Laman

Friday, June 24, 2011

KAJIAN TEORI METODE KARYA SASTRA

A.    SASTRA SEBAGAI SISTEM SEMIOTIK
            Secara padat Dolezel, Stout (dalam Makaryk, 1993: 183-189) dan Ratna (2004: 96-120) menjelaskan pendekatan semiotic dimulai dari pengertian, latar belakang sejarah pertumbuhan , aliran semiotic, dan hubungan semiotic dengan pendekatan lainnya. Menurutnya, strukturalisme berhubungan erat atau tidak dapat dipisahkan dengan semiotic sebagai sarana untuk memahami karya sastra, untuk menangkap makna unsure-unsur struktur karya sastra dalam jalinan dengan keseluruhan karya yang harus memperhatikan system tanpa yang dipergunakan dalam karya sastra.
            Karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan, dan keinginan pengarang lewat bahasa. Bahasa itu sendiri tidak sembarang bahasa, melainkan bahasa khas. Yakni, bahasa yang memuat tanda-tanda atau semiotic. Bahasa itu akan membentuk system ketandaan yang dinamakan semiotic dan ilmu yang mempelajari ini adalah semiologi. Semiologi juga sering disebut semiotika, artinya ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam karya sastra.
            Menurut Barthes (Kurniawan, 2001: 56) tanda akan memuat empat substansi, yaitu: (1) substansi ekspresi, misalnya suara dan articulator, (2) bentuk ekspresi yang dibuat dari aturan-aturan sintagmatik dan paradigmatic, (3) substansi isi, misalnya adalah aspek-aspek emosional, ideologis, dan pengucapan sederhana dari petanda, yakni makna positifnya. Bentuk isi, ini merupakan susunan formal petanda diantara petanda-petanda itu sendiri melalui hadir tidaknya sebuah tanda semantic. Dalam lapangan semiotic, pengertian tanda (petanda) ada dua prinsip, yaitu (1) penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan (2) pertanda (signified) atau yang yang ditandai yang merupakan arti tanda.
Pierce (1839-1914) seorang filsuf Amerika yang meletakkan dasar bagi sebuah bidang studi yang disebut semiotic. Pierce menyebutkan tiga jenis tanda sesuai dengan jenis hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan.  Jenis tanda tersebut:
1)      Ikon merupakan tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk. Misalnya, foto dengan orang yang difoto, atau peta dengan wilayah geografisnya.
2)      Indeks yaitu tanda yang mengandung hubungan kausal dengan apa yang ditandakan. Misalnya asap menandakan adanya api, mendung menandakan bakal turun hujan.
3)      Symbol atau tanda, yaitu suatu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer, manasuka, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan social tertentu. Sebuah system tanda yang utama yang menggunakan symbol adalah  bahasa. Arti symbol ditentukan oleh konvensi masyarakat.
Bahasa merupakan system ketandaan tingkat pertama. Dalam system ketandaan tingkat pertama ini ditingkatkan menjadi system ketandaan tingkat kedua. Arti bahasa tingkat pertama disebut arti (meaning). Sastra sebagai system tanda tingkat kedua biasa disebut makna (significance) yang merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Dalam karya sastra, arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra disamping konvensi bahasa sendiri. Oleh karena itu yang dimaksud makna (bahasa) sastra itu bukan semata-mata arti bahasanya. Jadi,  yang dimaksud makna karya sastra itu meliputi arti bahasa, suasana, perasaan, intensitas, arti tambahan (konotasi), daya liris, dan segala pengertian tanda-tanda yang ditimbulkan konvensi sastra. Menurut Pradopo (2002: 272) studi sastra bersifat semiotic itu adalah usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai  suatu system tanda-tanda dan menetukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna-makna. Dengan melihat variasi-variasi didalam struktur karya sastra atau hubungan-dalam (internal-relation) antar unsurnya akan dihasilkan bermacam-macam makna.
Bahasa sebagai system semiotic tingkat pertama diorganisasikan sesuai dengan konvensi-konvensi tambahan yang memberikan makna dan efek-efek lain dari arti yang diberikan oleh penggunaan bahasa biasa. Oleh karena memberi makna karya itu dengan jalan mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sastra, maka menganalisis karya sastra itu adalah memburu tanda-tanda. Dalam system semiotic, menghubungkan teks sastra dengan hal-hal diluar dirinya itu dimungkinkan, sesuai dengan tanda bahasa yang bermakna, yang pemakaiannya tidak lepas dari konvensi dan hal-hal diluar strukturnya. Berhubungan dengan hal ini, dalam metode sastra semiotic dikenal dengan hubungan intertekstual untuk memberi makna lebih penuh kepada sebuah karya sastra daripada jika karya sastra hanya dianalisis secara structural murni. Prinsip hubungan antar teks ini disebabkan oleh kenyataan bahwa karya sastra itu tidak lahir dalam kekosongan buudaya, termasuk sastra. Sebuah karya sastra merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah system konvensi atau kode sastra dan budaya. Menurut pandangan intertekstualitas, sebuah karya sastra merupakan jawaban terhadap karya sastra yang lain yang lahir sebelumnya, baik berupa penerusan konvensi sastranya maupun penentangan konvensi ataupun konsep estetik, atau yang lain. Untuk memberiakan makna atau konkretisasi sebuah karya sastra, prinsip intertekstualitas itu perlu diterrapkan, yaitu dengan jalan membandingkan system tanda dalam hipogramnya dengan system tanda karya sastra yang menanggapi dan mentranformasikannya. System tanda tersebut berupa konvensi-konvensi tambahan dalam sastra, yaitu tanda-tanda dalam karya sastra yang memungkinkan diproduksinya makna karya sastra.
Sejalan dengan triadic piercean, diketahui bahwa konsep triadic tersebut bersifat dinamisme internal. Dilihat dari segi cara kerjanya, terdapat (1) sintaksis semiotika, yaitu studi dengan memberikan intensitas hubungan tanda dengan tanda–tanda yang lain, (2) semantic semiotic, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan tanda dengan acuannya, dan (3) pragmatic semiotic, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan antara pengrirm dan penerima.
Dilihat dari factor yeng menentukan adanya tanda, maka tanda dibedakan sebagai berikut:
1.      representamen ground, tanda itu sendiri sebagai gejala  umum:
             a.      qualisign, terbentuk oleh kualitas: warna hijau,
            b.      sinsigns, tokens, terbentuk oleh realisasi fisik: rambu lalu lintas,
             c.      legisigns, type, berupa hukuman: suara wasit dalam pelanggaran.
2        Object (designatum, denotatum, referent), yaitu apa yang diacu:
             a.      Ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa,
            b.      Indeks, hubungan tanda dan objek karena sebab akibat,
             c.      Symbol, hubungan tanda dan objek karena kesepakatan.
3)      Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima:
             a.      Rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep,
            b.      Decisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif,
             c.      Argument, tanda tampak sebagai nalar: proposisi.
Diantara representamen, object, dan interpretant, yang paling sering diulas adalah object. Menurut Aart van Zoet (Ratna, 2004: 102) diantara ikon, indeks dan symbol, yang terpenting adalah ikon. Alasannya di satu pihak segala sesuatu merupakan ikon karena segala sesuatu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain; di lain pihak, sebagai tanda agar dapat mengacu pada sesuatu yang lain selain dirinya agar ada hubunga yang representative, maka syarat yang diperlukan adalah adanya kemiripan. Ikonisitas selalu melibatkan indeksikalitas dan simbolisasi. Teks sastra kaya dengan ikon.
Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara semiotic. Cara yang paling umum adalah dengan menganalisis karya melalui dua tahapan sebagaimana ditawarkan oleh Wellek dan Warren (1993) yaitu (a) analisis intrinsic (analisis mikro struktur), dan (b) analisis ekstrinsik (analisis makrostruktur). Cara yang lain seperti yang dikemukakan oleh Abrams (1958: 6-29) dilakukan dengan menggabungkan empat aspek, yaitu (a) pengarang (ekspresif), (b) semestaan (mimetic), (c) pembaca (pragmatic), dan (d) objektif (otonom).
            System kerja semiotic dapat menggunakan dua model pembacaan, yaitu heuristic dan hermeneutic. Pembacaan heuristic adalah telaah dari kata-kata, bait-bait (line), dan term-term karya sastra. Sedangkan pembacaan hermeneutic adalah penafsiran atas totalitas karya sastra. Meskipun konsep analitik ini banyak digunakan dalam penelitian puisi, tidak berarti tidak dapat diterapkan pada genre lain. Genre drama dan prosa pun dapat memanfaatkan hal ini.
            Fokkema dan Kunne-Ibsch (1977:166) memberikan acuan bahwa  penelitian semiotic sekurang-kurangnya perlu memperhatikan tiga aspek utama, yaitu: (a) the construction of abstract scientific models, (b) eksplanatory models, (c) schematic simplication. Sedangkan menurut Riffaterre (1978: 1-2) penelitian semiotic juga memerlukan tiga hal juga, yaitu : (a) displacing of meaning (penggantian arti), (b) distorting of meaning (penyimpangan arti), (c) creating of meaning (penciptaan arti).



B.     PENDEKATAN PRAGMATIK, MIMETIK, EKSPRESIF, DAN OBJEKTIF
1.      pengertian pendekatan
pendekatan adakalanya disamakan  dengan metode (Ratna, 2004:53-55). Lebih lanjut, Ratna menguraikan bahwa secara etimoogis, pendekatan berasal dari kata appropio, approach, yang diartikan sebagai jalan dan penghampiran. Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek, sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data. Dengan dasar bahwa pertimbangan bahwa sebuah penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang tersusun secara sistematis dan metodis, maka perlu dibedakan antara pendekatan dan metode.
Pendekatan pada dasarnya memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi baik dengan metode maupun teori. Dalam sebuah pendekatan dimungkinkan untuk mengoperasikan sejumlah metode dan teori. Dalam hubungan inilah, pendekatan disejajarkan dengan bidang ilmu tertentu, seperti pendekatan sosiologi sastra, mitopoik, intrinsic dan ekstrinsik, pendekatan objektif, ekspresif, mimetic, pragmatic dan sebaginya.
Empat komponen utama pendekatan sastra yang dikemukakan Abrams menjadi bagian penting dalam teori strukturalisme. Empat pendekatan yang dimaksud adalah (1) pendekatan ekspresif, (2) pendekatan mimesis, (3) pendekatan pragmatic, dan (4) pendekatan objektif.
Ø      Pendekatan ekspresif
Pendekatan ekspresif ini tidak semata-mata memberikan perhatian terhadap bagaimana karya sastra itu diciptakan tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadi dalam karya sastra yang dihasilkan. Wilayah studi pendekatan ini adalah diri pengarang, pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil karyanya.
Menurut Abrams (1958: 22) pendekatan ekspresif ini menempatkan karya sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi, pikiran dan perasaan pengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang melahirkan produksi persepsi-persepsi, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang dikombinasikan. Praktik analisis dengan pendekatan ini mengarah pada penelusuran kesejatian visi pribadi pengarang yang dalam struktur genetic disebut pandangan dunia. Seringkali pendekatan ini mencari fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sasstrawan yang scara sadar atau tidak telah membukakan dirinya dalam  karyannya tersebut. Dengan demikian secara konseptual dan metodologis dapat diketahui bahwa pendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud ekspresi pengarang, (2) produk imjinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaannya, (30 produk pandangan dunia pengarang.
Secara metodis, langkah kerja yang dapat dilakukan melalui pendekatan ini adalah: (1) memerikan sejumlah pikiran, persepsi, dan perasaan pengarang yang hadir secara  langsung atau tidak di dalam karyanya, (2) memetakan sejumlahh pikiran, persepsi, dan perasaan pengarang yang ditemukan dalam karyanya kedalam beberapa kategori factual teks berupa watak, pengalaman dan ideology pengarang, (3) merujukkan data yang diperoleh pada tahap 1 dan 2 kedalam fakta-fakta khusus menyangkut watak, pengalaman hidup, dan idelogi pengarang secara fakstual luar teks (data sekunder berupa data biografis), dan (4) membicarakan secara menyeluruh, sesuai tujuan, pandangan dunia pengarang dalam konteks individual maupun social dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan teks karya sastra hasiil ciptaannya dengan data biografisnya.
Ø      Pendekatan mimesis
Dasar pertimbangan pendekatan mimesis adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnnya melainkan hanya sebagai peniruan kenyataan (Abrams, 1958:8). Kenyataan disini dipakai dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang berada di luar karya sastra, seperti benda-benda yang dapat dilihat dan diraba, bentuk-bentuk kemsyarakatan, perasaan, pikiran, dan sebgainya (Luxemburg 1989: 15). Melalui pandangan ini, secara hierarkis karya seni berada dibawah kenyataan. Akan tetapi marxis dan sosiologi sastra memandang karya seni dianggap sebagai dokumen social; karya seni sebagai refleksi dan kenyataan di dalamnya sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan.
Sehubungan dengan pendekatan mimesis, Segers (2000: 91-94) mengungkapkan konsep yang dipakai kaum maxist. Menurut konsep ini konsep imitasi harus menjadi norma dasar telaah. Kritik Marxist menyatakan bahwa dunia fiksional teks sastra seharusnya merefleksikan realitas social.
Adapun John Baxter (dalam Makaryk, 1993: 591-593) menguraikan bahwa mimesi adalah hubungan dinamis yang berlanjut antara suatu seni karya yang baik


dengan  alam semesta moral yang nyata atau masuk akal. Menurut Baxter, metode terbaik mimesis adalah dengan jalan memperkuat dan memperdalam pemahaman moral, menyelidiki dan menafsirkan semesta yang diterima secara riil. Proses tidak berhenti hanya dengan apa pembaca atau penulis mencoba mengetahuinya. Mungkin rentang batas yang riil dengan yang dihadirkan dapat dikhayalkan walaupun hanya sesaat dalam kondisi  riil, atau suatu perspektif pada aspek yang riil yang tidak bisa dijangkau jika tidak dilihat. Kenyataan kadang digambarkan berbeda karena tidak sesuai dengan pandangan kenyataan yang menyeluruh. Oleh krena itu, kenyataan tidak dapat dihadirkan dalam karya dalam cakupan yang ideal. Mimesis sama dan sebangun dengan apa yang Coleridge sebut sebagai ‘imajinasi yang utama’ yang Whalley disebut sebagai hasil dari kesadaran tinggi.
Melalui penjabaran di atas, dapat diketahui secara konseptual dan metodologis bahwa pendekatan mimesis menemptakan karya sastra sebagai: (1) produk peniruan kenyataan yang diwujudkan secara dinamis, (2) sepresentasi kenyataan semesta secara fiksional, (3) produk dinamis yang kenyataan didalamnya  tidak dapat dihadirkan dalam cakupan yang ideal, dan (4) produk imajinasi yang utama dengan kesadaran tinggi atas kenyataan. Secara metodis, langkah kerja analisis melelui pendekatan ini dapat dapat di susun kedalam langkah pokok, yaitu: (1) mengungkapkan dan mendeskripsikan data yang mengarah pada kenyataan yang ditemukan secara tekstual, (2) menghimpun data pokok atau spesifik sebagai variable untuk dirujukkan kedalam pembahasan berdasarkan kategori tertentu, sesuai tujuan, misalnya menelusuri unsure fiksionalitas sebagai refleksi kenyataan secara dinamis, dsb., (3) membicarakan hubungan spesifikasi kenyataan dalam teks karya sastra dengan kenyataan fakta realita, dan (4) menulusuri kesadaran tertinggi yang terkandug dalam teks karya sastra yang berhubungan dengan kenyataan yang direpresentasikan dalam karaya sastra.
Ø      Pendekatan pragmatic
Pendekatan pragmatic menurut Abrams (1958: 14-21) memberikan perhatian utama terhadap peran pembaca. Pendekatan ini memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca. Dengan mempertimbangkan indicator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatis di antaranya berbagai tanggapan masyarakat atau penerimaan pembaca tertentu terhadap sebuah katya sastra, bai dalam kerangka sikronis maupun diakronis.
Segers (200: 35-47) dalam kaitannya dengan pendekatan pragmatic, mengawali pembicaraannya mengenai estetika resepsi. Menurutnya, secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah baru dalam studi sastra karena berpandangan bahwa sebuah teks satra seharusnya dipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca. Dalam kaitannya, Segers memetakan estetika resepsi ke dalam tiga bagian utama, yaitu (1) konsep umum estetika resepsi, (2) penerapan praktis estetika resepsi, dan (3) kedudukan estetika resepsi dalam tradisi studi sastra .
Estetika resepsi yang masuk ke dalam wilayah pendekatan pragmatic memuat konsep-konsep dasar seperti yang dikemukakan Jaus dan Iser. Kata kunci yang dikemukakan tersebut adalah rezeption and wirkungsasthetik “tanggapan dan efek”. Menurutnya pembacalah yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pemabac dalam komdisi demikianlah yang dapat menentukan nasib dan perannnya dari segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang terwujud dalam horisan harapan pembaca masing-masing. Baru dalam kaitannya dengan pembaca, karaya sastra mendapatkan makna dan fungsinya. Tjuh bagian penting yang menjadi dasar dari teori estetika rsesepsi Jauss, yaitu: (1) pengalaman pembaca, (2) horizon harapan, (3) nilai estetik, (4) semangat zaman, (5) rangkaian sastra, (6) perspektif sinkronnik dan diakronik, dan (7) sejarah umum.
Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menwarkan efek yang bermacamm-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktifitas pembacaan pembacannya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak tergantung pada organisasi fakta-fakta literer, tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembac atas pengalaman sebelumnnya.
Horizon harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk masing-masing karya di dalam momen histories melalui bentuk dan pemahaman atas genre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari oposisi antara pisi dan bahhasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam kekosongan informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapan-harapan atas karya yang dibacanya.
Horizon harapan atas sebuah karaya membuka peluang untuk menentukan karakter artistiknya melalui kesamaan dan tingkat pengaruhnya pada syarat pembaca. Penandaan perbedaan jarak estetik antara horizon harapan yang diberinya dan tampilan suatu karya baru akan mengarahkan potensi-potensi resepsi yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan horizon sampai pada penghilangan pengalamanan yang umum dikenal atau sampai pada peningkatan kesadaran pengalaman yang baru saja dicetuskan. Kondisi yang mengindikasikan adanya jarak estetik ini dapat menjadi objektif menurut sejarah sejalan dengan spectrum reaksi pembaca dan pertimbangan kritiknnya.
Eprihal semangat zaman, rekonstruksi horizon harapan pada permukaan suatu karya yang telah diciptakan dan diterima di masa lalu memungkinkan pembacanya mempertanyakan kembali tentang teks tersebut. Proses pembacaan diarahkan  kepada bagaimana pembaca jaman sekarang bisa memandang dan memahami karya tersebut. Pendkatan ini mengoreksi norma-norma klasikal yang tidak dikenal atau memodernisasi pemahaman seni dan meghindari kesulitan yang menyelimutinya. Teori estetika resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan dengan pemhamannya. Teori menuntut bahwa suatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastraannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra  terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir yang memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.
Keberhasilan linguistic melaui perbedaan dan hubungan metodologis yang menyeluruhh dari analisis sinkronis dan diakronis adalah kesempatan untuk menanggulangi perspektif diakronis yang sebelumnya merupakan satu-satunya perspektif yang diberlakukan di dalam sejarah sastra. Pembenahan tersebut membuka perubbahhan dalam perilaku estetik. Perspektif sejarah sastra selalu menemukan hubungan fungsional antara pemahaman karya-karya baru dengan makna karya-karya terdahulu. Perspektif ini juga mempertimbangkan pandangan sinkronis guna menyusun dalam kelompok-kelompok yang sama, berlawanan dan teratur sehingga diperoleh system hubungan yang umum dalam karya sastra dalam waktu tertentu.
Tugas karya sastra yang utuh tidaklah hanya diwakili kesinkronisan dan kediakronisan di dalam rangkaian sistemnya, tetapi juga melihat seperti sejarah khusus dalam hubungan uniknya terhadap sejarah umum. Hubungan ini tidak berakhir dengan fakta yang beragam, diidealkan, satiric, atau gambaran berupa hayalan tentang keberadaan social, tetapi hubungannnya dapat ditemukan di dalam sastra dari semua waktu. Fungsi social sastra memanifetasikan dirinya di dalam kemungkinan riil hanya jika pengalaman kesastraan pembaca masuk ke dalam horizon harapannya dari kehidupan praktisnya untuk kemudian pembaca melaksanakan pemahaman atas duniianya. Manifestasi tersebut mempunyai dan mempengaruhi perilaku sosialnya.
Konsep yang dikemukakan Iser (1978: ix-xii;54) adalah terdapat adanya hubungan dialektis antara teks, pembaca, dan interaksinya. Iser menyebutnya sebagai respon estetik sebab walaupun pusat perhatiannya sekitar teks, tetapi mengarahkan persepsi dan imajinasi pembaca dalam rangka melakukan penyesuaian dan bahkan membedakan fokusnya. Teori in melihat bahwa karya sastra sebagai sesuatu yang diformukasikan kembali dari suatu yang telah diformukasikan dalam realita. Karya sastra ini melahirkan suatu yang tidak ada sebelumnya. Konsekuensinya, teori respon estetik dihadapkan pada permasalahan bagaimana suatu situasi yang tidak diiformukasikan dapat diproses dan di pahami. Asumsi dasar dari teori ini adalah teks hanya bisa hadir saat dibaca dan perlu pengujian atas teks tersebut melaui pembaca.
Konsep dialektika respon estetik (Iser, 1978:20 dan 54), interaksinya dapat dicermati melalui pengertian implied reder, literary repertoire, dan literary strategies implied reader merupakan model, rol, dan standpoint yang membuat pembaca sebagai real reader menyusun makna teksnya. Repertoire merupakan seperangkat norma social, histories dan budaya yang dipakai untuk membaca yang dihadirkan oleh teks dan merupakan semua wilayah familier dalam teks berupa acuan kepada karya-karya yang ada lebih dahulu. Strategi digunakan untuk defamiliarisasi dan untuk mengkomunikasikan teks dengan pembacanya  tanpa mendetermasikannya. Melui strategi ini disediakan primary code kepada pembaca dan membuat pembaca mengaturnya sendiri sehingga lahir makna yang bervariasi.
Masing-masing teori di atas (Jaus dan Iser) mengarahkan praktik metodisnya. Pandangan Jaus dengan tujuh tesisnya memetakan analisis pada asapek estetik dan historisnya. Ketujuh tesis tersebbut merupakan pemodelan yang mengarah tuntutan metodisnya. Adapun panadangan Iser yang menyatakan bahwa terdapat interaksi antara teks dan pembaca dalam proses pembacaan. Teks hanya bisa hadir saat dibaca dan perlu pengujian atas teks tersebut melalui pembaca. Deskripsi tentang teks tidak lebih dari pengalaman pembaca yang terbudaya. Dengan demikian, langkah-langkah yang perlu diikuti sehubungan dengan pernyataan di atas adalah dengan langkah (1) menandai adanya kualitas yang khusus atas teks sastra yang mencirikan adanya perbedaan dengan teks lainnya, dan (2) memerikan dan meneliti unsure-unsur dasar penyebab tanggapan tehadap karya sastra.
Ø      Pendekatan objektif
Pendekatan objektif (Abrams, 1978: 26-29)memusatkan perhatian semata-mata pada unsure-unsur, antar hubungan dan totalitas. Pendekatan ini mengarah pada analisis intrinsic. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsure ekstrinsik. Oleh karena itu, pendekatan objektif juga disebut analitis otomi. Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsure-unsur dengan mempertimbangkan keterjalinan antar unsure di satu pihak dan unsure-unsur dengan totalitas di pihak lain.
Konsep dasar pendekatan ini (Hawkes dalam Pradopo, 2002: 21) adalah karaya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari bermacam-macam unsure pembentuk struktur. Antara unsure-unsur pembentuknya ada jalinan erat (koherensi). Tiap unsure tidak mempunyai makna dengan sendirnya melainkan maknanya ditentukan oleh hubungan dengan unsure-unsur lain yang terlibat dalam sebuah situasi. Makna unsure-unsur karya sastra itu hanya dapat dipahami sepenuhnya atas dasar tempat dan fungsi unsure itu dalam keseluruhan karya sastra.
Secara metodologis, pendekatan ini bertujuan melihat karya sastra sebagai sebuah sisitem dan nilai yang diberikan kepada system itu amat bergantung kepada nilai komponen-komponen yang ikut terlibat di dalamnya. Analisis karya sastra melalui pendekatan ini tergantung pada jenis sastranya. Analisis sajak berbeda dengan analisis prosa. Analiss yang digunakan pada sajak misalnya penelusuran lapiisan norma, mulai dari lapis bunyu sampai ke lapis metafisik. Teknik analisisnya pun bisa diarahkan pada pembacaan heuristic sampai ke tingkat pembacaan hermeneutic. Adapun terhadap prosa, sesuai denga sifat fiksi yang merupakan struktur cerita, analisisnya diarahkan pada struktur ceritanya. Struktur yang dimaksud dijajaki melalui unsure-unsur pembentuknya berupa: tema, fakta cerita (tokoh, alur, dan latar), dan sarana cerita (pusat pengisahan, konflik, gaya bahasa, dll).
Pada analisis prosa, tema dan fakta-fakta cerita dipadukan mmenjadi satu oleh asarana sastra. Di dalam analisisnnya, unsure-unsur tersebut ditelusuri dan dikemukakan hubungan dan fungsi tiap-tiap unsure. Tema terjalin erat dengan fakta-fakta dan berhubungan erat dengan sarana sastra.
















C      METODE ANALISIS HERMENEUTIK
Secara sederhana, hermeneutic berarti tafsir. Studi sastra juga mengenal hermeneutic sebagai tafsir sastra. Dalam penelitian sastra, memang hermeneutic memiliki paradigma tersendiri. Kata Ricoeur (Sumaryono, 1999:106) hermeneutic berusaha memahami makna sastra yang ada dibalik struktur. Pemahaman makna tak hanya megenai symbol, melainkan memandang sastra sebagai teks. Didalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Maka, peneliti harus menukik kearah teks sehingga ditemukan makna secara utuh.
Ilmu hermeneutic telah melalui proses sejarah yang panjang di dunia barat, pandangan dan gagasan yang muncul tentangnya bermacam-macam dan terkadang saling bertolak belakang. Dibarat hermeneutic berproses dalam tiga jenjang histories, yaitu: hermeneutic pra klasik, hermeneutic klasik, dan hermeneutic kontemporer. Pada jenjang pertama terhitung sejak hadirnya gerakan reformasi agama hingga abad kesembilan belas masehi dan munculnya pemikir Friedrich D. E. Schleiermacher. Masa kedua dari Schleiermacher hingga Martin heideger, dan zaman ketiga adalah pasca Heideger yang dikenal dengan nama hermeneutic filosofis.
Hingga pada zaman Schleiermacher, hermeneutic hanya difungsikan sebagai media untuk interprestsi teks-teks kitab suci agama. Ia kemudian meluaskan subjeknya dan merumuskan kaidah-kaidah untuk menafsirkan teks-teks selain agama seperti kesusastraan dan hukum. Setelahnya, ditangan Wilhelm Dilthey, ranah hermeneutic semakin melebar mengkaji segala teks dan pemahaman terhadap masalah-masalah yeng berhubungan dengan humaniora (human sciences). Pada akhirnya dengan perantaraan heideger, domain hermeneutic menjadi sangat universal yang membahas teks dan non teks, fenomena-fenomena yang berkaitan dengan perilaku manusia, alam materi, dan metafisika.
Hermeneutic adalah suatu disiplin ilmu yang yang berkaitan dengan penafsiran, interpretasi, dan pemahaman teks. Permasalahan pertama yang berhubungan dengan pemahaman adalah esensi dan hakikat dari pemahaman: apa pemahaman itu?. Pertanyaan kedua berhubungan dengan subjek dan ranah pemahaman: apa yang bisa dipahami?. Persoalan ketiga mentitik beratkan pada proses terbentuknya suatu pemahaman atau fenomenologi pemahaman: bagaimana pemahaman itu bisa terwujud?. Persoalan ketiga ini merupakan perkara yang paling urgen dan penting dalam pembahasan yang terkait dengan hermeneutic. Ilmu hermeneutic telah melalui proses sejarah yang panjang didunia barat. Pandangan dan gagasan yang muncul tentangnya bermacam-macam dan terkadang saling bertolak belakang. Perubahan semacam ini dipengaruhi oleh rasionalisme, menyebabkan penafsir mengalami bentuk-bentuk pemikiran yang saling berbeda satu sama lain.
Paradigma hermeneutic menawarkan dua tafsir sastra. Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini dan kedua, meteode yang memperhatikanpersoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua metode ini memaksa peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas konjteks historis-kultural. Dengan demikian ada sumbangan penting kehadiran hermeneutic, yaitu:
Ø      Pertama, hermeneutic menginkorporasikan suatu pengertian ekplisit mengenai “totalitas cultural”, keseluruhan yang dasar dan terpadu dari suatu kebudayaan atau masyarakat pada levelol ideology fundamental atau pandangan dunia, misalnya dengan melihat sifat histories suatu kebenaran.
Ø      Kedua, sifat sastra dalam kehidupan social sudah terdefinisikan kerna analisisnya dimulai dengan hubungan antara ilmu pengetahuan cultural dengan keseluruhan pengalaman kehidupan dalam suatu pengujian terhadap hubungan yang spesifik antara sastra dan pengalaman estetik dengan eksistensi social manusia.
Ø      Ketiga, hermeneutic membuka kemungkinan pemahaman trans-historis dengan konsep fungsi antara masa lalu dengan masa kini.
Hermeneutic sebenarnya sebuah paradigma yang berusaha menafsirkan teks atas dasar logika linguistic. Logika linguistic akan membuat penjelasan teks sastra dan pemahaman makna dengan menggunakan “makna kata” dan selanjutnya “makna bahasa”. Makna kata lebih berhubungan dengan konsep-konsep semantic teks sastra dan makna bahasa lebih bersifat cultural. Makna kata akan membantu pemahaman makna bahasa. Oleh karena, dari kata-kata itu akan tercermin makna cultural teks sastra.
Dengan cara demikian, paham hermeneutic sastra bukanlah sebuah paradigma penelitian yang berusaha menjelaskan fenomena sastra, melainkan upya memahami fenomena. Jika penjelasan lebih kearah kausalitas dan cenderung mencari hukum-hukum, sedangkan hermeneutic berusaha memahami sebuah fenomena secara mendalam. Jika paham positivisme cenderung menjelaskan fenomena atas dasar data, hermeneutic justru memahami atau menafsirkan data tersebut.
Kalau strukturalisme anti-humanistik, he4rmeneutik justru sebaliknya. Melalui hermeneutic pandangan dunia ,yang terpantul dalam teks sastra dapat diangkat. Karenanya tugas peneliti hermeneutic sastra harus membaca teks dari dalam, tanpa masuk atau menempatkan diri didalam teks. Cara cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan dan sejarahnya.
Dengan demikian, peneliti hermeneutic menjadi semakin sibuk dan lengkap. Karena itu, hasil kajiannya pun sangat pentingbagi pemahaman teks secara total. Sebab, peneliti tak hanya memahami kulit-kulit sastra saja, melainkan menyelam jauh kedalam teks dan tanpa meningalkan konkteks.
Pemaknaan karya sastra, menurut Juhl (1980) memang perlu menukik kea rah maksud pengarang. Maksud tersebut mdapat diteliti melalui apa saja yang terungkap dalam karya. Semakin jelas maksud yang dituju oleh pengarang, berarti karya sastra tersebut semakin berkualitas pula. Tentu saja, untuk membungkus maksud itu selalu tersamar dan tersirat. Jika maksud disampaikan secara tersurat, biasanya akan menjadi karya yang kurang berbobot. Yang penting, arti sebuah karya sastra dan maksud pengarang memiliki keterkaitan yang logis, tidak mengada-ada.
Memang interprestasi demikian, kadang-kadang jika peneliti belum cermat, akan menghadirkan subyektivitas. Itulah sebabnya, Hirsh (1967) agak bertentangan dengan Juhl. Bagi Hirsh, makna tak harus memiliki hubungan logis dengan maksud pengarang. Pembaca yang menafsirkan sebaiknya tak menjadikan maksud pengarang sebagi standard makna.
Penafsiran teks sastra setidaknya akan mengikuti salah satu atau lebih dari enam pokok rambu-rambu, yaitu:
1.      penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat, bahwa teks sendiri sudah jelas.
2.      penafsiran yang berusaha menyusun kembali arti historic.
3.      penafsiran hermeneutic baru yang terutama yang diwakili oleh gadamer berusaha memadukan masa lalu dan masa kini.
4.      penafsiran yang bertolak pada pandangan sendiri mengenai sastra.
5.      penafsiran yang berpangkal pada suatu problematic tertentu, misalkan darii aspek-aspek politik, psikologis, sosiologis, moral, dan sebaginya.
6.      tafsiran yang tak langsung berusaha agar mewadahi sebuah teks diartikan, melainkan hanya ingin menunjukkan kemugkinan-kemungkinan yang tercantum dalam teks, sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya.
Tahap-tahap yang perlu dilakukan dalam penelitian sastra secara hermeneutic, tergantung obyek yang diteliti. Jika yang diteliti karya sastra klasik atau lam yang telah mengalami penyalinan-penyalinan berkali-kali, tentu penelusuran dan penafsiran dari aspek filologi pun tak terhindarkan. Dari aspek ini, akan terjadi pula penafsiran interteks agar dapat ditelusur karya asli sehingga pemaknaan akan sampai pada tingkat mendekati.
Secara garis besar,jika karya sastra tersebut sudah cukup jelas kapan ditulis dan tanpa mengalami tranformasi, segera saja dilakukan penafsiran melalui empat langkah utama, yaitu: (1) menentukan arti langsung yang primer, (2) bila perlu menjelaskan arti-arti implicit, (3) menetukan tema, (4) memperjelas arti-arti simbolik dalam teks. Dari empat langkah ini, tentunya masih bisa berkembang ke penafsiran-penafsiran yang lain. Penafsiran akan tergantung pada sisi apa yang akan diungkap. Yang penting, dalam penafsiran harus ada indicator yang jelas, tanpa ada unsure yang dihilangkan.
Menurut Ricoeur (Sumaryono, 1999:111) ada tiga pemahaman yang patut ditekankan. Pertama, berlangsung mulai penghayatan symbol-simbol tentang “berpikir dari” symbol-simbol tersebut, artinya symbol tersebut melukiskan apa. Kedua, pemberian makna symbol dan penggalian makna yang tepat. Ketiga, berpikir filosofis, yaitu menggunakan symbol sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah tersebut, tak akan lepas dari pemhaman semantic, refleksi, dan eksistensial. Langkah semantic adalah pemahaman tingkat bahasa murni. Pemahaman refleksi, yaitu pemahaman yang mendekati tingkat ontologis. Pemahaman eksistensial, adalah pemahaman tingkat being (keberadaan) makna itu sendiri.
Upaya pemhaman hermeneutic memang mengenal system “bolak-balik”, yakni peneliti harus melakukan “dekontekstualisasi” (pembebasan teks) dan “rekontekstualisasi”. Dekontekstualisasi adalah langkah menjaga otonomi teks ketika peneliti melakukan pemaknaan. Sedangkan “rekontekstualisasi” adaah langkah yang kembali ke konteks, un tuk melihat latar belakang terjadi teks dan sebagainya.
Yang perlu diketahui dari arah “bolak-balik” tadi, ternyata otonomi sastra pun bermakna luas. Di dalam teks juga menyiman konteks, yang oleh pengarang tak dijelaskan secara eksplisit. Otonomi teks ada tiga macam, yaitu: intensi atau maksud pengarang, situasi cultural, dan untuk siapa teks tersebut dimaksudkan. Otonomi ini, sebenarnya telah melukiskan banyak hal tentang teks sastra. Sastra akan mecerminkan berbagai hal yang hendaknya diperhatika seorang peneliti.
Yang lebih penting lagi, pengkaji hermeneutic memang tak harus memonopoli makna. Makna teks sastra, biarlah dengan sendirinya bermakna. Peneliti hanya menelitit dan sesekali mengambil inisiatif. Inilah yang disugestikan Ricoeur, bahwa peneliti hermeneutic hendaknya bersifat in medias res (madya, dalam bahasa jawa). Peneliti tak harus memproyeksikan diri kedalam teks, tetapi membuka diri terhadapnya. Peneliti selalu ditengah, tidak di depan atau di barisan akhir. Dengan ini pemahaman akan semakin tepat pada sasarannya.














                                                                                                                        D      METODE STRUKTURALISME
Sebenarnya semua teori sastra sejak Aristoteles telaj menekankan pentingnya pemahaman struktur dalam analisis sebuah karya sastra. Akan tetapi istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu pada praktik kritik sastra yang mendasarkan model analisisnya pada teori linguistk modern. Termasuk kedalam kelompok ini beberapa teoritisi formalis rusia seperti roman jakobson, tetapi umumnya strukturalisme mengacu pada sekelompok penulis di paris yang menerapkan metode dan isitilah-istilah analisis yang di kembangkan oleh Ferdinan de Saussure (Abrams,1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori mimetic, yang berpandangan bahwa karya sastra adalah tiruan kenyataan, teori ekspresif, yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaaan dan watak pengarang, dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya
teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang dan berkembang secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah-istilah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Misalnya, strukturalisme di Perancis tidak memiliki kaitan erat dengan strukturalisme ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika. Akan tetapi semua pemikiran strukturalisme dapat dipersatukan dengan adannya pembaharuan dalam illmu bahasa yang dirintis oleh Ferdina de Saussure. Jadi walaupun terdapat banyak perbedaan anatar pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah bahwa mereka semua memiliki keterkaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar Saussure (Bertens, 1985: 379-381).
Ferdinand de Saussure meletakkan dasar bagi linguistik modern melalui mahzab yang didirikannya, yaitu mahzab Jenewa. Menurut Saussure prinsip dasar linguistic adalah adanya perbedaan yang jelas antara significant (bentuk, tanda, lambang) dan signifie (yang ditandakan), anatar parole (tuturan) dan langue (bahasa), dan antara sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang tegas dan jelas ini ilmu bahas dimungkinkan berkembang menjadi ilmu yang otonom, dimana fenomena bahas dapat dijelaskan dan di analisis tanpa mendasarkan diri atas apapun yang letaknya di luar bahasa. Saussure membawa perputaran perspektif yang radikal dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. System dan metode linguistic mulai berkembang secara ilmiah dan menghasilkan teori-teori yang segera dapat diterima secara luas. Keberhasilan studi linguistic kemudian di ikuti cabang ilmu lain seperti antropologi, filsafat, psikoanalisis, puisi, dan analisis cerita.
Pengaruh strukturalisme bahasa terhadap teori sastra terutama dikembangkan oleh lingkaran praha. Mula-mula Jan Mukarovsky memperkenalkan konsep kembbar artefakta-objek-estetik. Sastra dianggap sebgai sebuah fakata semiotic yang tetap. Teks-teks sastra dianggap sebagai suatu tanda majemuk dalam konteks luar yang meliputi system-sistem sastra dan social. Sklovsky mengembangkan konsep otomatisasi dan deotomatisasi, yang seruap dengan konsep Jakobson tentang familiarisasi dan defamiliarisasi. Dasar anggapan mereka adalah bahwa bahasa sastra seringkali memunculkan gaya yang berbeda dari gaya bahasa sehari-hari maupun gaya bahasa ilmiah. Struktur bahas ini pun seringkali menghadirkan berbagai pola yang menyimpang dan tidak biasa. Tugas peneliti sastra adalah mengembalikan pola yang menyimpang ini kepada bentuk yang dapat dikenal pembaca. Penyimpangan bahasa ini hanya dapat diamati secara structural, yaitu dalam jaringan relasi oposisi. Selain itu peneliti sastra mengamati pula evolusi literer dalam suatu lingkungan tradisi tertentu untuk melihat penyimpangan-penyimpangan noram-norma sastra yang memunculkan fungsi estetik yang baru.
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsure teks. Unsure-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsure-unsur itu hanya memperoleh artinya didalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikro teks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain  dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi, ataupun kontras dan parody (Hartoko, 1986: 135-136).
Strukturalisme Perancis, yang terutama diwakili oleh Roland Barthes dan Julia Kristeva, mengambangkan seni penafsiran cultural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa itu, diungkapkan kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom. Puisi khususnya dan sastra umunya harus diteliti  secara objektif (yakni aspek intrinsiknya). Keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspek-aspek ekstrinsik seperti ideology, moral, sosisokultural, psikologi dan agama tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.
Strukturalisme sastra mengupayakan adanya suatu dasar yang ilmiah bagi teori sastra, sebagaimana dituntut oleh disiplin-disiplin ilmiah lainnya. Untuk itu objek penelitiannya, yakni karya sastra diidentifikasi sebagai suatu benda seni yang indah karma penggunaan bahasanya yang khusus. Objek studi teori strukturalisme itu ditempatkan dalam suatu system atau susunan relasi yang memudahkan pengaturannya. Dengan system ini kita menghimpun menemukan hubungan-hubungan yang ada dalam realitas yang diamati (Bakker, 1992: 14). Sistematika semacam ini berfungsi meletakkan aksentuasi dalam cara penanganan objek kajiannya. Dengan demikian teori structuralisme memperkenalkan metode pemahaman karya sastra dengan langkah-langkah sistematis. Oleh karena teori strukturalisme sastra menganggap karya sastra sebagi benda seni (artefak) maka relasi-relasi structural sebuah karya sastra hanya dapat dipahami dalam keseluruhan relasi unsure-unsur artefak itu sendiri. Jika dicermati sebuah teks sastra terdiri dari komponen-komponen sperti ide, tema, amanat, latar, watak, perwatakan, insiden, alur, plot, dan gaya bahasa. Komponen-komponen itu memiliki perbedaan aksentuasi pada berbagai teks sastra.
Strukturalisme sastra memberikan keluasan kepada peneliti sastra untuk menetapkan komponen-komponen mana yang akan mendapat prioritas signifikasi. Keluasan ini tetap harus dibatasi, yakni sejauh komponen itu tersurat dalam teks itu sendiri. Jadi teks sastra berfungsi mengontrol objektivitas dan validitas hasil penelitian sastra. Prosedur ilmiah menempatkan teori strukturalisme sastra berkembang dengan baik, pesat, dan diterima dalam kalangan luas.
Teori strukturalisme satra sesuai dengan penjelasan diatas, dapat dipandang sebagai teori yag ilmiah mengingat terpenuhinya tiga ciri ilmiah, yaitu: (1) sebagai aktivitas yang bersifat intelektual, teori strukturalisme sastra mengarah pada tujuan yang jelas yakni eksplikasi tekstual, (2) sebagi metode ilmiah, teori ini memiliki cara kerja teknis dan rangkaian langkah-langkah yang tertib untuk mencapai simpulan yang valid, yakni melalui pengkajian ergosentrik, dan (3) sebagai pengetahuan, teori strukturalisme sastra dapat dipelajari dan dipahami secara umum dan luas serta dapat dibuktikan kebenaran cara kerjanya secara cernat.
Sekalipun demikian, teori strukturalisme yang hanya menekankan otonomi dan prinsip objektivitasnya pada struktur karya sastra memiliki beberapa kelemahan pokok, yaitu: (1) karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya sehingga sastra kehilangan relevansi sosialnya, tercabut dari sejarah dan terpisahkan dari permasalahan manusia, (2) karya sastra tidak dapat diteliti dalam rangka konvensi-konvensi kesusastraan sehingga pemahaman kita mengenai genre dan system sastra sangat terbatas.
Cara kerja strukturalisme dapat digambarkan sebagi berikut, yaitu: (1) strukturalisme pada awalnya mengamati lebih dari satu objek, dengan tujuan untuk mendedah apa yang ada dibalik kesamaan struktur dalam dua objek atau lebih, (2) strukturalisme kemudian menyadari, pada dua objek atau lebih itu ternyata tidak hanya terdapat kesamaan atau kemiripann namun juga ada ketidaksamaan dan bahwa kutub-kutub yang berlawanan, (3) lepas dari adanya kesamaan atau ketidak samaan teks sastra ternyata diikat oleh hukum simetri, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Northrop Frye dalam the fearful symmetry, (4) ketidaksamaan dan kutub yang berlawanan inilah yang kemudian memunculkan kesadaran akan adanya oposisi biner dalam kehidupan: siang-malam, kanan-kiri, bawah atas, kuat-lemah, laki-perempuan, jahat-baik, dan lain-lain, (5) kesamaan, ketidaksamaan, dan oposisi biner ternyata tidak selamanya hadir dalam dua objek atau lebih, namun pada hakikatnya hadir dalam satu objek, sebab suatu objek pun diikat oleh hukum simetri, (6) oposisi biner akan tampak manakala seseorang mendekontruksi objek tersebut. Dekontruksi khususnya yang dilakukan oleh Derrida, merupakan bagian penting dalam pascastrukturalisme, (7) untuk melihat struktur luaran dengan insting strukturalis, seseorang berusaha untuk mendedah struktur dalaman objeknya. Dalam mitologi dan sastra, struktur luaran dapat muncul dalam bentuk plot yang digerakkan oleh tindakan-tindakan tokoh-tokoh dalam teks sastra. Pergi, berbicara, menjalani ujian, dan sebagainya dalam bagan dua cerita rakyat Indian Amerika adalah contoh-contoh tindakan tokoh-tokoh dalam dua cerita rakyat itu.
Selain cara diatas, langkah yang perlu dilakukan peneliti strukturalisme, yaitu:
a.       Membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre yang diteliti.
b.      Peneltit melakukan pembacaan secara cernat, mencatat unsure-unsur struktur yang terkandung dalam bacaan itu.
c.       Unsure tema, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum membahas unsure lain.
d.      Setelah analisis tema, baru analisis alur, konflik, sudut pandang, gaya, setting, dan sebagainya andaikata berupa prosa.
e.       Yang harus diingat, semua penafsiran unsure-unsur harus dihubungkan dengan unsure lain, sehingga mewujudkan kepaduan makna struktur.
f.       Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan pentingnya keterkaitan antar unsure. Analisis yang meniggalkan kepaduan struktur, akan bias dan menghasilkan makna yang mentah.


















E       TEORI FORMALISME RUSIA
Pada umumnya formalisme Rusia dianggap sebagai pelopor bagi tumbuh dan berkembangnya teori-teori strukturalisme. Munculnya Formalisme Rusia tidak dapat dipisahkan dari gerakan futurisme. Antara tahun 1910-1915 di Italia dan Rusia muncul gerakan avant garde yang dikenal sebagai gerakan futurisme (masa depan). Secara nihilistis mereka menolak dan memberontak terhadap tradisi dan kebudayaan. Mereka memuja zaman modern dengan mesin-mesin yang bergerak cepat karena berperan dalam membebaskan rakyas tertindas. Gerakan ini sangat radikal, sehingga mendorong kearah kekerasan dan perang. Di Rusia ada kaitan ini dengan Revolusi Bolsyevik, di Italia dengan Fasisme (Hartoko, 1986:51).
Menurut kaum futuris Rusia seperti Mayakovsky dan Pasternak, sastra hendaknya menyesuaikan diri dengan zaman modern yang bergerak cepat dan bentuknya tidak mengenal ketenangan, baik dalam tema (teknik dan mesin), maupun dalam bentuknya (otonomi bahasa dan seni). Kaum futuris inilah yang mendorong studi sastra dengan meneliti ciri kesastraan dalam teks sastra secara otonom. Formalisme Rusia juga muncul sebagai reaksi terhadap aliran positivisme pada abad ke-19 yang terlalu memperhatikan data-data biografis dalam studi ilmiah dan cenderung menganggap yang ilahi sebagai yang absolute. Mereka menawarkan materialisme abad mesin sebagai wilayah puisi yang yang mendukung revolusi. Para seniman (yakni kaum proletar) menduduki peranan sebagai penghasil kerajinan tangan (produk puisi dianggap kerja teknis). Bagi mereka, seniman benar-benar seorang pembangun dan ahli teknik, seorang pemimpin dan seorang pemuka.
Aliran formalisme Rusia hidup diantara tahun 1915-1930 dengan tokoh-tokohnya sperti Roman Jakobson, shklovsky, Eichenbaum, dan Tynjanov. Pada tahun 1930 keadaan politik (komunisme) mengakhiri kegiatan mereka. Beberapa orang dari kelompok ini termasuk Rene Wellek dan Roman Jakobson berimigrasi ke Amerika Serikat. Di sana mereka mempengaruhi perkembangan new criticism selam tahun 1940-1950.
Boris Eichenbum memberi penegasan, kaum formalis dipersatukan oleh adanya gagasan untuk membebaskan diksi puitik dari kalangan intelektualisme dan moralisme yang diperjuangkan dan menjadi obsesi kaum simbolis. Mereka berusaha untuk menyanggah prinsip-prinsip estetika subjektif yang didukung kaum simbolis (yang berdasar pada teori-teorinya Alexander Potebnya, seorang filologis Rusia yang terpengaruh Willhelm von Humboldt) dengan mengarahkan studinya itu pada suatu investigasi saintifik yang secara objektif mempertimbangkan fakta-fakta. Di sisi ini, buah pikir dan gagasan kaum formalis tidak bisa dilepaskan dari keberadaan para penyair Futuris Rusia yang kemunculan karya-karyanya pun merupakan reaksi untuk melakukan perlawanan terhadap poetika kaum simbolis tersebut.
Prinsip yang mendasari studi kaum formalis bukan dititik beratkan pada “bagaimana sastra dipelajari”, melainkan lebih merujuk pada “apa yang menjadi persoalan pokok (subject matter) dari studi sastra itu sendiri”. Bagi kaum formalis, sebagimana yang ditegaskan Jakobson, “objek ilmu sastra bukanlah (kesu)sastra(an), melainkan kesastraannya (literariness), yaitu yang menjadikan sebuah karya bisa disebut sebagai karya sastra”. Sedangkan di sisi lain Eichenbaum menjelaskan bahwa karakteristik dari (cara kerja) kaum formalis hanyalah berusaha untuk mengembangkan ilmu sastra secara tersendiri, yang studinya lebih dikhususkan pada bahan-bahan kesastraan (literary material); mereka hanya menyarankan untuk menggali fakta-fakta teoritis yang tersimpan di dalam seni sastra. Dalam hal ini, ide dan prinsip (dari study) kaum formalis tersebut diarahkan untuk menuju pada suatu teori umum estetika.
Dalam hal ini, kaum formalis sebenarnya mulai mencoba untuk melepaskan studi sastra dari hal-hal lain yang berdiri di luar dirinya. Mereka melihat sastra sebagai entitas otonom; (hanya) sebatas “poetika”. Dengan karakteristik gerakannya yang mereka sebut berusaha untuk menumbuhkan gairah baru bagi positivisme saintifik, mereka menolak setiap bentuk interpretasi terhadap karya sastra yang dikaitkan dengan asumsi filosofis, psikologis, estetis, dan lain-lain. Bagi mereka, seni harus dipertimbangkan terpisah dari estetika filosofis maupun teori-teori ideologis. Maka dari itu, mereka pun lebih memilih untuk menempatkan (objek) studi sastra secara spesifik pula yang keberadaannya bisa terbedakan dari objek ilmu lainnya.
Perlu diperhatikan bahwa para formalis Rusia bukan merupakan sebuah kelompok yang homogen dan kompak pandangannya. Namun demukian focus utama mereka adalah meneliti teks-teks yang dianggap sebagai teks kesusastraan. Adapun unsure yang khas itu adalah bentuk baru yang menyimpang dari bentuk bahasa biasa. Otomatisme di dobrak sehingga pembaca merasa heran dan asing terhadap bentuk menyimpang itu dan membuatnya memandang kenyataan dengan cara baru. Bahasa sehari-hari disulap, dimanipulasi dengan berbagai teknik metrum, irama, sintaksis, struktur gramatikal, dan sebaginya.
Para formalis membuat sejumlah besar analisis tentang karya-karya sastra untuk merumuskan pengertian dan dalil umum mengenai karya sastra. Beberapa pokok gagasan, istilah dan dalil utama formalisme antara lain sebagai berikut:
1)      Defamiliarisasi dan Deotomatisasi
Menurut kaum formalis, sifat kesastraan muncul sebagai akibat penyusunan dan pengubahan bahan yang semula bersifat netral. Para pengarang menyulap teks-teks dengan efek mengasingkan dan melepaskannya dari otomatisasi. proses penyulapan pengarang ini disebut defamiliarisasi, yakni teknik membuat teks menjadi aneh dan asing. Istilah defamiliarisasi dikemukakan oleh shklovsky untuk menyebut teknik bercerita dengan gaya bahasa yang menonjol dan menyimpang dari biasanya. Dalam proses penikmatan atau penyerapan pembaca, efek deotomatisasi dirasakan sebagai sesuatu yang aneh atau defamiliar. Proses defamiliarisasi itu mengubah tanggapan kita terhadap dunia.
Dengan teknik penyingkapan rahasia, pembaca dapat meneliti dan memahami sarana-sarana (bahasa) yang dipergunakan pengarang. Teknik itu misalnya menuunda, memperlambat, memperpanjang, atau mengulur-ulur suatu kisah sehingga menarik perhatian karena tidak dapat ditanggapi secara otomatis.
2)      Teori Naratif
Dengan menerima konsep struktur, kaum formalis Rusia memperkenalkan dikotomi baru antara struktur (yang terorganisasi) dengan bahan material (yang talk terorganisir), menggantikan dikotomi lama antara bentuk dan isi. Jadi, struktur sebuah teks sastra mencakup baik aspek formal maupun semantic. Kaum formalis Rusia memberikan perhatian khusus terhadap teori naratif. Untuk kepentingan analisis teks naratif, mereka menekankan perbedaan antara cerita, alur, dan motif (Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1977: 26-30).
Menurut mereka, yang sungguh bersifat kesusastraan adalah alur, sedangkan cerita hanyalah bahan mentah yang masih membutuhkan pengolahan pengarang. Motif merupakan kesatuan terkecil dalam peristiwa yang diceritakan. Alur adalah penyusunan artistic motif-motif sebagai akibat penerapan penyulapan terhadap cerita. Alur bukan hanya sekedar susunan peristiwa melainkan juga sarana yang dipergunakan pengarang unutk menyela dan menunda penceritaan.  Digresi-digresi, permainan-permainan tipografis, pemmindahan bagian-bagian teks dan serta deskripsi-deskripsi yang diperluas merupakan sarana yang ditujukan untuk menarik dan mengaktifkan perhatian pembaca terhadap novel-novel. Cerita itu sendiri hanya merupakan rangkaian kronologis dari peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
3)      Analisis Motif
Secara sangat umum, motif berarti sebuah unsure yang penuh arti dan yang diulang-ulang di dalam satu atau sejumlah karya. Di dalam satu karya, motif merupakan unsure arti yang paling kecil di dalam cerita. Pengerttian motif disini memperoleh fungsi sintaksis. Bila motif itu dibaca dan direfleksi maka pembaca melihat motif-motif itu dalam keseluruhan dan dapat menyimpulkan satu motif dasarnya. Bila motif dasar tadi dirumuskan kembali secara metabahasa, maka kita akan menjumpai tema sebuah karya. Misalnya dalam cerita panji dijumpai tema cinta sejati mengatasi segala rintangan. Bila berkaitan dengan berbagai karya (pendekatan histories-komparatif), sebuah kesatuan semantic yang selalu muncul dalam karya-karya itu. Misal motif pencarian seorang ayah atau kekasih (motif panji yang dijumpai dalam berbagai cerita di Asia Tenggara), atau motif Oedipus, dan sebagainya (Hartoko, 1986: 291).
Boris Tomashevsky menyebut motif sebagai satuan alur terkecil. Ia membedakan motif terikat dan motif bebas. Motif terikat adalah motif yang sungguh-sungguh diperlukan oleh ceritta, sedangkan motif bebas merupakan aspek yang tidak esensial ditinjau dari sudut pandang cerita. Meskipun demikian, motif bebas justru secara potensial merupakan focus seni karena memberikan peluang kepada pengarang untuk menyisipkan unsure-unsur artistic kedalam keseluruhan alurnya.
4)      Fungsi Puitik dan Objek Estetik
Istilah fungsi mengacu pada penempatan suatu karya sastra dalam suatu modul komunikasi yang meliputi relasi antara pengarang, teks, dan pembaca. Reaksi ini muncul sebagai reaksi terhadap studi sastra frmalisme yang terlalu terpaku pada sapek sarana kesusastraan tanpa menempatkannya dalam konteks tertentu. Menurut Jakobson, dalam setiap ungkapan bahasa terdapat sejumlah fungsi, misalnya fungsi referensial, emotik, konatif, dan puitik, yang berkaitan dengan beberapa factor seperti konteks, juru bicara, pengarang, penerima, pembaca, dan isi atau pesan bahasa itu sendiri. Dalam pemakaian bahasa sastra, fungsi puitis paling dominant. Pesan bahasa dimanipulasi secara fonis, grafis, leksikosemantis, sehingga kita menyadari bahwa pesan yang bersangkutan harus dibaca sebagai karya sastra.
Jan Mukarovsky, seorang ahli strukturalisme praha, memperkenalkan istilah “objek estetik” sebagai lawan dari istilah artefak. Artefak adalah karya sastra yang sudah utuh dan tidak berubah. Artefak itu akan menjadi objek estetik bila sudah dihayati dan sudah dinikmati oleh pembaca. Dalam pengalaman penyerapan pembaca, karya sastra dapat memiliki arti yang berbeda-beda tergantung pada harapan pembacanya.



















F       ESTETIKA RESEPSIKI
      a.      Sejarah resepsi sastra
Teori rsespsi sastra merupakan salah satu aliran dalam penelitian sastra yang terutama dikembangkan oleh mahzab Konstanz tahun 1960-an di Jerman. Teori ini menggeserkan focus penelitian dari struktur teks kearah penerimaan atau penikmatan pembaca. Mahzab Konstanz meneruskan penelitian fenomenologi, strukturalisme praha, dan hermeneutika. Untuk memahami latar belakang teori-teori resepsi, terlebih dahulu dijelaskan secara singkat pandangan-pandangan yang berperan mendorong tumbuhnya pandangan resepsionistik itu, terutama fenomenologi dan hermeneutika.
Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl sebagai aliran filsafat yang menekankan bahwa gejala-gejala harus diajak berbicara dan diberi kesempatan memperlihatkan diri. Bagi Husserl, objek penelitian filosofis yang sebenarnya adalah isi kesadaran kita dan bukan objek dunia. Kita menemukan sifat-sifat universal atau esensial dalam benda-benda yang tampak justru di dalam kesadaran kita. Dengan demikian, makna gejala-gejala hanya dapat disimpulkan berdasarkan pengalaman kita mengenai gejala-gejala itu. Ketika Roman Ingarden mencoba menggambarkan cara khas penerimaan  sebuah karya seni, dia menggunakan kerangka acuan fenomenologi untuk menjelaskannya. Menurut Ingarden, setiap karya sastra secara prinsip belum lengkap karena hanya  menghadirkan bentuk skematik dan sejumlah tempat tanpa batas yang perlu dilengkapi secara individual menurut pangalaman-pengalaman akan karya lain. Namun demikian, sejauh menyangkut teks, kelengkapan itu tak dapat sempurna. Yang dapat dilakukan untuk melengkapi struktur karya sastra itu adalah melakukan konkretisasi (penyelarasan atau pengisian makna oleh pembaca. Hermeneutika semula terbatas pada teori dan kaidah menafsirkan sebuah teks, khususnya kitab suci agama Yahudi dan Kristen secara filologis, histories, dan teologis. Schleiermacher memperluas istilah itu untuk menyebut cara kita memahami dan menafsirkan sesuatu yang selalu dipengaruhi oleh konteks hostoris. Gadamer memperluas lagi lingkup hermeneutic. Menurut dia istilah itu mengacu pada proses mengetahui, memahami, dan mebafsirkan sesuatu tidak hanya melibatkan subjek dan objek, melainkan merupakan sebuah proses sejarah. Cakrawala  kesadaran sejarah yang meliputi si penafsir menentukan pengetahuannya (Hartoko, 1986: 38).
Berikut ini akan dikemukakan teori-teori yang paling menonjol dalam lingkup teori sastra.
                  1.      Hans Robert Jaus: Horison Harapan
Teori resepsi, yang merupakan sebuah aplikasi histories dari tanggapan pembaca terutama berkembang di Jerman ketika Hans Robert Jauss menerbitkan tulisan berjudul Literary theory as a Challenge to Literary Theory (1970). Focus perhatiannya, sebagaimana teori tanggapan pembaca lainnya, adalah penerimaan sebuah teks. Minat utamanya bukan pada tanggapan seorang pembaca pada suatu  waktu tertentu melainkan pada perubahan-perubahan tenggapan interpretasi dan evaluasi pembaca umum terhadap teks yang sama atau teks-teks yang berbeda dalam kurun waktu berbeda.
Jauss merupakan seorang ahli dalam bidang sastra perancis abad pertengahan dari Universitas Konstanz. Sebagai ahli dalam bidang sastra lama, Jauss beranggapan bahwa karya sastra lama merupakan produk masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa sekarang, dalam arti ada nilai-nilai tertentu untuk orang yang membacanya. Utuk menggambarkan relevansi itu, Jauss memperkenalkan konsep yang terkenal: Horison Harapan yang memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap sebuah objek literer. Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra (genre). Focus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima, sejak pertama kali ditulis sampai penerimaan-penerimaan selanjutnya.
De man menilai bahwa Jauss berusha menjebatani teori-teori formalime Rusia dengan teori-teori marxis. Teori formalisme rusia dipandangnya terlalu berlebihan menekankan nilai estetik teks sehingga mengabaikan fungsi social sastra. Sebaliknya teori teori marxis terlalu menekankan fugsi social ssastra dalam masyrakat sehingga hakikat sastra sebagai karya seni kurang diperhatikan. Jauss menekankan bahwa sebuah karya sastra merupakan objek estetik yang memiliki implikasi estetik dan implikasi historic. Implikasi estetik timbul apabila teks dinilai dalam perbandingan dengan karya-karya lain yang telah dibaca, dan implikasi histories muncul akibat perbandingan histories dengan rangkaian penerimaan atau resepsi sebelumya.  
Jauss mengungkapkan tujuh tesis pemikiran teoretisnya. Secara singkat ketujuh tesis berikut ini.
1).    Karya sastra bukanlah monument yang mengungkapkan makna yang sama atau sama, seperti anggapan traditional mengenai objektivitas sejarah sebagi deskripsi yang tertutup. Karya sastra ibarat oerkestra: selalu memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menghadirkan resonnansi yang baru yang membebaskan teks itu dari belenggu bahasa, dan dapat menciptakan konteks yang dapat diterima masa kini. Sifat dialogal iini memungkinkan pembaca mengapropriasikan masa lampau untuk ditiru, diabaikan, atau ditolak.
2).    System horizon harapan timbul sebagai akibat adanya momen histories karya sastra, yang meliputi suatu pra pemahaman mengenai genre, bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi, dan mengenai pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari. Sekalipun sebuah karya sastra tampak baru sama sekali, ia sesungguhnya tidak baru secara mutlak seolah-olah hadir dari kekosongan. Sastra telah mempersiapkan pembacanya dalam sebuah system pnerimaan yang khas melalui tanda-tanda dan kode-kode dalam perbandingan dalam hal yang sudah dikenal sebelumnya. Jadi ada inkteraksi antara teks dengan konteks pengalaman pencerapan estetik yang bersifat transsubjek itu. Horizon harapan  memungkinkan seseoorang mengenal cirri artistic sebuah karya teks sastra.
3).    Jika ternyata masih ada jarak estetik antara horizon harapan dengan wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat mengubah harapan itu baik melalui penyangkalan terhadap estetik yang sudah dikenal atau melalui kesadaran bahwa sudah muncul pengalaman estetik yang baru. Di sini dituntut penerimaan sastra sebagaimana penerimaan seni pertunjukan, yang selalu memenuhi horizon harapan sesuai dengan cita rasa keindahan, sentiment-sentimen, dan emosi yang sudah dikenal. Justru karya sastra yang adiluhung memiliki sifat artistic jarak estetik ini.
4).    Rekontruksi mengenai horizon harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan atau disambut pada masa lampau hingga masa kini, akan menghasilkan berbagai varian resepsi dengan semangat jaman yang berbeda. Dengan demikian, pandangan platonis mengenai makna karya sastra yang objektis, tunggal dan abadi untuk penafsir perlu ditolak.
5).    Teori estetika penerimaan tidak hanya sekedar memahami makna dan bentuk karya sastra melalui pemahaman histories. Dia menuntut agar kita memasukkan sebuah karya individual kedalam rangkaian sastra agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks pengalaman sastra.
6).    Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi histories tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sifat estetik, maka seorang dapat menggunakan perspektif sinkronis untuk mennggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun hubungan antara system senii sejaman dengan system seni dalam masa lampau. Sebuah sejarah sastra menjadi mantap dalam pertemuan perspektif sinkronis dan diakronis. Jadi system sinkronis harus tetap membuat masa lampau sebagai elemen structural yang yang tak dapat dipisahkan.
7).    Tugas sejarah sastra tidak lengkap hanya dengan menghadirkan system-sistem karya sastra secara sinkronis dan diakronis, melainkan harus juga dikaitkan dengan sejarah umum. Kedudukan khas dan unik dari sejarah sastra perlu mendapat kepenuhannya dalam sejarah umum. Hubungan ini tidak berakhir dengan sekedar menemukan gambaran mengenai situasi social yang berlaku di dalam karya sastra. Fungsi social karya sastra hanya sungguh terwujud bila pengalaman sastra pembaca masuk kedalam horizon harapan mengenai kehidupannya yang praktis, membuat dirinya semakin memahami dunianya, dan akhirnya memiliki pengaruh terhadap tingkah laku sosialnya. Pandangan Jauss tampaknya memperoleh sambutan dan dukungan yang luas di kalangan ilmuwan sastra modern.
                  2.      wolfgang Iser: pembaca implicit
Iser juga merupakan salah seorang eksponen mahzab Konstanz. Tetapi berbeda dari jauss yang memperkenalkan model sejarah resepsi, Iser lebih memfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan pembaca (estetika pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca konkret individual, melainkan pembaca implicit. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaca implicit merupakan suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dengan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara-cara tertentu.
Iser mengemukakan teori resepsinya dalam bukunya The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response (1978). Menurut Iser, tak seorangpun yang menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra, sekalipun orang berbicara mengenai otonomi sastra. Oleh karena itu, observasi terhadap respon pembaca merupakan studi yang esensial. Pusat kegiatan membaca adalah interaksi antara struktur teks dan pembacanya. Teori fenomenologi seni telah menekankan bahwa pembacaan sastra tidak hanya melibatkan sebuah teks sastra, melainkan juga aksi dalam menanggapi teks. Teks itu sendiri hanyalah aspek-aspek skematik yang diciptakan pengarang, yang akan digantikan dengan kegiatan konkretisasi (realisasi makna teks oleh pembaca).
Iser (1978:20-21) menyebutkan bahwa karya sastra memiliki dua kutub, yakni kutub artistic dan kutub estetik. Kutub artistic adalah kutub pengarang, dan kutub estetik adalah realisasinya yang diberikan oleh pembaca. Aktualisasi yang benar terjadi di dalam interaksi antara teks ( \perhatian terhadapp teknik pengarang, struktur bahasa) dan pembaca (psikologi pembbaca dalam proses membaca, fungsi struktur bahasa terhadap pembaca). Penelitian sastra harus dimulai dari kode-kode struktur yang terdapat dalam teks. Aspek verbal (struktur/bahasa) perlu dipahami agar menghindarkan penerimaan yang arbitrer. Fungsi struktur itu tidak berlaku selama belum ada efeknnya bagi pembaca. Oleh karena itu penelitian harus dilanjutkan dengan mendeskripsikan interaksi  antara bahasa dan pembaca, yang merupakan kepenuhan teks.
Bagi Iser, tugas kritik teks adalah menjelaskan potensi-potensi makna tanpa membatasi diri pada aspek-aspek tertentu, karena makna teks bukanlah sesuatu yang tetap melainkan sebagai peristiwa yang dinamik, dapat berubah-ubah sesuai dengan gudang pengalaman pembacanya. Sekalipun disadari bahwa totalitas makna teks tidak dapat secara tuntas dipahami, proses membaca itu sendiri merupakan suatu prakondisi penting dalam pembentukan makna. Makna referensial bukanlah ciri pokok estetis. Apa yang dinamakan estetis adalah jika hal tertentu membawa hal baru, sesuatu yang sebelumnnya tidak ada. Jadi, penetapan makna estetis sesungguhnya bermakna ganda, bersifat estetis sekaligus diskursif. Pengalaman yan dibangun dan digerakkan dalam diri pembaca oleh sebuah teks menunjukkan bahwa kepenuhan makna estetis muncul dalam relasi dengan sesuatu diluar teks. Pandangan Iser tentang estetika resepsi dapat dipahami dengan meninjau teorinya mengenai pembaca implicit dan membandingkannya dengan teori-teori pembaca lainnya.
Menurut iser, konsep tradisional mengenai pembaca selama ini umumnya mencakup dua kategori, yakni pembaca nyata atau pembaca histories dan pembaca potensial atau pembaca yang diandaikan oleh pengarang. Diandaikan bahwa pembaca jenis kedua ini mampu mengaktualisasikan sebuah teks dalam sebuah konteks secara memadai, seperti seorang pembaca ideal yang memahami kode-kode pengarang. Selain teori-teori tradisional tersebut, terdapat beberapa pandangan yang lebih modern tentang pembaca, yang menurut Iser tidak bebas dari kesalahan.
Ø      Michael Riffaterre memperkenalkan istilah superreader, yakni sintetis pengalaman membaca dari sejumlah pembaca dengan kommpetensi yang berbeda-beda. Kelompok ini diharapkan dapat mengungkap potensi semantic dan pragmatic dari pesan teks melalui stilistika. Kesulitan akan muncul bila terjadi penyimpangan gaya, yang mungkin hanya dipahami dengan referensi lain di luar teks.
Ø      Stanley Fish mengajukan istilah informed reader (pembaca yang tahu, pembaca yang berkompeten), yang mirip dengan konsep riffaterre. Untuk menjadi pembaca yang kompeten diperlukan syarat, yaitu: (1) kemampuan dalam budang bahasa, (2) kemampuan semantic, (3) kemampuan sastra. Dengan kemampuan ini seorang informed reader dapat merespon karya sastra. Teori ini tidak dapat diterima karena lebih berkaitan dengan teks daripada dengan pembacanya. Perubahan kalimat misalnya, lebih berkaitan denga aturan gramatikal daripada pengalaman pembaca.
Ø      Edwin Wolff mengusulkan intended reader, yaknni model pembaca yang ada dalam benak penulis ketika dia merekontruksi idenya. Model membaca ini mengacu kepada pembayangan seorang penulis tentang pembaca tulisannya melalui observasi akan norma dan nilai yang diianut oleh masyarakat pembacanya. Pembaca ini akan mampu menangkap isyarat-isyarat tekstual. Persoalannya bagaimana jika seorang pembaca yang tidak dituju pengarangg tapi mampu memberikan sebuah arti tentang teks.
Iser sendiri mengajukan konsep impliad reader untuk mengatasi kelemahan pandangan-pandangan teoritis mengenai pembaca. Pembaca tersirat sesungguhnya telah dibentuk dan distrukturkan dalam teks sastra. Teks sendiri telah mengandung syarat-syarat bagi katualisasi yang memungkinkan pembentukan maknanya dalam benak pembaca (Iser, 1982: 34). Dengan demikian, kita harus mencobba memahami efek tanggapan pembacanya terhadap teks tanpa prasangka tanpa mencoba mengatasi karakter dan situasi historisnya. Teks sudah mengasumsikan pembacanya, entah pembaca yan berkompeten maupun tidak. Teks menampun segala macam pembaca, siapapundia, karena strktur teks sudah menggambarkan peranannya. Perhatiakann bahwa teks sastra disusun pengarang (dengen pandangan dunia pengarangnya) mengandung empat perspektif utama, yaitu pencerita, perwatakan, alur, dan bayangan mengenai pembaca. Keempat perspektif ini memberi tuntunan untuk menemukan arti teks. Arti teks sebuah teks dapat diperoleh jika keempat perspektif ini dapat dipertemukan dalam aktivitas atau proses membaca. Di sini terlihat kedudukan pembaca yang sangat penting dalam memadukan perspektif-perspektif tersebut dalam suatu satu kesatuan tekstual, yang dipandu oleh penyatuan atau perubahan perspektif. Intruksi-intruksi yang ditunjukkan teks merangsang bayangan mental dan menghidupkan gambaran yang diberikn oleh struktur teks. Jadi gambaran mental itu mucul selama proses membaca struktur teks. Pemenuhan makna teks terjadi dalam proses ideasi (pembayangan dalam benak pembaca) yeng menerjemahkan realitas teks ke dalam realitas pengalaman personal pembaca. Secara konkret isi  nyata dari gambaran mental ini sangat dipengaruhi oleh gudang pengalaman pembaca sebagai latar referensial. Konsep implied reader memungkinkan kitamendeskripsikan efek-efek struktur sastra dan tanggapan pembaca terhadap teks.

No comments: