Laman

Thursday, June 30, 2011

PENDEKATAN KOMUNIKATIF


Dengan adanya pendapat bahwa proses belajar bahasa adalah proses pembentukan kaidah atau rule formation process (Chomsky,1957), dan bukan proses pembentukan kebiasaan atau habit formation process, hal ini membawa konsekuensi pada peranan siswa. Siswa tidak lagi dipandang sebagai peniru atau pembeomasukan bahasa yang sangat terkendali, tetapi merupakan pelaku aktif dalam proses kreatif belajar bahasa. Sebaliknya, guru tidak lagi merupakan pemberi informasi saja (information giver), tetapi juga penerima informasi (information receiver) dan moderator. Kesalaha-kesalahan yang dibuat siswa dianggap sesuatu yang wajar dan tidak dapat dihindari. Berbeda dengan Analisis Kontrastif dari Lado, bahasa ibu tidak dianggap sebagai sumber interferensi tetapi sumber hipotesis tentang bagaimana bahasa sasaran berfungsi. Dengan demikian mempelajari bahasa seharusnya dilihat sebagai suatu proses kognitif yang wajar dimana siswa sendiri akhirnya yang bertanggung jawab.
Biarpun ‘revolusi’ Chomsky mempunyai dampak yang besar di bidang lain, untuk maksud-maksud pedagogis dalam pengajaran bahasa boleh dikatakan kecil. Seperti halnya para strukturalis sebelumnya, para ahli gramatika transformasi memusatkan perhatian mereka pada sintaksis. Baru pada akhir tahun enam puluhan Dell Hymes (1966) memperkenalkan perbedaan antara linguistic competence dan communicative competence. Kalau linguistic competence diartikan sebagai the unconscious knowledge of language structure of the ideal speaker-listener, communicative competence diartikan sebagai the knowledge of how to use language appropriate to a given social situation. Oleh karena itu, apabila tujuan pengajaran bahasa beralih ke pengembangan kemampuan komunikatif siswa, maka perhatian guiru harus lebih dipusatkan kepada penggunaan bahasa (use) untuk maksud-maksud komunikatif dari pada kepada usage, penguasaan kaidah-kaidah gramatikal yang memungkinkan siswa dapat membuat kalimat-kalimat yang benar (Widdowson,1978).
Berbeda dengan Metode Audiolingual yang lahir dan berkembang atas landasan teori Ilmu Linguistik Struktural dan Behaviorisme di Amerika Serikat, Metode Komunikatif lahir dari situasi dan tradisi pengajaran bahasa di Inggris, yang tidak terikat pada satu aliran saja dalam Ilmu Linguistik atau disiplin ilmu lainnya tetapi memanfaatkan apa saja yang baik dari berbagai disiplin ilmu lain. Surutnya popularitas Metode Lisan dan Situasional di Inggris - suatu metode yang dilandasi oleh aliran Linguistik Struktural versi Inggris dan oleh karena itu juga dikecam oleh Chomsky – dan makin eratnya kerjasama antara negara-negara di Eropa Barat dalam bidang kebudayaan dan pendidikan merupakan dua faktor yang berpengaruh  terhadap lahir dan berkembangnya Metode Komunikatif (Richards and Rogers,1986).
Sampai dengan awal tahun enam-puluhan Metode Lisan dan Situasional merupakan metode pengajaran bahasa asing yang paling lazim dipakai di sekolah-sekolah di Inggris. Metode ini mirip dengan Metode audiolingual, bedanya metode ini menekankan aspek situasi dari pada sekedar penyajian struktur-struktur kalimat  diluar konteks. Dorongan untuk mengganti metode pengajaran bahasa timbul sebagai akibat hasil kerjasama yang makin erat antara negara-negara di Eropa Barat yang bergabung dalam European Common Market (Pasaran Bersama Eropa) dan Council of Europe (Dewan Eropa).
Pada tahun 1971 sekelompok ahli pengajaran bahasa mengembangkan program pengajaran bahasa atas dasar system satuan kredit. Dalam program ini, materi pelajaran disusun dan dipecah-pecah menjadi satuan-satuan yang lebih kecil atas dasar kebutuhan siswa untuk berkomunikasi. Satuan-satuan itu mewadahi tujuan-tujuan pengajaran yang kemidian diidentifikasikan kedalam dua tingkat penguasaan ketrampilan khusus. Agar dapat dapat menguasai ketrampilan khusus, seseorang harus mencapai tingkat ambang penguasaan atau threshold level (van Ek dan Alexander,1975) Salah satu hasil yang menonjol dari program ini adalah dikembangkannya silabus yang menekankan aspek fungsi dan komunikasi bahasa. Hasil kerja Wilkins (1976) Notionol Syllabus kemudian menjadi standar bagi metode ini.
Setelah secara ringkas kita tinjau latar belakang Metode Komunikatif, marilah kita lihat cirri-ciri pokok pengajaran bahasa yang komunikatif. Menurut Finocciaro dan Brumfit (1983), pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan komunikatif mempunyai cirri-ciri pokok sebagai berikut:
1.      Kebermaknaan sangat penting, dibandingkan dengan Metode Audiolingual yang lebih mengutamakan struktur dan bentuk bahasa.
2.      Belajar bahasa berarti belajar berkomunikasi, bukan mempelajari struktur, bunyi atau kosakata secara terpisah-pisah.
3.      Tujuan yang ingin dicapai adalah kemampuan komunikatif atau communicative competence, yaitu kemampuan menggunakan sistem bahasa secara efektif dan betul.
4.      Kelancaran menggunakan bahasa yang dapat diterima menjadi tujuan utama yang ingin dicapai. Keakuratan penggunaan bahasa dilihat dari konteks penggunaannya. Kontekstualisasi merupakan premis dasar.
5.      Yang ingin dicapai adalah komunikasi yang efektif, bukan overlearning.
6.      Materi pelajaran disusun dan ditahapkan melalui pertimbangan isi, fungsi, atau makna yang menarik.
7.      Variasi kebahasaan merupakan konsep sentral dalam materi pelajaran dan metodologi.
8.      Alat apapun yang dapat membantu siswa dalam proses belajar-mengajar dapat digunakan, beraneka ragam sesuai dengan umur, minatn dan sebagainya.
9.      Apabila diperlukan dan berguna bagi siswa, penerjemahan dapat dilakukan.
10.  Jika diperlukan, penggunaan bahasa ibu dapat dilakukan.
11.  Dialog, apabila digunakan, berkisar pada fungsi-fungsi komunikatif dan biasanya tidak dihafalkan.
12.  Bukan ucapan yang persis seperti ucapan penutur asli yang dicari, tetapi ucapan yang dapat difahami.
13.  Usaha untuk berkomunikasi dianjurkan sejak tingkat permulaan.
14.  Kaji ulang atau drill dapat dilakukan tetapi secara periferal saja.
15.  Pelajaran membaca dan menulis dapat dimilai sejak hari pertama, jika dikehendaki.
16.  Bahasa diciptakan oleh individu-individu sering kali melalui ‘trial and error’
17.  Guru membantu siswa dengan cara apa pun yang mendorong siswa menggunakan bahasa yang dipelajari.
18.  Siswa diharapkan dapat berinteraksi dengan orang lain melalui kerja berpasangan atau kelompok, baik secara langsung maupun melalui tulisan.

Pengajaran bahasa yang komunikatif nampak lebih humanistic yaitu sentralitas kegiatan kelas lebih banyak terletak pada siswa ketimbang supremasi guru (learner-centered rather than teacher-centered), dan guru dalam proses ini berfungsi sebagai fasilitator; siswa diberi kebebasan, otonomi, tanggungjawab dan kreativitas yang lebih besar dalam proses belajar (Stevick,1982). Sebagai fasilitator guru mengkoordinasikan kegiatan siswa dan harus bisa menjamin kegiatan-kegiatan kelas berjalan dengan baik. Dalam pengajaran membaca dan menulis, guru bisa juga berperan sebagai pengajar biasa: menyajikan materi, memberi latihan dan melakukan evaluasi serta memberikan umpan balik. Dalam kegiatan-kegiatan komunikatif, guru berperan sebagai individu yang diharapkan memberi nasihat, memantau kegiatan siswa, menentukan latihan, dan memberikan bimbingan (Littlewood,1981).
TES BAHASA KOMUNIKATIF
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa cara mengukur sesuatu – dalam hal ini tes bahasa – dipengaruhi oleh tes teori atau metode mengajarkannya. Discrete point testing adalah konsekuensi discrete point teaching. Menurut Schultz dan Barts (1975) untuk dapat mengembangkan kemampuan komunikatif diperlukan syarat-syarat sebagi berikut: 1. situasi hidup yang bermakna dan otentik, 2. motivasi, 3. kebebasan menggunakan bahasa, 4. kebebasan berkreasi dan bereksperimen bahasa, 5. lingkungan kelas yang mendukung tanpa takut menjadi bahan tertawaan, dan 6. mengutamakan anugerah dari pada kritik terhadap kesalahan.
Barbara Snyder (1984) menyarankan contoh-contoh tes komunikatif dengan menggunakan bentuk-bentuk tes konvensional seperti tes pilihan ganda (multiple-choice tes), isian, true-false, dan sebagainya.


No comments: