Laman

Friday, June 24, 2011

nilai religius dalam novel: sebuah kajian

A. Latar Belakang Masalah
Sebuah karya sastra tentu tidak bisa terlepas dari pengarangnya. Sebuah karya sastra sebelum sampai kepada pembacanya, tentu melewati proses yang panjang. Proses dari mulainya dorongan untuk menulis, pencarian inspirasi, pengendapan ide, penulisan sampai pada akhirnya tercipta sebuah karya sastra yang dapat membawa kita keluar dari dunia nyata ini, sejenak bernostalgia dalam sebuah ruang hampa ruang fiksi yang memisahkan kita dari dunia nyata. Akan tetapi karya yang baik juga membekali kita dengan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan kita selanjutnya (Sudjiman, 1988: 15).
Menurut Hardjana (1994: 10) karya sastra sebagai pengungkapan dari apa yang yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, yang telah direnunngkan, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik secara langsung lagi kuat, hakikatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa.
Karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Selain memiliki nilai-nilai yang syarat akan nasehat, sastra juga dapat digunakan sebagai sarana hiburan. Seorang dapat mengambil pesan yang terdapat dalam karya sastrra jika ia mampu menganalisis dan memahami isi dari sastra itu (Murywantobroto, 2008: 8).
Karya sastra mengungkapkan berbagai aspek kehidupan manusia. Dari berbagai aspek itu aspek/nilai-nilai religius termasuk didalamnya, nilai religius salah satunya adalah mengenai nilai keimanan. Iman kepada Allah berguna bagi kehidupan didunia dan akherat. Nilai ini mengandung tiga unsur 1)mengikrarkan dengan lidah, bahwa tiada tuhan selain Allah, dan nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah, 2) membenarkan dengan hati, bukan seperti orang-orang munafik yang mengatakan dengan lidah apa yang tidak mereka yakini didalam hati, 3) mengamalkan dengan anggota, dengan menunaikan segala kewajiban, meninnggalkan seluruh larangan dan bertingkah laku dengan akhlak yang islami, sebab amalan adalah bukti nyata atas keimanan yang sungguh-sungguh. Iman mengalami perubahan; bertambah dan berkurang. Ia bertambah dengan keta'atan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Keberadaan unsur religius dalam karya sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan , sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mula segala sastra adalah religius (Mangunwijaya dalam Nurgiyantoro, 1995: 326). istilah religius membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya menyaran pada makna yang berbeda.
Religius tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak) tetapi dalam pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis atau konseptualisasi. “Tuhan tidak meminta agar manusia menjadi teolog, tetapi menjadi manusia yang beriman”, begitulah dalam begitu banyak varian dan nuansa yang kita dengar. Bagi manusia religius ada “sesuatu” yang dihayatinya keramat, suci, kudus, adi-kodrati. “yang kudus”, demikian menurut antropologi Mircca Eliade (melalui Mangunwijaya, 1988: 17), adalah yang nyata dalam arti sejati, adalah kekuasaan, daya kekuatan, sumber hidup dan kesuburan. Dambaan manusia religius untuk hidup dalam kekudusan adalah hasrat untuk hidup dalam dunia yang nyata dan berdaya, dan tidak  dalam suatu dunia khayalan.
Karya sastra sebagai ungkapan makna hidup dan kehidupan sebagai mana yang tertangkap oleh batin seorang pengarang, yang mengandung aspek religius mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia. Melalui karya sastra yang didalamnya terdapat aspek religius, pembaca dapat memperoleh manfaat untuk menerapkan hidup berpatokan pada agama. Setidaknya dengan adanya nilai religius dalam karya sastra membawa pengaruh yang baik bagi pembaca, meskipun pengarang  tersebut hanya sedikit tetapi setidaknnya dapat mengubah perilaku moral manusia sedikit lebih baik karena didalam karya sastra tersebut mengandung nilai religius. Menurut Mangunwijaya (1988: 16) menyebutkan semua satra yang baik selalu religius.
Wahyudi Asmaramany, dilahirakan di tepian samarinda pada tanggal 19 april 1986. penulis ,muda ini mengenyam dunia di SD 026, PTN 13, dan Madrasah Aliyah Negeri 2 Model Samarinda. Anak kedua dari empat bersaudara ini mempunyai hobi membaca buku-buku rohani dan mendengarkan murottal. Jika ada waktu senggang ia suka menonton film kartun Tom and Jerry dan Uzumaki Naruto. Moto hidupnya “sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-ku), maka azabku sangat pedih”. (QS. Ibrahim (14): 7).
Dari hal diatas penulis tertarik untuk menganalisis nilai religius novel jiwa-jiwa bercahaya karya Wahyudi Asmaranya.
B. Pembahasan
Nilai religius dalam karya sastra ini dapat ditemukan dalam perilaku tokoh-tokh yang ada dalam novel, baik tokoh utama maupun tokoh tambahan.  Berikut ini uraian aspek religius yang dimiliki  tokoh.
1. Beriman
“Selepas solat subuh kami berzikir dan berdoa bersama. Aku, Fatimah dan Aisyah mengambil musaf Al-Quran, seperti biasa, setiap selesai menjalakna solat fardhu, kami selalu membaca Al-Quran sebagai satu kewajiban." (Asmaramany, 2008: 17).

Kutipan diatas menjelaskan Faris, Fatimah dan Aisyah setelah solat subuh mereka berdzikir dan berdzikir dan berdoa, tak lupa pula mereka membaca al-quran sebagai kewajiban. Hal itu membuktikan bahwa mereka beriman.
Bentuk perwujudan beriman adalah dengan bersyukur kepada tuhan seperti pada kutipan berikut ini:
“Rasa makanan ini sesunguhnyya tidak sesuai dengan seleraku, namun begitu, aku tetap bersyukur karena masih bisa makan dengan tenang, tanpa harus kelaparan menahan perihnya perut. Bagiku semua makanan akan terasa lezat jika ketika memakannya diringi rasa syukur....." (Asmarany, 2008: 66).

Sikap yang dialami Faris adalah bentuk rasa syukur karena dia masih mampu untuk makan, walaupun tiada berselera. Hal ini menunjukkan faris beriman.
Beriman juga terdapat dalam kutipan berikut:
“Maaf, Mas saya tidak tahu. Masalah desa hanya Allah saja yang menentukannya. Namun, cobalah Mas Amrul renungkan, sebesar apapun dosa yang pernah kita lakukan, sesungguhnya ampunan Allah itu lebih luas. Percayalah, sesungguhnya Allah itu maha pengampun lagi maha penerima taubat”. (Asmarany, 2008: 242).

Kutipan diatas  menjelaskan bahwa Faris beriman yaitu percaya bahwa tuhan maha pengampun lagi maha penerima taubat.
2. Taat
Selain keimanan juga adanya ketaan. Dalam hal ini dapat pula kita temui dalam kutipan berikut ini:
“Kami pun menunaikan shalat Tahajjud berjamaah, dan akulah yang menjadi imamnya, seperti biasanya, kami melaksanakan shalat tahajjud delapan rekaat., dilanjutkan dengan tiga rekaat shalat witir sebagai penutup. (Asmarany, 2008: 17).

Kutipan diatas menunjukkan tentang bagaimana ketaatan mereka, yaitu dalam menjalankan shalat tahajjud berjamaah dan shalat witir.
Sikap saat juga terdapat pada kutipan berikut:
“Astagfirullah! Jadi, kemarin kamu gak shalat zhuhur? Inget ya, Nggo, shalat itu wajib. Amal yang pertama kali dihisab itu amal kita....” kataku setengah terkejut” (Asmarany, 2008: 170).

Kutipan diatas menunjukkan sikap ketaatan Faris, ia mengingatkan kepada temannya untuk melaksanakan shalat lima waktu, itu wajib hukumnya.
3. Pasrah
Selain nilai religius, beriman, dan taat, pasrah juga termasuk nilai religius,  terdapat dalam kutipan berikut ini:
“Nak Faris, inilah tanda-tanda kebesaran Allah terhadap hambanya yang berserah diri.” ujar K.H. Abdullah Marisie sambil tersenyum. (Asmarany, 2008: 123).

sikap tersebut menunjukkan tentang berpasrah diri, bagaimana K. H. Abdullah mengajarkan bahwa faris pasrah kepada tuhan.
Sikap pasrah juga terdapat dalam kutipan berikut ini:
“Kalian semua tenang jangan takut. Apapun yang terjadi nanti itu sudAh takdir kita. Kalian berdoalah. Semoga Allah melindungi kita semua. Aku akan tetap keluar dan kalian di dalam saja” ujarku pada mahasiswa itu.” (Asmarany, 2008: 204).

Kutipan diatas menunjukkan teman-teman Faris harus tetap berdoa dan pasrah kepada Allah bahwa takdir manusia hanya ada di tangan Allah.
4. Ikhlas
Dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini;
“Bu. Faris ikhlas melaksanakan permintaan ayah. Faris malu jika menolaknya. Bagaimanapun, ayah sudah banyak berkorban untuk faris...”

Kutipan diatas menunjukkan tentang bagaimana keikhlasan Faris untuk memenuhi permintaan ayahnya.
5. Sabar
Nilai religius yang lain yaitu sabar, terdapat dalam kutipan berikut ini:
“Indri, kamu tenang dulu, ya?kamu harus bersabar dan tabah. Mungkin ini cobaan dari Allah.....”

Kutipan tersebut menjelaskan tentang sikap sabar kepada Indri dalam menghadapi  segala masalah dan cobaan, bahwa semua datangnya dari Allah.
C. Penutup.
Dari hasil analisi terhadap novel ditemukan nilai-nilai religius yang tercermin dari sikap-sikap tokoh-tokohnya nilai religius tersebut meliputi:
1. keimanan : dapat ditemukan dan dilihat dari bagaimana tokoh-tokoh yang senantiasa menjalankan ibadah, hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki iman.
2. taat : yaitu dari ketaatan para pelaku yang senantiasa melakukan kewajibannya menjalankan ibadah sebagai orang yang taat beragama.
3. pasrah : dapat ditemukan  dari bagaimana tokoh yang memasrahkan dirinya kepada Allah, bahwa mereka percaya takdir mereka hanya ada di tangan Allah.
4. ikhlas : dilihat dari tokoh Faris yang ikhlas mentaati permintaan orang tuanya, hal demikian membuktikan bahwa seorang anak yang ikhlas menuruti kehendak orang tuanya sebagai sebuah bakti.
5. sabar : dapat ditemukan dari bagaimana para tokoh dengan sabar menghadapi segala cobaan dan masalah yang dihadapi.

No comments: