjelas kembali oleh Dirham, bahwa Emil Musa sudah mulai berubah. Di kantornya pun Emil sudah dapat menjadi atasan yang memilki rasa toleran yang lebih tinggi dan kebijaksanaan. Ternyata proses progresi yang dilakukan oleh Emil, ditunjukkannya juga kepada karyawan-karyawannya.
Dalam kesadarannya, Julia tetap ingin melindungi Melani. Dalam keadaan apapun yang terjadi padanya, baginya masa depan Melani adalah yang paling berharga untuknya. Hal iu terlihat pada kutipan di bawah ini.
“Mestinya sejak semula Non bilang apa yang tejadi sesungguhnya.”
“Aku enggak bisa, Yu. Kalau aku cerita yang sesungguhnya, aku harus cerita tentang pertengkaran Melani dengan Emil, dan aku tak ingin melibatkan Melani.” (Gandhi, 2005: 303)
“Jadi Non tetap mau melindungi Non Kecil?”
“Ya . masa depannya masih panjang, Yu. Aku tak mau itu ternoda.” (Gandhi, 2005: 303-304)

“Aku toh tidak punya siapa-siapa di dunia ini, Yu. Kecuali Melani, aku sebatang kara. Melani masih muda, dia punya masa depan yang panjang. Jika seseorang harus masuk penjara karena kematian Emil, lebih baik aku daripada Melani.” (Gandhi, 2005: 304)

Pada kutipan di atas jelas menggambarkan sikap Julia secara dramatik, bahwa dia akan tetap melindungi Melani. Dia tidak akan menyangkut pautkan Melani pada kasus pembunuhan Emil Musa, walaupun dia maupun Sulika tahu, bahwa pembunuhan itu terjadi karena Melani. Tetapi demi masa depan Melani dia rela berkorban dan berbohong pada polisi.
Proses progresi yang dilakukan Julia Takra ternyata juga dirasakan oleh tim kepolisian yang mempunyai perkiraan bahwa bukan Julia yang membunuh Emil Musa. Hal itu terlihat pada kutipan berikut ini.
“Tetapi mengapa dia melindungi si kemenakan? Bukankah yang terbunuh itu calon suaminya?”
“Calon suaminya toh sudah meninggal, dia tak bisa menolongnya lagi. Tapi dia masih bisa menolong kemenakannya. Perempuan itu pasti sangat sayang kepada kemenakannya ini.”
“Astaga,” kata Kosasih mangusap-usap dagunya. “Kasihan dia. Pasti selama ini perasaannya sangat galau. Di satu pihak, laki-laki yang akan menjadi suaminya meninggal, di pihak lain yang membunuhnya justru kemenakannya sendiri yang dicintainya dan yang harus dilindunginya.
“Dia seorang perempuan yang sangat kuat pribadinya,” kata Gozali, “ untuk bisa melewati pengalaman sepahit itu seorang diri tanpa kehilangan akal warasnya.” (Gandhi, 2005: 346)

Pada kutipan tersebut menggambarkan bahwa pihak kepolisian sangat simpati dengan apa yang dilakukan oleh Julia Takra. Demi menyelamatkan kemenakannya, dengan kesadarannya dia rela mengorbankan diri untuk menggantikan posisi Melani sebagai pembunuh Emil Musa.
Kesadaran Julia untuk terus menyelamatkan Melani dan memikirkan kehidupan keponakannya sangat besar. Hal ini terlihat pada kutipan di bawah ini.
“Jika aku ditahan – dan aku khawatir dalam beberapa hari ini mereka akan kembali untuk menahanku-kau tidak punya siapa-siapa di sini,” kata Julia Takra memegang bahu kemenakannya. “Itulah sebabnya kau harus pergi ke Bandung. Siapa yang tahu berapa lama mereka nanti menahanku.”
“Aku tidak takut tinggal di rumah ini sendiri.”
“Lani, kau belum cukup umur untuk hidup sendiri. Pergilah bersama nenekmu di Bandung.” (Gandhi, 2005: 349)

Kutipan di atas jelas menggambarkan sikap Julia yang begitu menyayangi Melani, sampai dia tetap memikirkan keadaan Melani untuk ke depannya. Dia berharap agar Melani pergi ke Bandung ikut nenek dan kakeknya, apabila nantinya Julia akan ditangkap polisi. Walaupun Melani teta bersikeras untuk tetap tinggal di rumahnya.
Julia tidak hanya memikirkan nasib Melani saja jika dia nantinya akan ditahan polisi, tapi nasib pembantunya yang setia juga dia pikirkan. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
“Menunggu? Lho, Non mau kemana?”
“Jika aku ditahan polisi dan dipenjarakan, aku minta Yu Sul menungguku di sana sampai aku bebas, jangan mengkhawatirkan soal uangnya. Semua itu nanti akan kuatur dengan Pak Dirham. Setiap bulan nanti Pak Dirham akan kuminta untuk menyerahkan.....” (Gandhi, 2005: 356)

Pada kutipan tersebut jelas menggambarkan bahwa Julia ingin agar Sulika tetap menunggunya setelah dia bebas dari penjara nantinya. Dia akan tetap memberikan tunjangan tiap bulan pada Sulika, untuk biaya hidup pembantunya selama ditinggalkannya.
Perbedaan pendapat antara Julia dan Sulika mulai terjadi. Julia ingin tetap berkorban demi Melani, tetapi Sulika tidak ingin kalau sampai majikannya yang baik hati itu samapi dipenjara hanya untuk menyelamatkan Melani. Hal itu terlihat pada kutipan berikut ini.
“Yu, aku tak pernah bisa berbuat apa pun untuk orang-orang yang kucintai. Untuk Mas Adam, untuk Dodi, untuk orang tuaku, untuk Febi. Mereka semua meninggal tanpa aku berbuat apa-apa untuk menyelamatkan danmenolong mereka. Sekarang aku bisa menolong Melani. Aku ingin melakukannya. Dialah satu-satunya darah dagingku sekarang, Yu, dan aku punya kesempatan untuk menolongnya. Aku akan merasa jauh lebih lega dan tenteram, walaupun aku harus duduk di balik jeruji besi, daripada aku membiarkan dia yang dihukum, sementara aku tidak berbuat apa-apa. Mohon Yu bisa mengerti ini. Dengan menolongnya aku berharap bisa menebus ketidakberdayaanku terahadap orang-orang yang kucintai dia masa yang lalu.” (Gandhi, 2005: 357)

Pada kutipan di atas menggambarkan bahwa Julia hanya memiliki Melani, yang merupakan satu-satunya keluarganya. Selama hidupnya dia tidak dapat dapat berbuat apa-apa untuk keluarganya yang telah meninggal, tetapi dia bisa menyelamatkan Melani, dengan cara menggantikannya masuk penjara. Dia berharap dengan begitu, dia bisa menebus ketidakberdayaannya saat tidak dapat menolong orang-orang yang disayanginya di masa lalu.
Tekanan batin yang dirasakan Julia Takra tidak berhenti di situ saja. Dalam keadaan gelisah karena pintu kamar Sulika dikunci dari dalam, dia tidak langsung menangis atau bingung, tapi dia berusaha dalam kesadarannya untuk meminta bantuan pada tetangga sekitar. Seperti tergambar pada kutipan berikut ini.
Dalam kebingungannya dia tidak tahu harus berbuat apa. Kedua orang tua Emil sudah tua, sehingga dia tidak berani minta tolong untuk mendobrakkan pintu ini. Julia melihat ke jam yang tergantung di dinding. Hampir pukul tujuh. Ya Tuhan, siapa yang bisa dimintai tolong? Biasanya kalau ada Hadi, dia pasti sudah datang. Tapi penggantinya Pak Basuki ini belum tiba. Enatah kapan dia baru muncul, padahal Sulika di dalam mungkin sedang pingsan dan segera membutuhkan pertolongan.
Julia pun memutuskan untuk minta bantuan tetangga. Dia berlari ke tetangganya, keluarga Simon. Dalam waktu kurang dari lima menit, Pak Simon sudah berlarian bersamanya menuju ke pintu kamar Sulika. (Gandhi, 2005: 361)

Kutipan tersebut menjelaskan saat Julia bingung karena Sulika tidak menyahut saat dipanggil, dia merasa ada sesuatu yang terjadi pada pembantunya itu. Dalam keadaan sadarnya, dia langsung mencari pertolongan, tapi dia tahu bahwa orang tua Emil tak akan mampu melakukannya, karena usia. Lalu dia berlalri ke depan meminta pertolongan warga sekitar untuk mendobrak pintu itu.
Banyak peristiwa yang terjadi pada diri Julia. Beruntung dia mempunyai Alan yang selalu ikhlas membantunya, seperti terlihat pada kutipan berikut ini.
“Al. Kau masih tampak sangat lelah. Sempat tidur berapa jam tadi?” tanya Julia di dalam mobilnya.
“Tidak sempat. Sesampainya di kantor, ternyata ada banyak pekerjaan yang harus kutangani sebelum aku bisa cuti besok dan lusa. Aku bahkan belum pulang, belum mandi, belum tukar pakaian. Ini langsung dari kantor terus aku mampir di tempat penjual ayam goreng dan membelikan untuk makan orang tua Emil nanti malam, lalu langsung ke rumahmu.”
“Oh, Al, pengorbananmu sungguh besar. Kau ikut menderita gara-gara semua ini,” kata Julia. (Gandhi, 2005: 424)

Pada kutipan tersebut menggambarkan saat Alan menemani Julia di Rumah Sakit. Pengorbanan Alan terlihat di sana, dia rela tidak tidur, tetapi langsung bekerja kembali setelah semalaman menjaga Melani. Dalam bentuk kesadarannya bahwa dia harus tetap berada di samping Julia untuk menjaganya. Hal itulah yang semakin membuat Julia simpati terhadapnya.
Sebagai bentuk pengorbanannya untuk Melani saat pembunuhan emil terjadi, dengan sadar dia memindahkan mayat Emil yang berada di kamar Melani dipindah ke kamar Emil sendiri. Hal itu diperjelas pada kutipan berikut ini.
“Setelah saya bisa menguasai kejutan yang pertama, saya langsung berpikir bahwa Melani telah menikam ayahnya. Emil sudah meninggal, saya tidak bisa menolongnya lagi. Tapi, saya bisa menolong Melani. Dia anak adik saya, dan dia masih darah daging saya juga. Jadi saya... saya pikir kalau saya mengatakan Emil bunuh diri, Melani akan selamat. Maka bersama Yu Sulika saya gotong jenazah Emil kembali ke kamarnya....” (Gandhi, 2005: 434-435)

Kutipan di atas menggambarkan saat Julia mengetahui bahwa Emil mati di kamar Melani, dia langsung mengira bahwa Melani yang telah membunuh ayahnya. Dlam keadaan sadarnya akhirnya, dia dibantu Sulika memindahkan mayat Emil Musa ke kamarnya sendiri, agar polisi tidak curiga terhadap Melani. Dan polisi menganggap bahwa itu adalah kasus bunuh diri.
Sebagai seorang polisi, bentuk proses progresi Kosasih sangat terlihat pada kutipan berikut ini.
“Terima kasih, Anda bersedia meluangkan waktu untuk bertemu dengan kami,” kata Kosasih. Biasanya polisi ya tak bakalan mengucapkan terima kasih kepada orang yang mau dimintainya keterangan, tapi Kosasih berpendapat sikap yang positif itu munculnya timbal balik. Kalau dia berharap seorang seorang saksi akan bersikap positif terhadapnya, lebih dulu dia sendiri harus menunjukkan sikap yang positif juga kepada orang tersebut. Bukannya mentang-mentang polisi, lalu memperlakukan semua orang seakan-akan mereka itu penjahat semuanya. Dan ternyata teori Kosasih ini tidak salah, karena Moris Harjanto langsung tersenyum lebar dan menyilakan tamu-tamunya duduk. (Gandhi, 2005: 444)

Pada kutipan berikut ini, terlihat bahwa sikap Kosasih kepada para saksi sangat berbeda dengan polisi pada umumnya. Dia menganggap bahwa saksi bukanlah seorang penjahat, tapi mereka adalah sumber informasi. Jadi bila ingin mendapatkan informasi yang akurat dan dihargai oleh orang lain, maka kita juga harus menghargai mereka terlebih dahulu. Dan ternyat, teori Kosasih berhasil. Buktinya, salah satunya Moris Harjatno. Dia langsung menyambut baik dengan senyuman lebar kehadiran para polisi itu.

  1. Gerak Regresi
Gerak regresi merupakan dinamika proses ketidaksadaran pada diri seseorang karena gagalnya proses penyesuaian terhadap kehidupn sadar. Jadi, dapat berakibat akan terjadi perkembangan fase mundur atau dirinya akan membawa pikiran dan perasaannya kembali ke belakang.
Proses gerak fase mundur terlihat pada sikap Emil, yang memang tidak bisa menempatkan diri dengan sikap yang lebih baik. Seperti terlihat pada kutipan berikut.
“Kau mau pulang sekarang, Lani?” tanya Julia.
Melani menggeleng dengan lemas.
“Bawa saja dia pulang sekarang,” kata Emil Musa mengerutkan keningnya. Memerintah. “Toh tidak akan lama lagi selesai.”
“Jika Lani mau tinggal, biarkan saja,” kata Julia. Dia tidak pernah suka kepada sikap Insinyur Musa yang sering kali terlalu otoriter terhadap Melani, suatu kompensasi dari ketidakberhasilannya mengatur istrinya. Jadi selalu anak dan pembantu rumah tangganyalah yang menjadi sasaran tempatnya menunjukkan gigi. Tak heran kalau secara naluriah Julia selalu memihak Melani.” (Gandhi, 2005: 10)

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Julia tidak menyukai sikap Emil yang secara tidak langsung seakan bersikap memerintah anaknya. Hal ini merupakan suatu bentuk rasa ketidak puasan Emil karena di masa lalu dia tidak dapat “mengendalikan” istrinya. Jadi, dia melampiaskannya kepada anak dan pembantunya.
Proses regresi juga terlihat pada sikap Julia, saat mengetahui adiknya meninggal, seperti terlihat pada kutipan berikut ini.
“Kalau memang ada yang harus mati, mestinya aku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi yang membutuhkanku. Aku sebatang kara. Tak akan ada yang merasa kehilangan kalau aku mati. Tapi Febi punya suami, punya anak, mereka semua masih sangat membutuhkannya. Seharusnya dia punya masa depan yang panjang. Mengapa dia yang harus mati?” (Gandhi, 2005: 22)

Pada kutipan di atas menjelaskan ketika Julia sangat menyesal dengan kepergian Febria. Julia menganggap seharusnya dialah yang mati, karena merasa bahwa tidak akan ada lagi yang dapat dilakukannya tanpa keluarga. Sedangkan Febria masih mempunyai keluarga yang utuh. Sikap Julia membuktikan bahwa Julia mengalami kemunduran dalam pikirannya, karena terbebani dengan konflik batin yang dia rasakan setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang dia sayang.
Kemunduran sikap yang dialami Emil, karena tidak dapat mengarahkan istrinya untuk berperilaku yang baik semasa hidupnya. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
Memang dari dulu Emil bukan orang yang supel dalam pergaulan, tetapi pada waktu Febria masih hidup, dia tidak sebawel ini, apalagi di hadapan istrinya. Dia lebih banyak diam. Sekarang dia betul-betul seperti nenek tua yang suka mengomel sepanjang hari. Mungkin dia frustasi kehilangan istrinya. Mungkin dia merasa disusahkan oleh Febria, yang meninggalkannya begitu saja bahkan tanpa pamit, dan sekarang dia yang harus mengurusi anaknya. Tetapi apapun alasannya, Julia tidak menyukai sikap Emil ini. (Gandhi, 2005: 34)

Pada kutipan di atas terlihat bahwa Emil Musa memiliki sifat sangat tunduk kepada Febria, istrinya. Dia lebih banyak diam ketimbang harus berdebat dengan istrinya. Dan setelah kematian Febria, semua yang dulu terpendam di hati Emil atas sikap Febria, meluap dan dilampiaskan oleh orang-orang terdekatnya.
Kesalahpahaman yang terjadi antara Melani dan Julia sangat menyiksa batin Julia. karena Melani telah menjadi anak yang tidak dapat diatur. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
Hubungan baik antara Julia dan Melani tak pernah pulih. Sejak insiden di awal bulan Juli itu, Melani sama sekali menarik dirinya dari Julia. Gadis itu membisu terus kalau di rumah. Setelah mengurung dirinya di dalam kamar selama empat hari, Melani mulai pergi setiap pagi. Jika ditanya dia bilang ke rumah teman. Pertanyaan yang lebih mendetail tentang siapa temannya ini, tak pernah mendapatkan jawaban. Pokoknya sekitar pukul sebelas anak ini akan meningglakan rumah dan baru pulang dengan taksi selewat pukul dua. (Gandhi, 2005: 153)

Kutipan di atas menggambarkan sikap Mealni yang telah berubah sejak dia bertengkar dengan Julia. Melani sudah tak lagi seceria dulu. Waktunya dihabiskan untuk mengurung diri di dalam kamar. Setelah itu keluar rumah tidak jelas tanpa Julia tahu kemana dia pergi. Semua sikapnya merupakan bentuk regresi atas penolakannya terhadap keputusan Emil dan Julia untuk menikah.
Gerak progresi yang dialami Ny. Musa Darian setelah kematian anaknya terlihat saat dia histeris tidak percaya bahwa anaknya mati bunuh diri, seperti yang terlihat pada kutipan berikut ini.
“Emil tak mungkin membunuh dirinya!” kata Nyonya Mua Darian mengemukakan pendapatnya. Tak jelas kepada siapa ibu tua itu berbicara. Duduk mengelilingi meja makan pagi ini adalah Melani, kakek dan neneknya, sedangkan Julia baru datang dari dapur, di tangannya membawa piring berisi beberapa potong roti panggang yang akan diletakkannya di atas meja. (Gandhi, 2005: 237)
“Tidak! Aku tidak terima jika dikatakan anakku bunuh diri! Untuk apa dia bunuh diri? Pekerjaannya lancar, dia tidak punya utang, tidak punya penyakit, kok tak ada hujan tak ada angin tiba-tiba bunuh diri!” lanjut Nyonya Musa Darian. Lalu berpaling kepada Julia yang baaru duduk, dia berkata,”Kau pasti tahu sesuatu. Hanya saja kau tidak mau buka mulut. Kau menyembunyikan sesuatu!” (Gandhi, 2005: 238)

Pada kutipan tersebut menjelaskan saat pikiran dan perasaan Ny. Mussa Darian yang tidak percaya kematian anaknya karena bunuh diri. Dia marah, tapi tidak tahu marah kepada siapa. Tekanan batin akibat ditinggal anak semata wayangnya yang membuatnya mempunyai pikiran buruk terhadap orang lain.
Saat Julia menghadapi konflik batin ketika dia melihat Melani masih terbaring lemas di rumah sakit, membuatnya takut akan terjadi apa-apa pada Melani. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
Dengan berat hati akhirnya Julia mengikuti Alan Rahadian pulang.
“Hatiku bingung,” kata Julia. “Sewaktu Melani masih kritis, aku takut dia tak akan sembuh. Sekarang dia sudah melewati masa itu, aku takut apa yang akan terjadi padanya berikutnya. Polisi pasti akan datang kepadanya besok atau lusa.” (Gandhi, 2005: 470)

Konflik batin yang dirasakan Julia adalah ketakutan apabila Melani tidak akan sembuh dan apabila nantinya sembuh, dia malah menghadapi proses interogasi polisi yang bisa saja mengarahkan Melani sebagai pembunuh Emil Musa. Ketakutan yang dialami Julia pada proses kegagalannya untuk menumbuhkan kesadaran, membuatnya semakin tertekan apabila hal yang ditakutkannya kelak akan terjadi.
Setelah diketahui bahwa bukan Julia ataupun Melani yang membunuh Emil, polisi mengarahkan pandangannya kepada Hadi, sopir pribadi Emil Musa. Ternyata diketahui memang Hadi lah yang telah membunuh Emil serta Sulika. Dengan pengakuan yang cukup mencengangkan yang dilontarkan kembali oleh polisi. Hal ini diperjelas pada kutipan berikut.

“Disana sopirnya dimarahi habis-habisan dan dipecatnya. Lalu pada puncak amarahnya, Pak Emil meninju si Hadi. Menurut Hadi kata-kata Pak Emil sangat kasar dan menghina, lalu yang terakhir pukulannya membuat dia sudah tak dapat lagi menahan dirinya. Dia menusukkan obeng panjang yang dipegangnya ke perut Pak Emil. Dan sekali itu terjadi, dia sadar dia harus menghabisi nyawa Pak Emil, kalau tidak, pasti majikannya ini akan menyeretnya ke penjara. Maka ditambahkannya empat tikaman lagi ke tubuh Pak Emil yang sudah jatuh tak berdaya.” (Gandhi, 2005: 480)

Pada kutipan di atas terlihat bahwa ternyata Hadi membunuh Emil Musa dengan cara menusukkan obeng ke beberapa bagian tubuhnya, setelah Hadi tidak terima dikatakan kasar dan dihina oleh Emil. Proses ketidaksadaran yang dilakukan oleh Hadi dikarenakan tuntutan emosi dan tertekan dengan keadaan pada saat itu.
Hadi tidak hanya membunuh Emil Musa tetapi juga Sulika. Hal ini dilakukannya karena merasa jiwanya terancam. Hal ini dipaparkan oleh polisi sebagai berikut.
“Mungkin karena Nona Melani pernah cerita kepadanya bahwa Bu Sulika akan lapor kepada polisi tentang apa yang diketahuinya soal pembunuhan Pak Emil jika polisi menahan Bu Julia. Jadi untuk mencegah itu, dia membunuh perempuan itu.”
“Tapi... tapi saya tidak pernah mengatakan bahwa Bik Sulika akan melaporkan Mas Hadi!” kata Melani. Orang-orang berpaling kepadanya dan untuk pertama kalinya mereka baru melihat bahwa gadis ini diam-diam menangis. Air matanya mengalir dari ujung-ujung matanya dan sudah membasahi pipi dan lehernya.
“Kami rasa Saudara Hadi sendiri yang telah salah mengartikan kata-kata Anda, Nona Melani,” kata Kosasih. “Orang yang berdosa selalu punya perasaan bersalah.”
Julia meletakkan lengannya di bahu Melani dan menepuk-nepuknya. (Gandhi, 2005: 483-484)

Kutipan tersebut terlihat bahwa Hadi membunuh Sulika karena dia takut Sulika mengetahui siapa pembunuh sebenarnya Emil Musa, setelah diceitakan oleh Melani. Oleh karena itu, agar dirinya tidak ketahuan, dia membunuh Sulika untuk menghilangkan saksi mata. Padahal dari penuturan Melani, sebenarnya Sulika tidak tahu pembunuh yang sebenarnya. Tapi karena perasaan bersalah telah membunuh Emil Musa, dalam alam ketidaksadarannya dia dilingkupi rasa ketakutan.
  1. Alternatif Pembelajaran dinilai dari Gerak Progresi dan Regresi dalam Novel di SMA
Pembelajaran bahasa Indonesia di SMA meliputi pembelajaran bahasa dan sastra. Ketrampilan yang dapat dikembangkan berupa menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Melalui Kompetensi Dasar menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia (standard isi 2006, SMA kelas XI) materi nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd dapat diajarkan pada siswa. Novel tersebut cukup memberikan banyak pengalaman bernilai pendidikan yang positif. Dalam pengajaran, khususnya novel banyak sekali kendala yang dihadapi guru untuk membangkitkan semangat siswa dalam membaca. Oleh karena itu, sebagai seorang guru, layaknya harus memiliki alternatif pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Diantaranya:

  1. Teknik Pengajaran Novel
Pada dasarnya teknik pengajaran sastra yang berupa novel adalah cara yang digunakan oleh seorang guru untuk membelajarkan novel secara berurutan atau teratur, sehingga pada konsep maupun realita kenyataannya hasil yang dicapai oleh siswa akan mencapai batas maksimal sesuai yang diinginkan oleh seorang guru. Hal-hal yang berkaitan dengan teknik pengajaran novel adalah sebagai berikut:
a. Pemilihan Edisi Buku
Siswa biasanya akan tertarik untuk membaca buku, bila dilihat dari penampilan cover dan kertas cetakan pada buku. Pemilihan buku berdasarkan penampilan halaman depan buku yang menarik dengan disesuaikan dengan warna yang beragam maupun gambar yang sesuai dengan umur siswa, akan memberikan awal yang baik untuk membuat siswa tertarik. Jenis cetakan yang bermutu juga biasanya lebih enak untuk dibaca, jadi siswa terkesan lebih nyaman membacanya. Dan yang terpenting setelah itu adalah pemilihan isi yang terdapat di dalam novel.isi novel yang baik, harus sesuai dengan perkembangan usia pembacanya. Jika hal ini diterapkan pada siswa SMA, berarti pemilihan buku yang digunakan pun harus sesuai. Misalnya, dengan memberikan novel yang bercerita tentang kisah cinta yang sederhana, atau tentang suatu cerita yang memberikan makna tentang kehidupan, seperti novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd, merupakan sebuah novel yang mengungkapkan kehidupan secara nyata dan memberikan pelajaran bagi manusia tentang cara untuk membedakan perilaku yang seharusnya ditiru dan yang harus dihindari.
  1. Mengawali pembicaraan dengan menyenangkan
Sebagai seorang guru, selain mengembangkan ranah kognitif siswa juga dapat menjadi fasilitator dan motivator yang baik. jadi, agar siswa dapat tertarik pada buku yang sedang menjadi pokok bahasan, guru mampu menjembatani siswa dengan cara membacakan secara sekilas bagian-bagian yang menarik dari novel tersebut, sebagai contoh bila dikaitkan di dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd adalah pada bagian saat Julia Takra berusaha untuk kembali ke fase pengembangan dirinya saat banyak masalah menghadangnya. Bagian yang dibaca dapat berupa hal-hal yang termasuk dramatis atau hal yang lebih memiliki makna yang terkait dengan pembelajaran tersebut akan mampu meningkatkan semangat membaca siswa sehingga sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran.
  1. Memberikan penahapan belajar
Dalam memberikan pelajaran tentang gerak progresi dan regresi pada novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd, guru memerlukan waktu 2 kali pertemuan. Oleh karena itu guru dapat membuat persiapan berupa penahapan panyajian. Pertemuan 1, tahap penyajian yang dilakukan oleh guru adalah menanyakan pada siswa yang dimaksud dengan novel dan unsur intrinsik pada novel, lalu guru mulai memasukkan unsur-unsur tersebut ke dalam pembelajaran novel, terutama novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd. Apabila dalam novel dibagi menjadi beberapa bab maka akan lebih mudah jika siswa dihadapkan untuk dapat membaca tiap subbab. Dengan adanya bagian-bagian subbab akan memudahkan siswa untuk membaca dan memahami makna yang terkandung di dalamnya. Apabila nantinya dalam membaca bagian tersebut tidak sampai pada waktunya maka guru dapat memberikan penugasan pada siswa untuk membaca bab selanjutnya serta menganalisis unsur-unsur intrinsik di dalam novel tersebut di rumah. Guru juga mengatakan pada siswa bahwa bab itu akan dibahas pada pertemuan berikutnya. Sehingga dengan cara seperti itu siswa dapat lebih memahami makna dan isi yang terkandung di dalam setiap babnya. Sedangkan pada pertemuan 2, guru menanyakan kembali sisa bab yang telah dibaca oleh siswa di rumah serta melanjutkan dengan menanyakan pada siswa kaitannya dengan gerak progresi dan regresi yang terdapat di dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd tersebut. Tugas yang diberikan guru untuk siswa adalah mencari hal-hal yang berkaitan dengan nilai gerak progresi dan regresi di dalam novel tersebut.
  1. Membuat cerita lebih hidup
Salah satu cara untuk meningkatkan minat baca siswa agar mereka dapat asyik menikmati cerita tersebut adalah dengan menghidupkan cerita novel. Dengan guru mengimprovisasi adegan yang dalam kaitannya dengan nilai gerak progresi dan regresi siswa dapat membayangkan proses kejadian yang sedang terjadi dalam novel tersebut. Selain dengan improvisasi, ada cara lain untuk menghidupkan cerita agar terkesan lebih mendalam dan dapat lebih spesifik melibatkan minat siswa. Drama misalnya, dapat menjadi cara memberikan kesempatan kepada siswa untuk merekonstruksi adegan yang terdapat dalam novel yang telah dibaca. Secara harafiah siswa dapat diminta untuk membuat diagram, peta ataupun laporan berdasarkan hal-hal yang terdapat di dalam novel tersebut. Sebagai contoh, dalam membaca novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd, para siswa dapat diminta untuk menggambar denah tempat terjadinya peristiwa pembunuhan Emil Musa dan Sulika yang terjadi di dalam rumahnya, serta dapat juga dilakukan dengan cara merekonstruksi kembali pembunuhan yang dilakukan oleh Hadi dengan cara melakukan drama sederhana yang direkostruksi ulang oleh siswa. Di samping itu siswa juga dapat diminta untuk menjelaskan silsilah keluarga Julia Takra berikut, tokoh-tokoh yang berperan dalam novel tersebut. Hal-hal yang disebutkan diatas tadi merupakan langkah sebagai tahap latihan yang memberikan kesempatan praktek kepada siswa dan sarana untuk merealisasikan apa yang tertulis di dalam novel tersebut. Hal-hal itulah yang membantu siswa untuk menemukan konsep atau pemikiran fundamental yang benar tentang novel itu.
  1. Membuat catatan ringkas
Novel yang panjang dan kompleks merupakan hal yang dirasa membosankan bagi siswa. Oleh karena itu, guru harus menganjurkan siswa untuk membuat catatan ringkas yang dapat membantu mengingat kesan-kesan yang telah didapatkannya dari membaca. Catatn ini dapat berwujud daftar nama tokoh yang pentinga dalam novel tersebut dengan memberikan sedikit komentar. Misalnya, jika yang dibaca adalah novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara GD. Maka catatan ringkas yang dapat ditulis adalah :
  1. Julia Takra : Tokoh utama dalam novel tersebut yang mempunyai konflik batin yang kuat karena berbagai masalah yang dihadapinya.
  2. Melani Musa : Keponakan dari Julia Takra, yang sebenarnya memiliki hati yang baik tetapi karena kesalahpahaman antara dia dan Julia sikapnya menjadi berubah.
  3. Emil Musa : Ayah dari Melani yang mempunyai sikap otoriter, dan terbunuh karena sikapnya sendiri.
  4. Alan Rahadian : Pendamping Julia yang memiliki sifat penyayang dan ketulusan untuk membantu Julia dalam menghadapi berbagai masalah
Jika dirasa perlu maka ringkasan tersebut dapat dirinci sehingga menjadi lebih jelas.
  1. Pengkajian ulang
Apabila seluruh novel sudah dibaca maka perlu diadakan pengkajian ulang tentang pokok bahasan yang sebelumnya telah dibaca. Hal ini digunakan untuk memperjelas kesan pada siswa tentang novel yang mereka pelajari. Pengkajian ini dilakukan dengan cara diskusi. Diskusi sebaiknya diawali dengan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dibahas bersama dan guru mengarahkan pertanyaan tersebut dari arah faktual kemudian ke arah intepretatif lalu menuju ke arah spekulatif. Diskusi yang bersifat sastra tidak hanya merupakan pembicaraan masalah atau sekedar mengungkapkan pandangan tetapi lebih mengarah kepada pendapat-pendapat yang beralasan kemudian disajikan pada masyarakat umum. Hasil yang dituliskan dalm bentuk esai atau diskusi tertulis dapat pula dibukukan. Hendakanya guru dapat mempengaruhi siswanya untuk memandang penulisan esai sebagai langkah yang penting dalam mengungkapkan pendapat secara tertulis.
Selain dengan teknik pengajaran sastra, diharapkan guru juga mampu mengembangkan suatu alternatif pembelajaran yang lain untuk mempermudah pembelajaran, diantaranya:
  1. Materi Ajar
Dalam penelitian ini materi yang digunakan sebagai alternatif pembelajaran adalah nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel “Misteri Mayat yang Berpindah” karya S. Mara Gd, di SMA kelas XI semester 1 dengan Kompetensi Dasar yaitu menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan. Materi yang dipilih sebagai bahan ajar sastra terutama yang berbentuk novel tersebut adalah pada pertemuan 1, terlebih dahulu ditunjukkan oleh siswa adalah hal-hal yang menarik siswa untuk membaca cerita tersebut, setelah itu siswa diminta untuk membaca sendiri per sub bab. Sehingga dengan adanya pembacaan per bagian sub bab, siswa akan lebih memahami bagian-bagian penting dari bab tersebut dan mulai memasukkan unsur-unsur intrinsik di dalamnya. Pada pertemuan 2, siswa mulai diajarkan tentang gerak progresi dan regresi dan diaplikasikan ke dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah tersebut.
Jenis materi ajar yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah mengenai prosedur, artinya bahwa dalam pembelajaran berupa novel terutama novel Misteri Mayat yang Berpindah ini dapat dilihat sistematikanya yaitu siswa diminta untuk membaca bagian-bagian yang mengandung adegan tentang pembunuhan tersebut setelah itu siswa dapat membuat sendiri kronologis kejadiannya dan dapat diaplikasikan dalam suatu skenario untuk dapat ditampilkan. Selain dengan menggunakan jenis materi berupa prosedur, jenis materi yang dapat dipakai adalah tentang sikap atau nilai, karena yang diutamakan dalam hal ini adalah hasil belajar yang berupa suatu perubahan pada sikap sesorang agar mengetahui hal yang baik untuk dijadikan sebagai pengalaman hidup.
Prinsip-prinsip pengembangan materi yang dapat digunakan dalam pembelajaran novel ini adalah adequacy yang berarti kecukupan. Di dalam materi ajar yang akan disampaikan dapat memadai sehingga siswa dapat menguasai kompetensi dasar yang diajarkan.
  1. Pendekatan
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan sebagai alternatif pembelajaran nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd, di SMA kelas XI semester 1 dengan Kompetensi Dasar yaitu menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan adalah menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning). Model tersebut berpusat pada siswa yang mendasarkan pada perkembangan siswa, sehingga mendorong siswa untuk berinteraksi dengan siswa yang lain maupun guru dan dapat mengeksplorasi ide siswa. . Eksplorasi ide yang dimaksudkan adalah penjajakan materi yang nantinya akan dipelajari oleh siswa.
Penggalian dan eksplorasi ide dapat dilakukan dengan cara guru memberikan pertanyaan rangsangan kepada siswa tentang hal-hal yang menyangkut perilaku yang positif dan negatif saat adanya hambatan berupa masalah-masalah dalam kehidupan. Dengan berbagai jawaban siswa yang menyangkut tentang perilaku-perilaku tersebut, siswa ditunjukkan dengan salah satu perilaku yang berkaitan dengan proses kehidupan sadar dan positif yang dilakukan oleh Julia Takra, tokoh utama dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah tersebut. Yang dimaksudkan guru dalam hal ini adalah perilaku yang berupa gerak maju dan gerak mundur yang terjadi pada setiap tokoh dalam novel tersebut. Sebagai contoh, yang lebih banyak memiliki gerak maju atau progresi dalah sang tokoh utama yang bernama Julia Takra, karena pada dasarnya dia mampu untuk terus bertahan hidup dan tidak rapuh saat berbagai masalah menimpanya. Sedangkan yang memiliki gerak regresi, salah satunya Melani, keponakan Julia Takra, dapat dilihat dari cara dia menyelesaikan masalah dengan mengakhiri hidup dan kabur dari rumah. Guru merangsang siswa untuk memahami contoh gerak-gerak tersebut, terutama pada tokoh utama yang menjadi tokoh pusat untuk dijadikan sebagai pembelajaran kehidupan untuk siswa, karena utama tersebut mengajarkan tentang suatu perilaku positif, terutama dalam menghadapi suatu masalah tokoh utama tidak langsung terpuruk dalam kesedihan tetapi tetap bangkit untuk melanjutkan hidup, sehingga hal tersebut layaknya dapat diajdikan contoh teladan oleh siswa.
Jika siswa sudah memahami konsep gerak progresi dan gerak regresi dengan jelas, guru dapat melanjutkan dengan memberikan tugas menganalisis setiap tokoh yang mengandung gerak progresi dan gerak regresi dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd, untuk mengetahui dan mengukur pemahaman siswa.
  1. Strategi
    Strategi dalam alternatif pembelajaran nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd di SMA kelas XI semester 1 dengan Kompetensi Dasar yaitu menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan ini adalah menggunakan strategi teks acak. Jika di dalam strategi tersebut dengan menghadirkan teks untuk diacak, tetapi dengan pemilihan novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd tersebut, siswa diminta untuk menyusun proses kejadian pembunuhan yang terjadi dengan menampilkan nilai gerak progresi dan regresi dari tiap tokohnya. Dalam strategi ini, lebih mementingkan aktivitas siswa. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh guru adalah sebagai berikut:
  1. Guru memilih bacaan dan proses kejadian yang akan disampaikan.
Pemilihan bacaan dan proses kejadian pada novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd, didasarkan pada hal-hal yang mengandung nilai gerak progresi dan regresi dan pada unsur yang menyebabkan kematian pada salah satu cerita tersebut, sehingga memiliki kronologis kejadian terjadinya pembunuhan.
  1. Guru memotong bagian kronologi kejadian beserta kalimat yang menyatakan nilai gerak progresi dan nilai gerak regresi secara acak.
Terlebih dahulu guru melakukan apersepsi yang berupa pengenalan gerak progresi dan regresi pada siswa dengan kehidupan siswa sehari-hari. Guru merangsang pengetahuan siswa tentang hal-hal yang dapat terjadi jika terjadi masalah. Jika terdapat siswa yang kurang paham dengan pengajaran yang telah disampaikan, maka guru meminta siswa untuk mendiskusikan dengan teman kelompoknya. Teman yang sudah paham harus menjelaskan kembali materi kepada temannya yang belum paham. Jika siswa sudah paham, guru melanjutkan dengan memberikan tugas.
  1. Guru membagi siswa menjadi kelompok kecil
Untuk dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang karakter dan kronologis kejadian, maka siswa diminta untuk membagi kelompok menjadi beberapa bagian.
  1. Setiap kelompok diberi bacaan utuh yang telah dipotong kronologis kejadiannya oleh guru
Jika setiap siswa telah membagi kelompok menjadi beberapa bagian, siswa diberikan suatu teks yang telah dipersiapkan oleh guru sebelumnya. Cara yang dapat digunakan oleh guru adalah dengan memotong tiap kronologis serta yang mengandung nilai gerak progresi dan regresi pada kejadian yang berbeda-beda dan diberikan kepada tiap kelompok.
  1. Guru meminta siswa untuk menyatukan kembali kronologis kejadian.
Setelah guru mempersiapkan potongan-potongan berupa kalimat kepada siswa, guru meminta siswa untuk menyatukan kembali kalimat-kalimat yang mengandung unsur kejadian sesuai dengan isi buku yang terdapat pada novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd tersebut sehingga menjadi perpaduan bacaan yang utuh dengan menurut pada unsur nilai gerak progresi dan regresi Jung.
  1. Guru meminta siswa untuk mempelajari teks yang telah diurutkan oleh masing-masing kelompok
Setelah semua kalimat yang mengandung hal-hal yang ditentukan oleh guru dapat dilaksanakan oleh guru dapat dilaksanakan dengan baik oleh siswa, sehingga secara garis besarnya siswa mengetahui setiap kejadian yang telah diberikan dan gerak-gerak yang ada dalam setiap tokohnya, siswa diminta oleh guru untuk mempelajari teks bacaan tersebut. . Salah satu anggota kelompok mempresentasikan hasil analisis secara lisa maupun dalam bentuk berlakuan tokoh secara sederhana, kelompok lain boleh bertanya dan menanggapi. Guru memastikan setiap kelompok dapat presentasi satu-persatu dengan memberikan alokasi waktu yang sama.
  1. Media
Dalam penelitian ini media yang digunakan sebagai pembelajaran gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd tersebut, menggunakan media yang tidak diproyeksikan, berupa : potongan-potongan kertas yang dibagikan pada masing-masing kelompok. Potongan tersebut berisi tentang adegan-adegan serta hal-hal yang mengandung gerak progresi dan regresi yang telah dilakukan oleh tiap tokoh dan siswa diminta untuk menyusunnya kembali, setelah sebelumnya membaca novel tersebut.
  1. Metode
Alternatif pembelajaran ini menggunakan metode tanya jawab, ceramah, metode pemberian tugas, metode kerja kelompok, metode diskusi dan metode demonstrasi. Agar partisipasi serta aktivitas siswa tinggi sehingga pembelajaran menjadi efektif.
Metode tanya jawab dapat dilakukan dengan cara guru menampilkan perilaku salah satu tokoh dan menanyakan pada siswa tentang perilaku tokoh tersebut. Apabila siswa menjawab bahwa tokoh tersebut memiliki suatu perilaku yang positif atau negatif, guru mulai mengajak siswa untuk masuk ke dalam materi yang akan disampaikan, yaitu penggunaan nilai gerak progresi dan gerak regresi.
Metode ceramah disampaikan guru apabila pada dasarnya siswa kurang mampu menangkap isi materi tentang novel, unsur intrinsik serta nilai gerak progresi dan regresi yang telah disampaikan sebelumnya oleh guru. Guru memberikan ceramah dengan tujuan memperjelas dari jawaban-jawaban sebelumnya. Metode ceramah ini diminimalisir karena siswa yang lebih berperan aktif dalam pembelajaran novel tersebut.
Metode selanjutnya yang dapat dilakukan oleh guru adalah metode pemberian tugas pada siswa, dengan memberikan petunjuk yang jelas. Pemberian tugas dilakukan dalam dua bentuk yaitu tugas kelompok dan tugas individu. Tugas kelompok diselesaikan secara bersama-sama dalam setiap kelompok yang diberikan berupa analisis setiap kronologis kejadian yang terjadi pada tokoh-tokoh novel Misteri Mayat yang Berpindah, yang telah ditentukan oleh guru sebelumnya. Setiap kelompok wajib mempresentasikan jawabannya, yang berupa bentuk lisan oleh salah satu siswa dalam kelompok dan berupa tahap pemeran tiap tokoh secara sederhana. Sedangkan tugas individu dapat dinilai dari peran yang ditampilkan oleh tiap siswa.
Metode kerja kelompok digunakan dalam proses pengerjaan tugas. Dengan metode kerja kelompok, diharapkan setiap kelompok mampu menunjukkan kekompakan, keefektifan waktu yang telah tersedia dalam menyelesaikan tugas dan hasil yang dicapai juga merata antar anggota kelompok. Metode kerja kelompok hanya digunakan saat siswa mengerjakan tugas kelompok, terutama saat siswa diminta untuk menyusun atau merangkai potongan-potongn kertas yang telah disiapkan oleh guru, terutama pada kejadian yang telah terjadi di dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd tersebut.
Metode diskusi digunakan saat dibagi menjadi dua macam, yang pertama saat siswa mampu bertukar pikiran bersama dengan anggota kelompoknya, agar yang dicapai memuaskan serta saat siswa mempresentasikan hasil pekerjaan masing-masing kelompok. Ketika ada kelompok yang presentasi, kelompok yang lain diminta untuk menanggapi hasil analisis dari kelompok tersebut. Melaui metode diskusi, diharapkan siswa dapat menemukan jawaban dari permasalahan yang ada dalam analisis nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd serta pada tiap kronologis kejadian yang terdapat pada novel tersebut.
Metode yang terakhir yang dapat digunakan untuk proses pembelajaran tersebut adalah metode demonstrasi. Artinya bahwa dengan adanya proses hasil kerja secara kelompok yang telah dilakukan oleh siswa, untuk dapat membuat cerita lebih hidup adalah dengan mengaplikasikannya dalam bentuk peran yang sederhana. Sehingga siswa diharapkan tidak hanya dapat mengolah kata dan mengetahui apa yang dimaksud dengan nilai gerak progresi dan regresi, tetapi juga siswa mampu memperoleh pengalaman praktik secara nyata dengan hal yang berkaitan tentang kronologis kejadian yang terjadi pada proses pembunuhan tersebut yang ada dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah tersebut.
  1. Evaluasi
Pada dasarnya, semua hal yang telah dilakukan oleh siswa dalam proses pembelajaran sastra berupa novel tersebut, haruslah terdapat suatu penilaian yang nantinya akan dijadikan sebagai hasil pengukuran dengan menggunakan angka. Evaluasi pada siswa dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu evaluasi atau penilaian secara kelompok dan penilaian secara individu. Penilaian secara kelompok, dapat didasarkan oleh hasil belajar siswa secara bersama-sama dengan melihat kemampuan siswa kerjasama dalm tim untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru, yaitu bila dikaitkan dengan novel tersebut adalah cara siswa untuk menyusun kembali bagian-bagian kronologis kejadian yang terdapat dalam cerita novel tersebut. Sedangkan hasil belajar siswa yang diukur dari tingkat penilaian secara individu, didasarkan pada penilaian saat siswa melakukan proses mendemonstrasikan atau berperan sebagai tokoh-tokoh novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd, yang telah dipersiapkan oleh guru sebelumnya.
Evaluasi tugas individu di ambil dari ketepatan jawaban yang ditulis siswa pada buku tugas. Soal-soal tersebut meliputi: Sebutkan hal-hal yang termasuk nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd tersebut!

  1. Contoh Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
TAHUN PELAJARAN 2010/2011
Sekolah : SMA
Mata pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/semester : XI/1
Standar Kompetensi : Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan
Kompetensi Dasar : Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan
Indikator : 1. Menceritakan isi novel Indonesia
  1. Mendiskusikan nilai-nilai yang ada dalam novel
  2. Mengaitkan nilai-nilai tersebut dengan kehidupan sehari-hari
Alokasi Waktu : 4 x 45 menit (2 x pertemuan )

  1. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, siswa diharapkan dapat:
  1. Menceritakan isi novel Indonesia
  2. Mendiskusikan nilai-nilai yang ada dalam novel
  3. Mengaitkan nilai-nilai tersebut dengan kehidupan sehari-hari


  1. Materi Pembelajaran
Novel Indonesia
  • Unsur intrinsik (tokoh, penokohan, latar)
  • Unsur intrinsik (nilai gerak progresi dan regresi)
  1. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran
Pertemuan pertama

NO
KEGIATAN BELAJAR
WAKTU
METODE
SUMBER
/ALAT
PENILAIAN

  1. PENDAHULUAN
  1. Menyiapkan kondisi kelas seperti mengucapkan salam dan mengecek kehadiran siswa

  1. Apresepsi,
Guru mengajukan pertanyaan mengenai jenis-jenis sastra kepada murid

5 mnt



10 mnt

Ceramah



Tanya jawab

Absensi



Buku paket





90% siswa dapat menyebutkan jenis-jenis sastra

  1. KEGIATAN INTI
Sebagai kegiatan eksplorasi guru melakukan kegiatan berikut:
  1. Guru membacakan beberapa kalimat yang mengandung unsur-unsur intrinsik terutama tokoh, penokohan dan latar)
  2. Guru merangsang pengetahuan siswa unsur-unsur ektrinsik yang termasuk ke dalam bagian-bagian novel, terutama tentang pengertian gerak maju (gerak progresi) dan gerak mundur (gerak regresi)

Sebagai kegiatan elaborasi guru melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. Guru membacakan satu bagian kutipan novel yang menyatakan unsur intrinsik dan ekstrinsik
  2. Siswa menentukan hal-hal yang termasuk unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik disertai alasan yang terdapat dalam novel
Sebagai kegiatan konfirmasi, guru melakukan hal-hal sebagai berikut:
    1. Beberapa siswa membacakan hasil pekerjaan yang sudah mereka kerjakan
    2. Guru dan siswa membahas unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik disertai alasan yang terdapat dalam novel



5 mnt



10 mnt










10 mnt



20 mnt





10 mnt


10 mnt






Tanya jawab










penugasan









penugasn


ceramah









Novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd













Novel “Misteri Mayat yang Berpindah” karya S. Mara Gd



85% siswa dapat mengetahui pengertian gerak progresi dan gerak regresi










90% siswa dapat menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel

  1. PENUTUP
  1. Siswa dan guru menyimpulkan materi pembelajaran yang sudah dilakukan
  2. Guru memberikan tugas pada siswa untuk membaca bagian dan memahami isi tiap bagian dengan menuliskan catatan-catatan kecil
  3. Guru menutup proses pembelajaran dengan mengucap salam

5 mnt


3 mnt


2 mnt

Ceramah


Ceramah


Ceramah


Pertemuan kedua
NO
KEGIATAN BELAJAR
WAKTU
METODE
SUMBER
/ALAT
PENILAIAN

  1. PENDAHULUAN
    1. Menyiapkan kondisi kelas seperti mengucapkan salam dan mengecek kehadiran siswa
    2. Apresepsi,
Guru mengajukan pertanyaan mengenai perilaku-perilaku positif dan negatif yang ada di lingkungan sekitar

5 mnt



10 mnt

Ceramah



Tanya jawab

Absensi



Buku paket / modul




90% siswa dapat mengingat materi novel yang sudah diajarkan sebelumnya

  1. KEGIATAN INTI
Sebagai kegiatan eksplorasi guru melakukan kegiatan berikut:
    1. Guru membacakan satu bagian kutipan novel yang menyatakan suatu gerak maju dan mudur
    2. Guru merangsang pengetahuan siswa dengan pertanyaan berkaitan tentang pengertian gerak maju (gerak progresi) dan gerak mundur (gerak regresi)

Sebagai kegiatan elaborasi guru melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Guru membacakan satu bagian kutipan novel yang menyatakan nilai gerak progresi dan regresi di dalam bagian awal
2.Siswa menentukan hal-hal yang termasuk nilai gerak progresi dan regresi dan alasannya


Sebagai kegiatan konfirmasi, guru melakukan hal-hal sebagai berikut:
      1. Beberapa siswa membacakan hasil pekerjaan yang sudah mereka buat
      2. Guru dan siswa membahas nilai gerak progresi dan regresi beserta alasannya, pada bagian awal



5 mnt


10 mnt







10 mnt



20 mnt






10 m


10 mnt






Tanya jawab










penugasan






penugasan


ceramah



Novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd




Novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd


Novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd



85% siswa dapat mengetahui nilai gerak maju dan mundur dalam novel tersebut





90% siswa dapat menganalisis nilai gerak progresi dan regresi

  1. PENUTUP
  1. Siswa dan guru menyimpulkan materi pembelajaran yang sudah dilakukan
  2. Guru memberikan tugas pada siswa untuk membaca bagian selanjutnya dan menemukan nilai gerak progresi dan regresi beserta alasannya
  3. Guru menutup proses pembelajaran dengan mengucap salam

5 mnt


3 mnt


2 mnt

Ceramah


Ceramah


Ceramah



  1. Sumber belajar
  1. Bagan unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel Indonesia
  2. Novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd


  1. Penilaian
  1. Teknik
  1. Tes Tertulis
  2. Penugasan
  1. Bentuk instrumen
  1. Tertulis
Bacalah tiap subbab novel Indonesia terutama novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd, setelah membaca, analisislah menurut unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik serta yang mengandung nilai gerak progresi dan regresi, dan sebutkan alasannya, dengan format berikut ini!


Unsur-unsur Intrinsik
Unsur-unsur Ekstrinsik
Alasan
Tokoh
Penokohan
Latar
Nilai Gerak Progresi
Nilai Gerak Regresi








  1. Format penilaian :
Pedoman penskoran
Skor
    1. Menentukan unsur-unsur Intrinsik
  1. Siswa menentukan tokoh dan penokohan
  2. Siswa menentukan latar (tempat, waktu dan suasana)
  3. Siswa tidak mengerjakan
    1. Menyebutkan unsur-unsur ekstrinsik
a. Siswa menyebutkan nilai gerak progresi
b. siswa meyebutkan nilai gerak regresi
c. siswa tidak mengerjakan
    1. Mengaplikasikan tokoh dalam peran secara sederhana
  1. siswa dapat memerankan tiap tokoh yang telah ditetapkan
  2. siswa memahami karakter tokoh
  3. siswa tidak mengaplikasikan
10
10
0

20
20
0

20

20
0




Perhitungan nilai akhir dalam skala 0-100 adalah sebagai berikut:
Nilai akhir (NA) = Jumlah perolehan skor X 100
Jumlah skor tertinggi

Mengetahui Semarang, Juli 2011
Kepala SMA N Semarang, Guru Mata Pelajaran,


................................... ..................................















BAB IV
PENUTUP

  1. Simpulan
Nilai Gerak Progresi dan Regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd didasari oleh masalah proses kejiwaan para tokohnya. Masalah tersebut dalam masing-masing tokoh digambarkan pengarang dalam bentuk jalinan kehidupan yang berbeda-beda.
139
Dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd, gerak progresi digambarkan pengarang banyak melalui penggambaran tokoh utama. Yaitu dengan adanya konflik batin Julia Takra saat ditinggal mati oleh anggota keluargaya satu persatu, gerak ke kesadaran Julia untuk terus maju ke kehidupan yang akan datang secara sempurna sampai pada gerak maju ke kehidupan sadar yang dilakukan Julia saat mengetahui pembunuhan yang dilakukan oleh Melani, dengan cara memindahkan mayat Emil Musa ke kamarnya sendiri, agar Melani tidak dituduh sebagai pembunuh dan semua itu dianggap sebagai kasus bunuh diri. Sedangkan gerak regresi dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd, dapat dilihat dari tekanan batin yang dirasakan oleh Melani saat mengetahui bahwa ayah dan tantenya berniat akan menikah. Bentuk kompensasi penolakannya adalah dengan cara merubah sikap dan perilakunya menjadi perangai yang lebih buruk sampai pada proses ketidaksadran Hadi pada saat tertekan dan merasa terhina dengan perkataan yang diucapkan oleh Emil yang meyebabkan dia terpaksa membunuh majikannya tersebut.
Nilai Gerak Progresi dan Regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd dapat dipilih sebagai media pembelajaran sastra di SMA. Pembelajaran sastra novel, salah satunya terdapat dalam Silabus Bahasa Indonesia kelas sebelas semester satu. Berdasarkan Standar Kompetensi membahas cerita pendek melalui kegiatan diskusi dan Kompetensi Dasar menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan, pembelajaran nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd dapat diajarkan kepada siswa. Tujuan dari pembelajaran ini adalah siswa mampu menganalisis gaya bahasa yang terdapat dalam teks lagu. Pada pembelajaran sastra gaya bahasa dengan menggunakan langkah-langkah untuk mempermudah proses pengajaran. Alternatif pembelajarannya di SMA dapat dilakukan dengan melakukan pemilihan edisi buku, mengawali pembicaraan dengan menyenangkan, memberikan penahapan belajar, membuat cerita lebih hidup, metode bervariasi, membuat catatan ringkas dan pengkajian ulang. Sistematikanya adalah, Materi Ajar : prosedur dan sikap atau nilai. Pendekatan : Pendekatan Kooperatif (Cooperative Learning) dan pendekatan Classrom Discussion (diskusi kelas) pembelajaran kooperatif. Strategi : Teks Acak. Media : media yang tidak diproyeksikan berupa potongan-potongan kertas. Metode : ceramah, tanya jawab, pemberian tugas, kerja kelompok dan metode demonstrasi. Evalusi berupa tugas individu yang berupa pengapresiasian pemeran tokoh dan tugas kelompok yang berupa analisis nilai gerak progresi dan regresi.

  1. Saran

Analisis terhadap nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd, yang sudah dibahas diharapkan dapat memberikan manfaat dan inspirasi bagi para pembaca umumnya, mahasiswa khususnya jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Disarankan bagi para guru bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia, bisa lebih mengembangkan lagi terutama dalam hal kemampuan mengapresiasikan karya sastra. Bagi pembaca agar agar dapat dijadikan referensi dan bahan bacaan dalam mendalami dan memahami karya sastra terutama nilai gerak progresi dan regresi Jung dalam novel Misteri Mayat yang Berpindah karya S. Mara Gd .
Bagi pembaca novel ini, ada baiknya memahami isi yang terkandung dalam tiap perilaku tokoh-tokoh tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah pembelajaran dalam suatu kehidupan nyata. Sehingga, dengan adanya energi-energi positif yang terkandung dari dalam diri akan semakin meningkat.






SILABUS

Nama Sekolah : SMA
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas : XI
Semester : 1
Standar Kompetensi : Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan
Kompetensi Dasar : 7.1 Menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat
7.2 Menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan
Kompetensi
Dasar
Materi
Pembelajaran
Kegiatan Pembelajaran
Indikator
Penilaian
Alokasi
Waktu
Sumber/
Bahan/Alat

7.1 Menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat


Teks hikayat
  • ciri-ciri hikayat
  • unsur-unsur intrinsic (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat)

  • Membaca teks hikayat
  • Mengidentifikasi ciri hikayat sebagai bentuk karya sastra lama
  • Menemukan unsur-unsur intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat) dalam hikayat
  • Menceritakan kembali isi hikayat dengan bahasa sendiri

  • Mengidentifikasi ciri hikayat sebagai bentuk karya sastra lama
  • Menemukan unsur-unsur intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat) dalam hikayat
  • Menceritakan kembali isi hikayat dengan bahasa sendiri



Jenis Tagihan:
  • tugas individu
  • tugas kelompok
  • ulangan
Bentuk Instrumen:
  • uraian bebas
  • pilihan ganda
  • jawaban singkat

4


  • buku hikayat
  • Buku Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Kelas XI terbitan Pemkot Semarang
  • Buku LKS









7.2Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan

Novel Indonesia dan novel terjemahan
  • unsur-unsur intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat)
  • unsur ektrinsik dalam novel terjemahan (nilai budaya, sosial, moral, dll)


  • Membaca novel Indonesia dan novel terjemahan
  • Menganalisis unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat) novel Indonsia dan terjemahan
  • Membandingkan unsur ekstrinsik dan intrinsik novel terjemahan dengan novel Indonesia



  • Menganalisis unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsik ( alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat) novel Indonsia
  • Menganalisis unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat) novel terjemahan
  • Membandingkan unsur-nekstrinsik dan intrinsik novel terjemahan dengan novel Indonesia

Jenis Tagihan:
  • tugas kelompok
  • tugas kelompok
  • ulangan

Bentuk Instrumen:
  • uraian bebas
  • pilihan ganda
  • jawaban singkat

4


  • novel Indonesia
  • novel terjemahan
  • Buku Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Kelas XI terbitan Pemkot Semarang
  • Buku LKS


DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
Asriningsari, Ambarini; Nazla Maharani Umaya. 2010. Semiotika, Teori dan Aplikasi Pada Karya sastra. Semarang: IKIP PGRI Semarang Press.

Boeree, George. 2000. Sejarah Psikologi. Yogyakarta: Prisma Sophie.
Budiraharjo, Paulus. 1997. Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Fudyartanta. 2005. Pikologi Kepribadian Teori Neo Freudianisme. Yogyakarta: Zenith Publisher.

Harjito. 2007. Melek Sastra. Semarang: IKIP PGRI Semarang Press.
Ibrahim, Syukur. 1987. Kesusastraan Indonesia sajian latih-ajar mandiri. Surabaya: “Usaha Nasional” Surabaya Indonesia

Kartono, Kartini. 1971. Teori Kepribadian dan Mental Hygiene. Bandung: Alumni.

Keraf, Gorys. 2007. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT. Gramedia.
Nurgiantoro, Burhan. 2000. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: PT. BPFE.

Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta: Muhammadiyah University Press

Sugihastuti dan Suharto: 2006. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Suhariato. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: widya Duta.

Sujanto, Agus. 2006. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Bumi Aksara.
Suryabrata, Sumadi. 1996. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tarigan, Henry Guntur. 2000. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa
SINOPSIS

Novel ini menceritakan perjalanan hidup seorang tokoh utama yang diiringi dengan para tokoh pembantu, serta memiliki konflik yang beragam. Tokoh utama yang bernama Julia Takra adalah seorang sosok perempuan Indonesia yang memiliki keteguhan dan kemuliaan hati dibanding dengan tokoh yang lain. Dia berusaha untuk tetap bertahan hidup setelah secara berturut- turut dihadapkan dengan konflik batin karena ditinggalkan oleh orang- orang yang disayang, yang telah lebih dulu menghadap Sang Pencipta dengan kematian yang beragam. Setelah dapat mengatasi konflik batinnya, dia mulai dihadapkan kembali dengan keadaan di dalam keluarga almarhum adik kandungnya. Seorang keponakan yang menjadi tanggung jawabnya untuk dibesarkan, yang mulanya merupakan seorang anak yang penurut, mulai menjadi seorang anak yang tidak dapat diatur dan pembangkang karena salah paham dengan apa yang dilakukan oleh Julia Takra dan mantan suami almarhum adik kandungnya, yang menyebabkan Melani, sang keponakan, pergi dari rumah. Dan akibat dari itu, akhirnya sang adik ipar-pun meninggal dunia akibat dibunuh oleh seseorang, dengan mayatnya yang dipindahkan oleh sang pelaku untuk menyamarkan jejak serta menghilangkan barang bukti. Tetapi walau belum tentu kebenarannya, demi menyelamatkan keponakannya, Julia rela berbohong untuk Melani, yang dikira telah membunuh ayahnya sendiri dan konfik batin yang dialaminya kembali terjadi. Tetapi akibat kematian yang dialami oleh pembantu yang disayangi oleh Julia Takra, Sulika, akhirnya Julia Takra tak mau lagi berbohong untuk Melani, karena Julia mengira bahwa Melani-lah yang membunuh kedua orang tersebut. Tetapi dengan penyidikan yang dilakukan oleh Kapten Polisi Kosasih dan Gozali, akhirnya pembunuhan tersebut dapat diungkap, yang ternyata dilakukan oleh sopir pribadi Emil Musa, yang sakit hati dengan perkataan Emil Musa, saat sang sopir terpergok tengah bersama dengan anak gadisnya di sebuah hotel bintang empat. Kisah ini menuai banyak air mata dan ketegangan, dengan diakhiri penyesalan Melani telah menuduh tantenya sendiri. Sampai pada akhirmya Melani dan Julia Takra, kembali lagi hidup seperti dulu, walaupun hanya tinggal berdua, tanpa kasih sayang orang-orang tercinta yang telah mendahului mereka.



No comments: