Laman

Friday, June 24, 2011

PROPOSAL PENINGKATAN KETRAMPILAN BERBICARA


BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS

2.1        Kajian Pustaka
Keterampilan berbicara siswa SMP masih kurang maksimal. Siswa SMP kurang berlatih berbicara menggunakan bahasa Jawa, siswa kesulitan dalam memahami dan mengungkapkan pendapat atau gagasan dengan menggunakan ragam krama. Banyak sekali penelitian yang telah dilakukan dalam meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Jawa ragam krama. Penelitian-penelitian ini berhasil dalam mengatasi permasalahan keterampilan berbicara siswa. Penelitian-penelitian yang sama masih dapat dilakukan dengan menggunakan teknik dan media yang berbeda dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian terdahulu yang dapat dijadikan kajian pustaka antara lain oleh, Suharni (2001),  Shani (2006), Nidayanti (2007), dan Haryanti (2007).
Penelitian tentang berbicara dilakukan oleh Suharni (2001). Suharni melakukan penelitian dalam skripsinya yang berjudul Meningkatkan Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Melalui Pengajaran Remidial dengan Media Audio Bagi Siswa Kelas IIF Catur Wulan II SLTP Negeri 28 Semarang Tahun Pelajaran 2001/2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan siswa kelas IIF SLTP Negeri 28 Semarang dalam berbicara bahasa Jawa meningkat setelah diberi pelatihan dengan menggunakan media audio. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian siklus I dengan rata-rata 63,47 meningkat 24,43 dari nilai rata-rata awal 39,04 dan hasil penelitian siklus II rata-rata 87,54. Perolehan nilai keterampilan berbicara siswa secara klasikal pada siklus I masih tergolong dalam kategori cukup baik. Setelah dilakukan penelitian pada siklus II keterampilan berbicara siswa meningkat menjadi sangat baik. Namun demikian, penelitian Suharni masih terdapat kekurangan yaitu membuat siswa bergantung pada remidial. Bila saat ujian hasil yang diperoleh kurang baik, siswa dapat belajar lagi dan mengikuti ulangan kembali.
Perbedaan penelitian Suharni (2001) dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah terletak pada objek penelitian dan strategi pembelajaran. Objek penelitian yang dilakukan Suharni adalah siswa kelas II F SLTP N 28 Semarang. Strategi pembelajaran melalui pengajaran remidial sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti menggunakan media film bisu.
Persamaan penelitian yang dilakukan Suharni (2001) dengan yang dilakukan peneliti terletak pada jenis penelitian dan instrumen penelitian. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas, sedangkan instrumen penelitian yang digunakan adalah instrumen tes dan nontes.
Shani (2006) melakukan penelitian dengan judul Meningkatkan Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa dengan Metode Drama Kelas pada Siswa Kelas VII B SMP Negeri 1 Semarang. Hasil penelitian keterampilan berbicara bahasa Jawa yang dilakukan Shani mengalami peningkatan setelah menggunakan metode drama kelas. Kemampuan berbicara siswa meningkat pada siklus I, 63,47 dari nilai awal 39,04 dan siklus II meningkat sebanyak 24,07% sehingga menjadi 87,54 dengan kategori naik. Namun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Shani masih terdapat kekurangan yaitu siswa harus berkonsentrasi pada cerita dan pada penggunaan bahasa Jawa ragam krama.
Perbedaan penelitian Shani (2006) dengan penelitian yang dilakukan peneliti terletak pada objek penelitian. Objek penelitian yang dilakukan oleh Shani adalah siswa kelas VII B SMP N 1 Semarang, sedangkan objek yang akan diteliti adalah siswa kelas VIII D SMP N 3 Punggelan Banjarnegara. Perbedaan yang lain terletak pada strategi pembelajarannya. Shani menggunakan strategi dengan metode drama kelas sedangkan dalam penelitian ini menggunakan media film bisu.
Persamaan penelitian yang dilakukan Shani (2006) dengan yang dilakukan peneliti terletak pada jenis penelitian, instrumen penelitian yang digunakan dan model analisis data. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas, instrumen yang digunakan adalah instrumen tes dan nontes. Analisis data yang digunakan adalah analisis data kuantitatif dan kualitatif.
Penelitian sejenis juga pernah dilakukan oleh Nidayanti (2007), melakukan penelitian tentang Peningkatan Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Ragam Krama Melalui Teknik Dialog Berpasangan atau Pacelaton pada Siswa Kelas VIII C SMP N 3 Kedungwuni Kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nidayanti menunjukkan bahwa keterampilan berbicara bahasa Jawa ragam krama meningkat setelah dilakukan penelitian dengan teknik dialog berpasangan atau pacelathon. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian pada siklus I mengalami peningkatan sebanyak 8,79% sehingga pada siklus I rata-ratanya menjadi 12,75. kemudian pada siklus II mengalami peningkatan sebesar 27,37% sehingga diperoleh rata-rata sebesar 16,24.
Perbedaan penelitian Nidayanti (2007) dengan penelitian yang dilakukan adalah terletak pada strategi pembelajarannya. Strategi pembelajaran yang digunakan dalam penelitian Nidayanti yaitu menggunakan teknik dialog berpasangan atau pacelathon, sedangkan peneliti menggunakan media film bisu.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Nidayanti (2007) dengan yang dilakukan peneliti terletak pada jenis penelitian dan instrumen. Yaitu menggunakan jenis penelitian tindakan kelas. Instrumen penelitian yang digunakan Nidayanti adalah instrumen tes dan nontes.
Penelitian lain dilakukan oleh Haryanti (2007) dengan judul Peningkatan Keterampilan Berbicara Bahasa Jawa Ragam Krama dengan Teknik Gambar Berseri pada Siswa Kelas VIII  SMP Muhamadiyah Tersono Kabupaten Batang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam berbicara meningkat setelah diterapkan teknik gambar berseri. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian pratindakan 61,7. Siklus I menunjukkan bahwa hasil berbicara meningkat menjadi 6,73 pada siklus II rata-rata skor meningkat menjadi 70,1.
Perbedaan penelitian Haryanti (2007) dengan penelitian yang dilakukan terletak pada strategi pembelajaran. Strategi pembelajaran yang digunakan Haryanti adalah teknik gambar berseri dan peneliti dalam pembelajaran keterampilan berbicara menggunakan media film bisu.
Persamaan penelitian yang dilakukan Haryanti (2007) dengan yang dilakukan peneliti terletak pada jenis penelitian, instrumen penelitian dan model analisis data. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes dan nontes, sedangkan analisis data yang digunakan yaitu analisis data secara kualitatif dan kuantitatif.
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu diketahui bahwa beberapa penelitian masih terdapat kekurangan-kekurangan. Di dalam penelitian ini peneliti melakukan perbaikan-perbaikan pada penelitian yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya dan menawarkan metode pembelajaran keterampilan berbicara guna meningkatkan kompetensi siswa terutama dalam meningkatkan keterampilan berbicara dalam ragam krama. Peneliti memberikan satu alternatif pembelajaran berbicara, yaitu dengan menggunakan media film bisu. Dengan media film bisu diharapkan keterampilan berbicara siswa menjadi lebih lancar.

2.2         Landasan Teoretis
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori-teori tentang (1) keterampilan berbicara, (2) ragam bahasa, dan (3) film bisu.
2.2.1        Keterampilan Berbicara
Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan kalimat-kalimat untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan (Arsjad 1988:23). Berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang dimiliki seseorang. Berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan kepada orang lain (Djago dkk. 1997:13).
Berbicara adalah ekspresi diri, bila pembicara terisi oleh pengetahuan dan pengalaman yang kaya, maka akan lebih mudah menguraikan pengetahuan dan pengalamannya tersebut. Begitu juga dengan anak yang lebih banyak pengetahuan dan pengalaman, maka akan dengan sendiri anak terampil dalam berbicara, dibandingkan dengan anak yang tidak terbiasa dalam berbicara, anak tersebut cenderung merasa lebih rendah kemampuannya dalam berbicara.
 Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi (Tarigan 1987:15), agar dapat menyampaikan informasi dengan efektif, sebaiknya pembicara betul-betul memahami isi pembicaraannya. Disamping juga harus dapat mengevaluasi efek komunikasinya terhadap pendengar. Jadi, bukan hanya apa yang akan dibicarakan, tetapi bagaimana mengemukakannya.
Untuk menjadi pembicara yang baik, seorang pembicara selain harus memberikan kesan bahwa ia menguasai masalah yang dibicarakan. Ia juga harus berbicara dengan jelas dan tepat. Keefektifan berbicara juga ditunjang oleh sikap pendengar. Dalam mendengarkan kadang-kadang timbul faktor pengganggu, misalnya, sikap, gaya bicara dan sebagainya, namun untuk keefektifan berbicara sikap positif dalam mendengarkan hendaknya juga dipupuk dan bagi pendengar seharusnya bisa mengabaikan gangguan-gangguan tersebut.
Keterampilan berbicara adalah tingkah laku manusia yang paling distingtif dan berarti (Djago, 1997:46). Berbicara harus dipelajari terus menerus sehingga dapat dikuasai dengan lancar. Manusia belajar berbicara dari manusia sekitarnya, anggota keluarga, teman, dan guru di sekolah. Pihak yang paling berkompeten, efektif, dan berperan  dalam mengajari anak adalah guru. Guru paling mengetahui, memahami, dan menghayati betapa pentingnya keterampilan berbicara bagi anak didiknya. Guru seharusnya tahu bagaimana cara menciptakan lingkungan yang merangsang, waktu yang tepat, menstimulasi, membimbing, dan melatih siswa dalam berbicara.
Guru harus benar-benar memahami dan menghayati kenyataan tersebut, maka ia akan dapat menyusun strategi yang luas dalam memberikan pelajaran kepada siswa.
Menurut Arsjad dan Mukti (1988:17-22) ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam kelancaran berbicara yaitu, (1) pilihan kata, (2) ketepatan sasaran pembicaraan, (3) sikap yang wajar, (4) gerak-gerik dan mimik yang tepat, dan (5) penguasaan tema. Apabila semua faktor telah dilalui dengan baik maka pembicaraan akan berjalan dengan lancar.

2.2.2        Ragam Bahasa Jawa
Bahasa Jawa dijuluki sebagai bahasa ibu, di era sekarang ini pemakaian bahasa Jawa sudah mengalami kemunduran. Bahasa daerah terutama bahasa Jawa memiliki fungsi sebagai lambang atau identitas masyarakat yang ada di daerah-daerah. Bahasa Jawa dapat dipilah menjadi dua, yaitu ragam ngoko dan ragam krama. Ragam ngoko meliputi ngoko lugu dan ngoko alus. Begitu juga ragam krama meliputi krama lugu dan krama alus.
2.2.2.1  Ragam Ngoko
Ragam ngoko adalah ragam yang semua katanya ngoko begitu juga dengan afiksnya. Ragam ngoko digunakan oleh orang bertutur kata dengan orang yang sudah kenal dekat dan tidak ada perbedaan status sosialnya. Ragam ngoko ada dua yaitu, ngoko lugu dan ngoko alus.
2.2.2.1.1  Ragam Ngoko lugu
Ngoko lugu yaitu pemakaian bahasa Jawa yang seluruhnya dibentuk dengan kosakata ngoko. Ngoko lugu digunakan oleh peserta tutur yang mempunyai hubungan akrab, dan tidak ada usaha untuk saling menghormati (Hardyanto dan utami, 2001:47)
Contoh:
(1)     Widya mangkat sekolah
         ‘Widya pergi ke sekolah’
(2).    Nenik tuku klambi
         ‘Nenik membeli baju’
(3)     Siti  gawe bubur
         ‘Siti membuat bubur’
2.2.2.1.2  Ragam Ngoko alus
Ngoko alus adalah ragam pemakaian bahasa Jawa yang dasarnya ragam ngoko, namun juga menggunakan kosakata krama inggil. Ngoko alus digunakan oleh peserta tutur yang mempunyai hubungan akrab, tetapi diantara mereka ada usaha untuk saling menghormati (Hardyanto dan utami, 2001:47-48)
Contoh:
(4)     Deni lunga menyang daleme simbah.
         ‘Deni pergi ke rumah nenek’
(5)     Omahe Rani ora adoh saka daleme pak lurah.
         ‘Rumah Rani tidak jauh dari rumah pak lurah’
(6)     Bapak nitih bis.
         ‘Bapak naik bis’

2.2.2.2   Ragam Krama
Ragam krama adalah yang seluruh katanya menggunakan krama, begitu juga dengan afiksnya. Ragam krama digunakan oleh orang yang baru saja kenal dan ada rasa untuk saling menghormati karena adanya status sosial.
2.2.2.2.1 Ragam Krama Lugu
Ragam krama lugu yaitu ragam pemakaian bahasa Jawa yang seluruhnya dibentuk dengan kosakata krama, demikian juga imbuhannya. Krama lugu digunakan oleh peserta tutur yang belum atau tidak akrab, misalnya baru kenal (Hardyanto dan utami, 2001:50).
Contoh:
(7).    Sekedhap malih kula kesah dhateng Solo.
         ‘Sebentar lagi saya pergi ke Solo’
(8).    Samenika semah kula nyambet damel wonten Kudus.
         ‘Sekarang suami/istri saya bekerja di kudus’
(9).    Menapa sampeyan purun mampir wonten griya kula?
         ‘Apakah anda mau datang ke rumah saya?’
2.2.2.2.2 Ragam Krama Alus
Ragam krama alus yaitu ragam pemakaian bahasa Jawa yang kata dasarnya krama lugu, namun juga menggunakan kosakata krama inggil. Krama alus digunakan oleh peserta tutur yang hubungannya kurang akrab dan ada usaha untuk saling menghormati (Hardyanto dan utami, 2001:51)
Contoh:
(10). Mbah kakung sampun dhahar?
         ‘Kakek sudah makan?’
(11). Dalemipun pak lurah tebih sanget.
         ‘Rumah pak lurah jauh sekali’
(12).  Ibu mundhut roti.
         ‘Ibu membeli roti’

2.2.3        Media Film Bisu
Dalam subbab ini akan dipaparkan mengenai media pengajaran, cara pemilihan media, media visual, dan film bisu.
2.2.3.1 Media Pengajaran
Media sebagai alat bantu dalam proses belajar mengajar merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam proses belajar mengajar kehadiran media dapat digunakan untuk memudahkan tercapainya tujuan pembelajaran. Seorang guru harus menyadari bahwa tanpa adanya bantuan media maka bahan pelajaran akan sukar dipahami oleh siswa, terutama mata pelajaran yang sulit.
Sudah banyak ahli yang mendefinisikan pengertian media pengajaran. Mcluhan (dalam Harjanto, 2005:246), media adalah suatu ekstensi manusia yang memungkinkannya mempengaruhi orang lain yang tidak mengadakan kontak langsung dengan dia. Pendapat lain yang merumuskan media pengajaran dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit, media pengajaran hanya meliputi media yang dapat digunakan secara efektif dalam proses pengajaran yang terencana, sedangkan dalam arti luas media tidak hanya meliputi media komunikasi elektronik yang kompleks akan tetapi juga mencakup alat-alat sederhana (Harjanto, 2005:247)
Menurut Soeparno (1998:1) dalam bukunya Media Pengajaran Bahasa mendefinisikan media yaitu suatu alat yang dipakai sebagai saluran (channel) untuk menyampaikan suatu pesan (message) atau informasi dari suatu sumber (resaurce) kepada penerimanya (receiver). Dalam dunia pengajaran, pada umumnya pesan atau informasi tersebut berasal dari sumber informasi yaitu guru, sedangkan sebagai penerima informasinya adalah siswa.
Kedudukan media pengajaran sebagai alat bantu mengajar dan sebagai salah satu upaya untuk mempertinggi proses interaksi guru dan siswa (Rivai, 2005:1-2). Fungsi media pengajaran  adalah sebagai alat bantu dalam mengajar, yaitu sebagai penunjang guru dalam pemakaian metode mengajar.
Tujuan utama dalam pemakaian media adalah agar pesan atau informasi yang dikomunikasikan tersebut dapat diserap semaksimal mungkin oleh para siswa sebagai penerima informasi (Soeparno, 1988:5)
Media pengajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa pada pengajaran yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertinggi hasil belajar yang dicapainya. Menurut Sudjana (2005:2) ada dua alasan, mengapa media pengajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa. Alasan pertama berkenaan dengan manfaat media pengajaran dalam proses belajar siswa antara lain. (a) pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar, (b) bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh para siswa, dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran dengan baik, (c) metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan,  (d) siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti, mengamati, mendemonstrasikan, dan lain-lain.
Alasan kedua yaitu taraf berpikir manusia mengikuti tahap perkembangan dimulai dari berpikir kongkret menuju ke berpikir abstrak, dimulai dari berpikir sederhana menuju ke berpikir kompleks. Penggunaan media pengajaran erat kaitannya dengan tahapan berpikir tersebut sebab melalui media pengajaran hal-hal yang abstrak dapat dikongkretkan, dan hal-hal yang kompleks dapat disederhanakan.
Media sangat berperan dalam proses pembelajaran yaitu sebagai alat untuk memperjelas bahan pengajaran pada saat guru menyampaikan pelajaran pada siswa, alat untuk mengangkat atau menimbulkan persoalan untuk dikaji lebih lanjut dan dipecahkan oleh siswa dalam proses belajarnya, dan media sebagai sumber bagi siswa, artinya media tersebut berisikan bahan-bahan yang harus dipelajari para siswa baik individual maupun kelompok.


2.2.3.2 Cara Pemilihan Media
Soeparno (1988:10) menyebutkan beberapa alasan dalam pemilihan media pembelajaran , Yaitu,
1.  Hendaknya kita mengerti karakteristik setiap media, sehingga kita mengetahui kesesuaian pemakaian media dengan informasi yang akan disampaikan.
2.   Kita memilih media sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
3. Hendaknya kita memilih media sesuai dengan metode yang akan kita pergunakan.
4.  Hendaknya kita memilih media yang sesuai dengan materi yang akan kita ajarkan/komunikasikan.
5.  Dalam pemilihan media yang sesuai dengan keadaan siswa, baik ditinjau dari segi jumlahnya maupun tingkat pendidikannya.
6.  Memilih media yang sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat media itu digunakan.

2.2.3.3 Media Visual
Penggunaan media visual dalam hubungannnya dengan hasil belajar menunjukkan bahwa pesan-pesan visual yang moderat (berada dalam rentangan abstrak dan realistik) memberikan pengaruh tinggi terhadap prestasi belajar siswa (Sudjana, 2005:8). Pesan visual yang paling sederhana, praktis, mudah dibuat, dan banyak diminati siswa adalah gambar, terlebih lagi gambar berwarna.
Keterampilan memahami pesan visual dapat diartikan sebagai kemampuan menerima dan menyampaikan pesan-pesan visual (Sudjana 2005:11). Kemampuan menyampaikan pesan visual mencakup memvisualisasikan pesan verbal, melukiskan isi pesan, dan menyederhanakan makna.
Salah satu teknik yang efektif dalam menerima pesan visual adalah menuntunnya untuk melihat dan membaca pesan-pesan visual pada berbagai tahapan, dimulai dari mengamati, mengidentifikasi, dan menganalisis terlebih dahulu unsur-unsur pengajaran dalam bentuk pesan-pesan visual dilanjutkan dengan kesimpulan gambaran untuk kemudian menciptakan konsep baru dari apa yang telah dipelajari.
Dapat disimpulkan tentang bagaimana siswa belajar melalui gambar-gambar yaitu (Brown dkk, 1959:410)
1)            Ilustrasi gambar merupakan perangkat pengajaran yang dapat menarik minat belajar siswa secara efektif.
2)            Ilustrasi gambar merupakan perangkat yang dapat ditafsirkan melalui kata-kata.
3)            Ilustrasi gambar membantu para siswa dalam menafsirkan dan mengingat-ingat materi.
4)            Ilustrasi gambar isinya harus dikaitkan dengan kehidupan nyata, agar minat para siswa menjadi efektif.
Siswa dalam menerima pesan-pesan visual berbeda antara anak yang satu dengan yang lainnya. Anak yang berusia sedang cenderung untuk menafsirkan pesan-pesan visual menurut bagian demi bagian dari pada secara keseluruhan. Dalam menceritakan tentang apa yang mereka lihat di gambar, mereka memilih unsur-unsur yang spesifik, termasuk didalamnya adegan, sedangkan anak yang berusia dewasa cenderung untuk meringkas keseluruhan adegan dan melaporkan kesimpulan tentang makna gambar.
Semua pengajar hendaknya memperhatikan bagaimana siswa-siswanya mengamati materi. Ada dua cara untuk menentukan apa yang diperhatikan siswa dari pesan-pesan visual yang mereka lihat. Pertama, membuat kesimpulan berdasarkan apa yang dipelajari siswa dari materi gambar, cara mengamati, dan apa yang diceritakan kembali oleh seorang tentang materi gambar harus benar-benar diperhatikan karena hal itu amat penting bagi guru sebagai bahan masukan apakah siswa-siswanya memahami bahan pelajaran.
Kedua, tentukan pola gerakan-gerakan pengamatan, waktu siswa mengamati materi gambar yang serupa, apakah persepsi siswa terhadap materi gambar itu efisien, efektif atau tidak.

2.2.3.4 Film Bisu
Dalam proses belajar mengajar, guru memerlukan penggunaan media yang cocok dengan materi yang akan disampaikan. Salah satu media yang digunakan adalah media film bisu. Media film bisu ini sangat cocok digunakan dalam meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa.
Media ini memproyeksikan gambar-gambar film positif secara kontinyu. Media ini selain mengomunikasikan informasi melalui lambang visual juga mengomunikasikan informasi melalui lambang gerak. Dengan kata lain film bisu ini merupakan media tanpa suara. Informasi yang demikian itu jelas akan mempunyai kemungkinan lebih mudah diserap daripada informasi yang hanya dikomunikasikan melalui lambang visual saja. Film bisu tidak memiliki karakteristik suara, maka pada waktu mempresenatasikannya, guru boleh menambahnya dengan komentar seperlunya. Akan tetapi, harus dijaga jangan sampai komentar guru itu menjadi lebih dominan dari pada film itu sendiri.
Media ini dipergunakan untuk melatih keterampilan ekspresi lisan adalah (1)  guru memberikan petunjuk mengenai apa yang harus dilakukan oleh siswa, (2) film diputar tanpa adanya komentar dari guru, (3) siswa diminta memperhatikan film tersebut secara cermat. (4) setelah film selesai diputar, guru mengajarkan kepada siswa bagaimana cara berbicara berdasarkan gerakan-gerakan yang ada di film, (5) siswa mempraktekkan apa yang diajarkan oleh guru, (6) guru dengan cermat mengamati kalimat-kalimat yang diucapkan oleh siswa, (Soeparno, 1988:36-37).

2.3        Kerangka Berpikir
Keterampilan berbicara bahasa Jawa ragam krama pada siswa SMP N 3 Punggelan masih rendah. Siswa kurang terampil apabila disuruh berbicara. Siswa kurang mendapat materi pelajaran berbicara, siswa lebih sering mendapat materi untuk menghafal. Tekhnik yang digunakan guru dalam proses belajar kurang bervariasi sehingga proses belajar mengajar masih kurang maksimal.
Penggunaan film bisu sebagai media dalam proses belajar mengajar diharapkan dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam keterampilan berbicara bahasa Jawa ragam krama.. Film sebagai media pembelajaran, diputar di depan siswa, siswa yang berkelompok lalu berdiskusi dan memperagakan adegan yang ada di film yang telah disesuaikan dengan tema. Dengan adanya gambar-gambar yang ada di film dapat membantu siswa dalam menangkap objek-objek yang ada di film, sehingga siswa lebih dapat berkreasi dalam menceritakan/berbicara sesuai dengan gambar yang ada dengan lancar.
Melalui film siswa dituntut untuk berpikir kreatif, siswa menyusun kalimat-kalimat yang kemudian dituangkan secara lisan, sehingga siswa lebih lancar untuk berbicara. Media film bisu dapat meningkatkan imajinasi siswa dalam berbicara bahasa Jawa ragam krama siswa dengan adanya gambar-gambar yang menarik akan membuat imajinasi siswa berkembang.

2.4        Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah melalui pembelajaran menggunakan media film dapat meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Jawa ragam krama siswa SMP N 3 Punggelan Banjarnegara.


No comments: